Pesan Persidangan Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor ke-42

KUPANG,PGI.OR.ID-Kita bersyukur kepada Tuhan Allah atas penyertaan-Nya selama Persidangan Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) ke-42 yang pembukaannya dilaksanakan di Jemaat GMIT Betel Oesapa dan dilanjutkan di Rumah Bersama Majelis Sinode GMIT di Kupang tanggal 4 s/d 8 Februari 2018 dengan Tema: Yesus Kristus adalah Tuhan dan Sub tema: Bersama Kristus Kita Hidupi Spiritualitas Ugahari demi Keadilan terhadap Sesama dan Alam Lingkungan (band. Matius 6.11 dan 1 Kor 8.13). Sidang ini berlangsung ketika umat Kristiani sedang mempersiapkan diri untuk masuk dalam masa Pra-paskah dan Perayaan Paskah 2018.

Apa artinya ugahari? Ugahari berarti: sedang, di tengah-tengah, sederhana, kesahajaan. Ugahari berarti hidup yang sedang-sedang saja; tidak miskin melarat, tapi juga tidak menumpuk kekayaan. Bisa saja ada orang desa yang merasa bahwa ini sebuah isu bagi orang-orang kota, bukan bagi orang desa. Tetapi ternyata tidak demikian. Bukan hanya orang kota bisa menjadi korban budaya gengsi; ada orang desa yang membuat pesta besar, seperti pesta wisuda atau pesta pernikahan, sampai akhirnya terpaksa menjual tanahnya untuk tutup hutang. Jadi ugahari adalah pesan untuk kita semua dengan catatan, ugahari itu butuh teladan sehingga pemimpin gereja bisa jadi inspirasi untuk spiritualitas ugahari dengan menjauhkan diri dari sikap hidup yang konsumtif, pamer kemewahan dan kekuasaan, pemborosan, eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Ugahari membawa makna secukupnya (Mat 6.11) dalam hal pembelanjaan dan pemilikan maupun makna keadilan (1 Kor 8.13) dalam arti tidak memanfaatkan manusia atau lingkungan hidup demi keuntungan sendiri. Sebagai sebuah nilai, ugahari bisa menjadi gampang diterima, tetapi tantangan adalah bagaimana kita dapat menghidupi nilai ini di dalam kehidupan kita sebagai gereja?

Dalam Persidangan Majelis Sinode ke-42, ada banyak sekali masalah dan pokok diskusi yang diperhatikan. Di sini kami mengangkat beberapa pokok yang menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk peningkatan spiritualitas ugahari kita.

