Persidangan Maluku Garisbawahi ‘Toleransi Nol’ Terhadap Pertentangan

Semua berawal dari doa dan sedikit permainan musik jazz.

Pagi hari itu, 25 April, sekitar 20 pendukung Republik Maluku Selatan (RMS) berkumpul di Ambon, ibukota Propinsi Maluku. Mereka berencana menggelar aksi “long march” damai untuk memperingati kemerdekaan RMS dari Indonesia.

Para aktivis yang semuanya beragama Kristen Protestan tersebut menggunakan peristiwa itu untuk berdoa. Kemudian beberapa di antaranya mulai memainkan terompet. Simon Saija, salah seorang penanggungjawab acara, muncul setelah beberapa tahun bersembunyi untuk membacakan naskah yang ditulisnya. Naskah ini tentang sejarah gerakan RMS.

Namun, sebelum Saija membacakan naskah itu, sekitar 50 aparat kepolisian setempat datang dan mulai menangkap para aktivis. Lebih dari 10 aktivis ditangkap, termasuk tiga pelajar yang dibebaskan kemudian.

Sebuah video aksi damai (http://www.youtube.com/watch?v=tDpoP_Sn1xM)  yang diperoleh ucanews.com menunjukkan bahwa Saija, 47, berbicara dengan aparat kepolisian sebelum ia dan sejumlah aktivis lainnya dibawa ke sebuah mobil polisi. Para aktivis ini membawa bendera RMS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun menurut pengamat hak asasi manusia, mereka tidak sempat mengibarkan bendera itu sebelum ditahan.

Penangkapan tersebut merupakan contoh lain dari reaksi cepat pemerintah Indonesia terhadap gerakan pro-kemerdekaan, meskipun kecil, di sepanjang negara kepulauan ini. Para pendukung RMS adalah bagian dari gerakan kecil dan marginal yang sudah lama tidak memancing kehadiran aparat militer secara signifikan dalam kurun waktu setengah abad.

RMS berusaha melepaskan diri dari Indonesia tahun 1950, tapi dikalahkan oleh pasukan Indonesia pada November tahun yang sama. Perjuangan bersenjata dengan skala kecil terus berlanjut di Pulau Seram hingga 1963. Seperti di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat, pemerintah Indonesia mengambil tindakan reaktif dalam beberapa tahun terakhir dengan menyeret orang-orang yang berkuasa ke penjara hingga individu-individu yang ikut serta dalam sejumlah aksi yang melawan pemerintah seperti pengibaran bendera RMS.

Subyek yang mudah disentuh

Pemerintah Indonesia sangat sensitif terhadap gerakan pro-kemerdekaan di Maluku menyusul insiden memalukan yang terjadi tahun 2007 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Ambon.

Tanggal 29 Juni 2007, sekelompok penari yang adalah pendukung RMS berhasil menyusup barisan pasukan keamanan di sebuah stadion di Ambon dan menantang Presiden Yudhoyono dengan menari cakalele (tarian perang) dan menebarkan sebuah bendera RMS.

Aksi yang diduga didalangi oleh Saija itu memunculkan reaksi keras dari pemerintah. Lebih dari 70 orang ditangkap. Human Rights Watch (HRW) mendokumentasikan bukti bahwa banyak orang disiksa selama berada di tahanan dan menjalani proses investigasi. Pengadilan Negeri Ambon mendakwa lebih dari 30 orang dan menjatuhi hukuman penjara mulai lima hingga 20 tahun.

Andreas Harsono, seorang peneliti dari HRW di Indonesia, mengingatkan bahwa sembilan orang yang ditangkap April lalu “mungkin terancam hukuman penjara yang cukup lama” seperti para penari cakalele tersebut.

Ia meminta pemerintah untuk menjunjung tinggi kebebasan berekpresi seperti yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

“Pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak mau mengakui substansi dari isu itu bahwa orang-orang Maluku ini dipenjarakan karena aktivitas politik mereka yang berlangsung damai,” kata Harsono.

