Pernyataan Sikap LSM, Perwakilan Masyarakat dan Hutan Adat Papua

Kerusakan hutan di Papua

JAKARTA,PGI.OR.ID-Pemimpin masyarakat adat dan pemilik tanah dan hutan adat dari Suku Mandobo di Kali Kao, Kabupaten Boven Digoel; Suku Malind di Muting, Kabupaten Merauke; Suku Mpur di Kebar, Kabupaten Tambrauw; Suku Moi di Klasouw dan Klayili, Kabupaten Sorong; Suku Maybrat di Ikana, Kabupaten Sorong Selatan; serta organisasi masyarakat sipil dan keagamaan, mengeluarkan pernyataan sikap terkait perampasan tanah adat yang melibatkan pemerintah, yang terjadi di Papua.

Dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan pada 12 Nopember 2018 itu, mereka meminta dan mendesak agar, pertama, pemerintah segera mengakui dan menghormati keberadaan kedaulatan dan hak-hak kami Orang Asli Papua atas tanah dan hutan adat, untuk menentukan kebijakan peraturan dan program-program yang berlangsung di wilayah adat kami. Kedua, pemerintah pusat dan daerah meninjau kembali dan mencabut berbagai perjanjian, Hak Guna Usaha, ijin-ijin penguasaan dan pemanfaatan tanah dan hasil hutan yang berlangsung diwilayah adat kami, yang diberikan secara sepihak kepada perusahaan dan mengabaikan hak adat kami, merugikan masyarakat dan merusak lingkungan, serta bertentangan dengan peraturan perundangundangan.

Ketiga, pemerintah melakukan audit lingkungan neraca sumberdaya alam Papua, terkait kinerja dan dampak aktivitas seluruh perusahaan usaha perkebunan berskala luas terhadap lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi, serta memberikan sanksi, yakni tidak memberikan perpanjangan ijin lingkungan serta penegakan hukum berarti yang adil terhadap perusahaan. Keempat,  meminta pemerintah dan perusahaan bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi kawasan hutan dan dusun sagu yang terkena dampak rusak dan hilang, serta memberikan insentif program untuk menggantikan kerugian masyarakat.

Kelima, meminta pemerintah dan perusahaan tidak lagi menggunakan aparat keamanan Brimob Polri dan TNI dalam areal perkebunan dan kantor perusahaan dilapangan, menghentikan ‘pendekatan keamanan’, praktik intimidasi, diskriminasi dan kekerasan fisik dalam menangani sengketa, protes dan keluhan masyarakat. Keenam, meminta pemerintah dan perusahaan menyelesaikan berbagai sengketa dengan menggunakan sistem hukum, peradilan adat dan kelembagaan hukum adat yang hidup dalam masyarakat secara bijaksana damai dan adil.

Ketujuh, meminta pemerintah melindungi pembela HAM (Hak Asasi Manusia) dan pembela lingkungan di Tanah Papua, serta memastikan bahwa semua pelaku kejahatan dituntut di pengadilan umum. Kedelapan, kami tegaskan “Papua Bukan Tanah Kosong”, kami meminta pemerintah dan perusahaan menghormati hak-hak kami dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam di Tanah Papua, dengan mengembangkan usaha berdasarkan pengetahuan dan sumberdaya yang dimiliki Orang Asli Papua, serta melibatkan seluas-luasnya masyarakat adat.

“Saat ini, kami masyarakat adat, kampung dan hutan adat, tempat kami berdiam dan hidup, sedang mengalami tekanan, ketidakadilan dan ketegangan sosial oleh karena aktivitas “pembangunan” yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pengusahaan kayu komersial dalam skala besar. Tanah dan hutan adat milik kami Orang Asli Papua, dirampas dan diambil tanpa persetujuan, mufakat dan keputusan bebas masyarakat, yang berlangsung dengan melibatkan pemerintah sebagai pengambilan kebijakan dan pemberi ijinijin, serta perlindungan keamanan,” demikian pernyataan sikap yang ditandatangani oleh 64 orang perwakilan dari LSM, lembaga masyarakat adat dan hutan adat ini.

 

Pewarta: Markus Saragih

COPYRIGHT © PGI 2018

 

 

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*