  1. Kemiskinan. Nusa Tenggara Timur pada tahun 2017 yang lalu berada di peringkat 3 provinsi termiskin di Indonesia. Bisa jadi posisi ini tidak berubah di tahun 2018, padahal kita tahu bersama program pemerintah guna pengentasan kemiskinan melalui dana desa setiap tahun terus meningkat mencapai 1 milyar tiap desa. Program ini perlu mendapat perhatian dan keterlibatan gereja untuk memastikan bahwa dana desa sungguh-sungguh menjawab kebutuhan ril di desa-desa. Untuk itu GMIT pada Oktober 2017 yang lalu telah menandatangi MOU dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Maksud dari MOU ini agar GMIT terlibat aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Diharapkan dengan keterlibatan gereja tersebut desa-desa memberi harapan bagi warga untuk mengelola sumber-sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan taraf hidup dan ekonomi, sehingga mencegah arus urbanisasi dan buruh migran ke kota-kota besar.
  2. Kesehatan. Salah satu tanda kemiskinan di NTT adalah angka kematian ibu, gizi buruk dan stunting (kekerdilan). Data terakhir tahun 2017 dari Balai Pelatihan Kesehatan Kupang mencatat, persentase kematian ibu dan bayi sebesar 85,7 persen. Menurutnya, penyebab kematian ibu hamil ini dikarenakan beberapa hal, salah satunya adalah masalah ibu yang kekurangan gizi. (Liputan 6 online; http://health.liputan6.com/read/2938826/penyebab-tingginya-kematian-ibu-dan-bayi-di-nusa-tenggara-timur). Hal ini selain dipengaruhi oleh kondisi ekonomi keluarga yang buruk, juga disebabkan cara pandang budaya yang keliru, seperti makanan gizi bagi ibu hamil tidak diprioritaskan, malahan dapat dilarang, serta beban kerjanya tidak dikurangi. Oleh sebab itu, maka jemaat-jemaat GMIT dihimbau untuk memberi perhatian secara khusus pada kesehatan ibu hamil dan anak-anak melalui program pelayanannya.
  3. Migrasi dan Perdagangan Orang. Sisi lain dari wajah kemiskinan di NTT adalah jumlah orang yang keluar daerah, termasuk keluar secara ilegal. Misalnya, di Amanatun Utara, ada penelitian pada bulan Nopember-Desember 2017. Data menunjukkan bahwa dari 725 orang telah keluar, kebanyakan (31,7%) baru tamat SD dengan alasannya mau memperbaiki ekonomi keluarga (52,55%). Pada 2017 sebanyak ?? orang yang pernah kerja ke luar kembali ke NTT dalam peti mayat dan banyak juga pulang sebagai korban trauma mendalam akibat kekerasan yang dialaminya. Perlindungan bagi anak-anak dari jemaat-jemaat kita yang cari kerja di luar tidak terjamin. Dalam persidangan ini, Rumah Harapan, sebuah shelter khusus bagi para korban perdagangan orang yang kembali ke NTT, diluncurkan. Selain menjadi tempat aman dan rehabilitasi bagi mereka yang kembali sebelum pulang ke keluarganya, Rumah Harapan juga akan menjadi pusat pendidikan dan proses reintegrasi korban dengan keluarganya.
  4. Pendidikan. Saat ini GMIT sedang bergumul dengan 592 sekolah yang berada di bawah asuhan 13 Yapenkris. Beberapa sekolah berada dalam kondisi yang baik, namun sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan. Mengatasi hal tersebut telah diputuskan agar jemaat-jemaat mempersembahkan 2% kolekte untuk mendukung sekolah-sekolah tersebut. Namun pengumpulan 2% pendidikan yang jika disetor oleh semua jemaat, diperkirakan dapat mencapai 3,8 milyar per tahun, tetapi saat ini realisasinya baru sekitar 10% dari target tersebut. Itupun belum seberapa sebab kebutuhan untuk membayar gaji guru saja dibutuhkan sekitar 30 milyar per tahun. Karena itu jemaat-jemaat diminta perhatian untuk setia memberi persembahan 2% guna meningkatkan kualitas pendidikan sekolah-sekolah GMIT. Selain itu, pada tahun 2018, direncanakan Sinode MS untuk melakukan kajian untuk bantu Sinode membuat rencana ke depan berdasarkan data lapangan yang ril.
  5. Kerusakan Ekologis. Perubahan iklim global mengakibatkan bencana kekeringan di berbagai wilayah, khususnya di NTT. Pada Oktober 2017, sebanyak 16 dari 22 kabupaten di NTT mengalami krisis air bersih. (https://www.kompasiana.com/rosyi91/5a2e56c25e137369a9217f92/kematian-ibu-di-ntt-nusa-tetap-tertinggal). Oleh karenanya, maka GMIT mengkampanyekan gerakan tanam air, hemat air dan panen air serta tanam pohon. Gerakan tanam air cukup mendapat perhatian di lingkup jemaat dan klasis, bahkan pemerintah daerah turut mendukung. Namun masih banyak juga jemaat yang belum ikut terlibat. Kami mendorong agar jemaat-jemaat GMIT terus menggiatkan gerakan tanam air dan tanam pohon ini.
  6. Politik. Tahun 2018 ini kita akan memilih pemimpin-pemimpin baru, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten di NTT. Kita belajar dari pengalaman kehidupan berbangsa bahwa momen-momen politik seperti ini seringkali memanfaatkan simbol-simbol agama untuk meraih dukungan, bahkan tidak jarang membentur-benturkan masyarakat yang beragam suku, agama dan kepercayaan. Kami memperhatikan bagaimana media sosial dipakai selama masa kampanye pada beberapa pilkada di daerah dan secara lebih lebih luas di negara ini. Orang saling menghujat, memfitnah dan berusaha saling menghancurkan. Mari kita jadikan ruang politik juga sebagai arena mewujudkan kedewasaan beriman kita. Warga GMIT diminta untuk waspada terhadap godaan politik uang dan menilai calon yang berpihak kepada nilai ugahari.

Diharapkan segenap anggota GMIT turut mendoakan keputusan-keputusan Persidangan Majelis Sinode ke-42 dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh di bawah pimpinan Roh yang menuntun kita bersama Kristus menghidupi spiritualitas ugahari.

 

Ketua                                                                                Sekretaris

 

 

Pdt. Dr. Mery Kolimon                                                    Pdt. Yusuf Nakmofa, MTh

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*