Aksi yang digelar pada April lalu “tidak keras” dan peserta “tidak berencana untuk melakukan kekerasan”, kata Harsono, seraya menambahkan bahwa kelompok itu seharusnya diperbolehkan menyuarakan “aspirasi politik”.

Namun dengan subyek yang sensitif seperti itu, sejumlah aktivis lainnya mengatakan bahwa gerakan yang sejatinya tanpa kekerasan itu tidak relevan bagi pemerintah.

“Bagi pemerintah Indonesia, baik itu damai atau relevan; itu adalah suatu ketidaksetiaan yang memunculkan kekhawatiran baginya,” kata Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict.

Josef Benedict dari Amnesty International (AI) mengatakan bahwa para penguasa “secara konsisten gagal membedakan kelompok bersenjata yang melakukan aksi kekerasan dan aktivis yang melakukan aksi damai”.

“Puluhan individu telah dipenjarakan karena aksi protes dan aktivitas politik mereka yang berlangsung damai, atau memiliki, mengibarkan atau melambaikan bendera-bendera pro-kemerdekaan yang dilarang,” katanya.

Satu pertanyaan yang masih belum terjawab adalah mengapa pemerintah Indonesia begitu khawatir dengan aspirasi politik dari sebuah kelompok yang memiliki sedikit pengikut. Baik kelompok hak asasi manusia dan aktivis RMS sependapat bahwa dalam inkarnasi modernnya, gerakan pro-kemerdekaan di Maluku tidak memiliki kekuatan politik yang signifikan.

“Masih ada pejuang pro-kemerdekaan, termasuk saya sendiri … kami tersebar di seluruh Maluku,” kata Semuel Waileruny, seorang pengacara dan aktivis RMS. “Dari segi fisik, kami lemah. Kekuatan kami lemah”.

Benedict menjelaskan bahwa sayap militer RMS belum aktif sejak akhir 1960-an.

“Sejak saat itu, aksi pro-kemerdekaan hanya berupa acara pengibaran bendera secara damai, khususnya pada 25 April, peringatan kemerdekaan RMS”, kata Benedict.

Waileruny, yang pernah menulis sebuah buku tentang perjuangan RMS, mengatakan bahwa para pendukung RMS sudah meninggalkan kekerasan dan kini memfokuskan upaya mereka lebih pada cara-cara “rasional.”

“Yang kami lakukan sekarang adalah konsolidasi dan membangun diskusi” yang bertujuan untuk mendidik masyarakat setempat tentang gerakan kemerdekaan, kata Waileruny. “Kami belajar dari perjuangan bangsa lain untuk mengubah masyarakat dengan cara ilmiah.”

Hendry Apituley, seorang aktivis RMS dan dosen sejarah di Politeknik Negeri Ambon, telah mengajar mahasiswa tentang sejarah RMS.

“Dalam buku sejarah pemerintah, istilahnya sering tidak mengangkat kebenaran yang sebenarnya … saya kasih mata kuliah tentang sejarah Indonesia, di dalamnya saya memberi penjelasan tentang sejarah dan status hukum RMS,” katanya.

Kuliah semacam itu memunculkan banyak pertanyaan dari mahasiswa:

“‘Kenapa sampai fakta itu tidak pernah dimuat? Kenapa pemerintah itu menutup?’ Pada akhirnya mereka merasa ditipu,” kata Apituley. “Banyak yang ikut gerakan pro-kemerdekaan setelah mendengar kebenarannya”.

1008a2Sejumlah  peserta aksi damai yang digelar  25 April 2014.

Putusan yang akan diberikan

Kesembilan aktivis yang ditahan pada 25 April dituduh dengan tuduhan makar.

Indra Baskoro, sekretaris Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, mengatakan bahwa aksi demonstrasi yang digelar 25 April itu merupakan “pelanggaran KUHP pada Pasal 104, 106 dan 107”.

Pasal 104 memberi “pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun”, kata Baskoro, sementara Pasal 106 dan 107 memberi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun.

