JAKARTA,PGI.OR.ID-Meski selama tiga tahun terakhir masuk dalam Program Legislasi Nasional, pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) jalan di tempat. Kondisi ini tentu sangat disayangkan mengingat di lapangan kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak, semakin marak.
Terkait dengan hal tersebut, Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) dalam pernyataan sikapnya yang dikeluarkan pada 4 Desember 2018 menyatakan, pertama, sepakat bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan melanggar martabat kemanusiaan seseorang berdasarkan diskriminasi gender yang menyasar pada tubuh dan seksualitas seseorang, yang berakibat atau dapat berakibat kerugian atau penderitaan fisik, psikis, ekonomi, seksual, politik dan/atau sosial korban. Kekerasan seksual adalah tindakan kejahatan yang merusak gambar Allah. Oleh karena itu, kekerasan seksual adalah dosa.
Kedua, memandang bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan bagian dari bentuk tanggungjawab dan pemenuhan tanggungjawab negara bagi setiap warga negara untuk bebas dari ancaman dan kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Oleh karena itu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat mendesak untuk dibahas dan disahkan.
Ketiga, memandang urgensi pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan salah satu bentuk keberpihakan negara kepada korban kekerasan seksual. Dengan hadirnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual maka ada payung hukum yang akan mendekatkan akses keadilan dan jaminan perlindungan dan ketidakberulangan bagi korban.
Keempat, menyerukan seluruh Badan Pengurus dan Anggota yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia untuk bergerak bersama menjadikan isu kekerasan seksual sebagai persoalan teologis dan isu publik. Sebagai persoalan teologis, isu kekerasan seksual harus menjadi konteks dan perhatian gereja dalam berteologi. Sebagai isu publik, narasi pengalaman korban kekerasan seksual khususnya perempuan dan anak yang selama ini masih dibisukan dan didomestifikasi, perlu disuarakan kembali.
Kelima, menyerukan seluruh Badan Pengurus dan Anggota yang tersebar di 16 Provinsi di Indonesia untuk bergerak bersama mensosialisasikan substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam seluruh aktivitas organisasi maupun perorangan sebagai bagian dari pendidikan publik terutama membangun upaya kesadaran akan pentingnya mendesak pemerintah segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Keenam, bersama dengan segenap elemen masyarakat akan turut mengawal dan mendesak agar DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sebelumnya, PERUATI bersama Komnas Perempuan, dan Mission 21, melaksanakan kegiatan diskusi publik bertajuk Konsolidasi dan Pendalaman Substantif Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, di Grha Oikoumene, Jakarta. Diskusi yang juga dilaksanakan dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini, diikuti perwakilan lembaga lintas iman, serta aktivis perempuan.
Pada kesempatan itu, Veny Siregar dari Forum Pengada Layanan (FDL), mengungkapkan, RUU PKS perlu didorong karena hingga saat ini belum ada manfaat hukum bagi perempuan korban kekerasan seksual. Proses hukum bagi korban kekerasan seksual selalu berjalan lama, dan korban kerap disalahkan.
Sedangkan mandeknya pembahasan RUU PKS, menurutnya, disebabkan adanya tantangan dari internal DPR sendiri, dan eksternal yaitu kelompok-kelompok ekstrim. “Di internal DPR kelihatannya kental dengan nuansa agama, sedangkan dari luar datang dari kelompok ekstrim yang melihat RUU ini dianggap akan merobah nilai-nilai yang sudah ada di bangsa kita. Sebab itu desakan perlu dilakukan oleh lintas agama,” tandasnya.
Perlunya RUU PKS segera disahkan juga disampaikan oleh Maria Ulfah Ansor dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Sebab, sebagai instrumen membangun peradaban bangsa yang berkemajuan dan berkeadilan bagi seluruh warga negara agar bebas dari segala bentuk kedzoliman, termasuk kekerasan dan diskriminasi, sejalan dengan kearifan nusantara yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai implementasi nilai-nilai ke-tauhid-an.
Sementara itu, Pdt. Septemmy Lakawa dari STFT Jakarta melihat, RUU PKS dapat mendorong lahirnya ruang publik dan pengelolaan kekuasaan yang beradab, yang berkolerasi dengan hadirnya ruang-ruang privat yang tidak mendomestikasi perempuan, anak-anak dan kaum marjinal lainnya.
Mewakili Komisi Hukum dan HAM PGI, Johny Nelson Simanjuntak, dalam diskusi tersebut menjelaskan, ada beberapa masukan yang disampaikan PGI saat bertemu dengan Komisi VIII DPR-RI terkait RUU PKS, antara lain, agar RUU/UU ini mengatur secara tegas dan jelas tentang dimensi pencegahan, pemulihan, pemantauan dan sembilan jenis kekerasan, ketentuan pidana dan hukum acara pidananya.
Selain itu, RUU/UU ini dijadikan sebagai UU khusus (lex specialis) sehingga perlu mencakup secara lengkap hukum material dan formil. Sebaiknya azas yang disebut dalam UU pembentukan peraturan perundangan dicakup dan mendasari seluruh pasal dalam RUU/UU ini terutama azas nondiskriminasi yang berarti berlaku untuk semua pelaku atau korban tidak peduli suku agama atau jabatan.
Juga sebaiknya RUU/UU ini memuat azas keberlakukan personalitas, yaitu bahwa RUU/UU ini bisa diberlakukan terhadap siapapun warga Indonesia dan di manapun baik korban maupun pelaku.
Pewarta: Markus Saragih
COPYRIGHT © PGI 2018
Be the first to comment