Perjalanan 60 Tahun DGD untuk Keadilan Jender Terus Berlanjut

Tahun berjalan menandai 60 tahun sejak berdirinya program DGD tentang Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat. Program ini memberikan kesempatan bagi perempuan yang mewakili beragam tradisi Kristen, wilayah dan kelompok usia untuk kesempatan berbagi visi mereka sehingga mereka dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat, gerakan oikoumenis dan mencari persatuan umat Kristen.

Untuk pertama kalinya di Busan, pertemuan pra-sidang perempuan juga termasuk partisipasi laki-laki untuk merefleksikan kontribusi dan peran manusia membangun komunitas adil perempuan dan laki-laki di gereja dan masyarakat. Acara ini menyediakan hal mendasar untuk dialog bersama antara perempuan dan laki-laki tentang isu-isu keadilan jender.

Acara Pra-sidang Perempuan dan Laki-laki dimulai dengan perayaan ulang tahun ke-60. Kaum laki-laki bergabung dalam perayaan karya perempuan termasuk Uskup Barbel von Wartenberg Potter dari Jerman, yang menjabat sebagai direktur Program DGD untuk Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat 1983-1986, dan Dr. Aruna Gnanadason dari Gereja India Selatan, eksekutif program perempuan dalam Gereja dan Masyarakat, 1991-2011. Gnanadason hadir pada perayaan dan berpartisipasi dalam dialog dua hari.

Perayaan dilanjutkan dengan sambutan bersemangat dari para peserta dari Korea maupun peserta dari negara lain. Ini juga menjadi kesempatan untuk mengenal budaya Korea bersama dengan perhimpunan global perempuan dan laki-laki dikumpulkan dari seluruh dunia.

Para perempuan dalam pra-sidang ini tercermin pada tema Sidang Raya: “Allah kehidupan, pimpin kami pada keadilan dan perdamaian”. Mereka mengakui realitas banyak masyarakat yang menyangkali kehidupan perempuan, termasuk cerita-cerita kekerasan seksual, pelecehan dan pemerkosaan terhadap perempuan sebagai senjata perang di Kongo serta penghancuran  rumah dan trauma terkait terhadap perempuan dan anak-anak di Palestina.

Merefleksikan Perjalanan Kaum Perempuan

Kaum perempuan pada event tersebut juga berbagi pengalaman ketidakadilan dalam gereja dan masyarakat, termasuk penolakan penahbisan perempuan sebagai imam dan perdagangan manusia. Banyak perempuan menangisi kisah-kisah perdagangan manusia dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Sebuah laporan menyebutkan bahwa perdagangan manusia dilakukan untuk perbudakan seksual dan kerja paksa yang menghasilkan sekitar 32 miliar dolar AS per tahun dalam industri yang memperbudak lebih dari 30 juta perempuan, laki-laki, dan anak-anak setiap tahun.

Pada Sesi kunci selama percakapan perempuan termasuk presentasi Pdt.Dr. Elaine Neuenfeldt dari Luther World Federation dengan judul makalah “Mengidentifikasi dan membongkar patriarki dan sistem lain dari penindasan bagi perempuan”, dia menunjukkan bahwa dalam rangka untuk mengubah sistem penindasan dan mencapai keadilan jender ada kebutuhan untuk proses yang jelas, strategi dan kebijakan yang mempromosikan dan mendorong partisipasi setara bagi perempuan dan bukan sekadar bincang-bincang untuk keadilan jender.

Tema yang dikumandangkan kembali dari percakapan di antara para perempuan tersebut telah menjadi sebuah pengakuan bahwa “isu-isu perempuan adalah isu-isu masyarakat dan isu-isu masyarakat adalah isu-isu perempuan”. Pdt. Dr. Jennifer Leath dari Gereja Methodist Episkopal Afrika dan Yale Divinity School menyarankan untuk mempertimbangkan dialog yang lebih luas tentang isu-isu jender yang akan menciptakan peluang bagi perempuan untuk berdialog dengan peserta sidang lainnya seperti pemuda, masyarakat adat, dan kaum difable (orang berbeda kemampuan).

Peserta laki-laki pra-sidang ini berkumpul untuk percakapan terbuka tentang maskulinitas, keadilan dan hubungannya dengan jender. Victor Kaonga dari Trans World Radio, Malawi, merangkum percakapan ini sebagai refleksi mendalam tentang peran laki-laki bermain pada ranah advokasi untuk keadilan jender. Dia menunjukkan bahwa orang-orang memuji pencapaian perempuan dalam perjalanan keadilan jender yang mendorong orang untuk mengakui struktur sosial dan hak-hak patriarki untuk mempertahankan status quo bagi perempuan terutama di gereja. Kaum laki-laki juga memiliki kesempatan untuk berbagi pengalaman kehidupan nyata mereka dan perjalanan sebagai laki-laki dan pengembangan maskulinitas yang positif.

Kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam pra-sidang ini menyediakan ruang untuk dialog inklusif dan berbagi percakapan antara perempuan dan laki-laki saat mereka melakukan perjalanan bersama dalam membangun komunitas adil antara perempuan dan laki-laki.

Komitmen terhadap keadilan jender akan berlanjut pada SR DGD, di mana para peserta akan memakai pakaian hitam untuk mendukung kampanye “Kamis Hitam” (“Thursdays in Black”). Melalui sikap sederhana, peserta diajak untuk menjadi bagian dari gerakan global mendesak mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Kampanye “Thursdays in Black”, menurut Dr. Fulata Mbano-Moyo, eksekutif Program WCC untuk Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat, adalah suatu “ekspresi global yang bersatu dalam mewujudkan keinginan untuk komunitas yang aman di mana kita semua dapat berjalan dengan aman tanpa takut diperkosa, ditembak , dipukuli, dicaci maki, dan didiskriminasi karena jenis kelamin atau orientasi seksual serseorang.”

Oleh: Ayana McCalman, pengacara dan misionaris untuk Dewan Misi Dunia (CWM), serta bekerja untuk United Congregational Church of Southern Africa sebagai staf advokasi komunikasi dan keadilan.

Sumber: http://wcc2013.info/en/news-media/all-news/wcc2019s-60-year-journey-for-gender-justice-continues

Diterjemahkan oleh: Boy Tonggor Siahaan (Staf Biro LitKom PGI)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*