Saat polisi datang ke lokasi di kawasan pertigaan Gereja Rehoboth, “sekitar 150 orang massa simpatisan dan pendukung” RMS dan Front Kedaulatan Maluku (FKM) sudah berkumpul untuk aksi long march, kata Baskoro. “Alasan yang diberikan oleh Simon Saija justru memancing aparat keamanan untuk melakukan penangkapan terhadap dirinya. Ditambah lagi salah satu peserta berupaya mengibarkan bendera RMS dari balik bajunya”.

Para penguasa setempat mempunyai kewajiban “untuk melindungi masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga kerukunan nasional dan NKRI”, lanjut Baskoro.

Persidangan dimulai bulan lalu di Pengadilan Negeri Ambon. Putusan sidang awalnya akan dibacakan bulan ini namun sekarang bisa mundur hingga Desember, demikian Yanes Balubun, seorang pengacara yang membela kesembilan aktivis RMS tersebut.

Balubun prihatin bahwa sebuah contoh akan diterapkan terhadap kesembilan tahanan itu. Para penguasa “sudah menahan mereka maka mereka merasa malu jika membebaskan mereka,” katanya.

Waileruny mengatakan bahwa aksi yang digelar pada 25 April itu bertujuan “untuk menunjukkan kepada pemerintah Indonesia bahwa kami ini masih ada, perjuangan kami masih berlangsung”.

Beberapa aktivis “membawa bendera dan imbauan”, kata Waileruny. “Itu saja yang kami lakukan. Jadi sebenarnya tuduhan bahwa kami melakukan makar itu tidak ada.”

Sejumlah pengamat hak asasi manusia termasuk HRW dan AI telah mengecam pemerintah Indonesia atas penangkapan dan tuduhan makar tersebut.

AI menganggap kesembilan aktivis itu “tahanan nurani”, kata Benedict. “Mereka ditangkap dan dituduh hanya karena mengungkapkan secara damai hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul”.

Benedict mengatakan bahwa para tahanan itu “harus dibebaskan segera dan tanpa syarat”.

Harsono mengungkapkan sentimen serupa.

“Para penguasa Indonesia hendaknya segera membebaskan kesembilan aktivis di Ambon,” katanya, seraya menambahkan bahwa HRW mengkategorikan para tahanan itu sebagai “tahanan politik”.

Sementara itu, Saija sudah mengalami gangguan kesehatan sejak ditahan, demikian seorang kerabat yang pernah mengunjunginya di penjara.

“Kondisinya tidak baik. Ia kelihatan lebih kurus. Makanan tidak cukup,” kata kerabat yang minta tidak disebutkan namanya itu. “Ketika saya tanya tentang kondisi di penjara, ia bilang ia tidak aman di sana.”

Penangkapan itu juga membuat keluarga menderita

Izaak Leatemia, 58, seorang pensiunan pegawai negeri sipil, ditangkap bersama Saija. Istrinya, Jermina Leatemia Leihitu, 59, kini khawatir bahwa pemerintah akan menghentikan uang pensiun Leatemia sebesar 2,3 juta rupiah per bulan jika ia didakwa bersalah – seperti kasus pegawai pemerintah lain yang terlibat kejahatan.

“Jika tidak ada uang pensiun lagi, bagaimana kami bisa makan? Uang pensiun suami saya itu satu-satunya pendapatan,” katanya. “Saya hanya jual makanan ringan di sebuah sekolah. Tapi untungnya tidak seberapa.”

1008a3 Para buruh tani asal Maluku memanen padi di sawah milik seorang transmigran.

Kesenjangan lama

Salah satu akar penyebab adanya ketidaksepahaman antara masyarakat Maluku dan pemerintah adalah program transmigrasi yang sudah berlangsung selama beberapa dekade.

Sejak 1950-an, program transmigrasi telah menarik ribuan orang Jawa dan masyarakat pendatang beragama Islam lainnya ke Kepulauan Maluku dengan tawaran lahan gratis dan bantuan pertanian.

Masyarakat Maluku, yang mayoritas beragama Kristen Protestan, mengatakan bahwa program transmigrasi telah menciptakan kesenjangan ekonomi yang signifikan karena keberpihakan dan subsidi yang diterima masyarakat transmigran dari pemerintah.

Andreas Andhikolly, seorang anggota dewan legislatif di Kabupaten Seram Bagian Barat, mengatakan bahwa ada dua area utama di mana ketidakseimbangan muncul antara masyarakat setempat dan masyarakat transmigran: infrastruktur dan bantuan pemerintah.

“Isu utama di Maluku adalah pembangunan. Ini yang membuat masyarakat lokal kecewa dengan pemerintah pusat,” kata Andhikolly. “Akses ke wilayah transmigrasi di Pulau Seram jauh lebih baik dari akses ke desa-desa di mana masyarakat lokal tinggal”.

“Pemerintah memberi perhatian lebih kepada masyarakat transmigran dengan menyediakan mereka peralatan pertanian. Pemerintah juga memberi program pelatihan ketrampilan kepada masyarakat transmigran secara kontinyu.”

Andhikolly mengatakan bahwa masyarakat setempat tidak dibekali dengan program pelatihan ketrampilan secara kontinyu atau diberi peralatan seperti traktor atau peralatan pertanian lainnya.

Masyarakat setempat juga tidak memiliki akses yang memadai ke pusat kesehatan, katanya.

“Ada pusat kesehatan masyarakat di setiap desa, tapi tidak ada dokter. Sejumlah masyarakat lokal harus berjalan selama dua hari untuk menuju sebuah pusat kesehatan masyarakat yang memiliki dokter,” kata Andhikolly.

Baskoro mengatakan bahwa tidak benar jika pemerintah tidak menyediakan pembangunan dan peluang “bagi masyarakat Maluku”, dan menggarisbawahi “pembangunan infrastruktur dan suprastruktur seperti pembangunan jembatan layang di Pulau Ambon” dan sebuah program yang bertujuan untuk menciptakan situasi “aman, damai dan sejahtera” di Propinsi Maluku.

1008a4 Augustan Tibali, seorang petani, berfoto di rumahnya di Desa Kawatu,  Pulau  Seram 

Namun, Augustan Tibali, seorang petani berusia 58 tahun dari Desa Kawatu di Pulau Seram, mengatakan bahwa “kesenjangan” antara masyarakat setempat dan masyarakat transmigran sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan masih menjadi isu utama.

“Kami sering minta pemerintah untuk memberi kami peralatan pertanian seperti traktor sehingga kami bisa membuka lahan dengan cepat. Tapi sampai sekarang pemerintah belum memberi kami apa yang kami minta. Peralatan itu penting. Maka kami bisa membuka lahan lebih banyak dan menanam tanaman lebih banyak, sehingga hidup kami jadi lebih baik.”

Kesenjangan juga meluas ke area lain. Tibali dan warga di Desa Kawatu mengatakan bahwa mereka membutuhkan infrastruktur yang lebih baik, lebih banyak sekolah modern dan peluang kerja di luar sektor pertanian.

“Kami tidak tahu di mana dan bagaimana kami mengungkapkan keprihatinan kami kepada pemerintah”, kata Tibali. Yang lebih membuat frustrasi, katanya, adalah “pemerintah seharusnya sudah tahu soal keprihatinan masyarakat di pulau ini, tapi pemerintah tidak melakukan apa pun”.

Aktivis seperti Apituley mengatakan bahwa para pejabat pemerintahan sebaiknya mulai mengatasi kebutuhan semacam itu.

Masyarakat Maluku “punya hak penentuan nasib sendiri”, tapi di bawah kendali ketat dari Jakarta, tidak ada “kebebasan berekspresi”, kata Apituley. Banyak orang “dipenjara” karena mengungkapkan pendapat mereka.

“Apakah kita harus berdarah-darah dulu baru pemerintah perhatikan kita punya kesejahteraan?”

1008a5Kepulauan Maluku, yang juga dikenal sebagai  kepulauan rempah-rempah, memiliki penduduk yang mayoritas beragama Kristen Protestan. 

Oleh wartawan ucanews.com

Sumber: www.ucanews.com/news/maluku-trial-highlights-indonesias-zero-tolerance-of-dissent/72095

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*