Ketua Dewan Pembina Yayasan Jurnal Perempuan Melli Darsa menyatakan hukum menjadi seksis dan patriarkis akibat pewarisan hukum dari zaman Belanda yang belum dibenahi. Hal tersebut terjadi karena hukum tidak pernah dijadikan prioritas utama dalam pembangunan selama beberapa kali periode pemerintahan. Padahal, untuk mencapai Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur dibutuhkan ketegasan hukum agar rakyat memiliki kepercayaan terhadap pemerintahan. Ketidaktegasan hukum berimplikasi pada subjek hukum yang paling marginal yaitu perempuan dan anak-anak miskin.
Dalam diskusi yang berlangsung di acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dengan tema “Evaluasi Penegakan Hukum untuk Perempuan”, dan bertempat di kediaman Melli Darsa di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Sabtu (29/11/2014) tersebut Melli Darsa mengungkapkan bahwa kemajuan perempuan di suatu negara ditentukan oleh jumlah perempuan yang mampu mencapai posisi-posisi puncak. Karena pola pengambilan keputusan pasti bersifat patriarkis.
“Jika kuantitas perempuan sedikit, dalam posisi pengambilan keputusan secara psikologis mereka akan enggan mengungkapkan keadaannya. Di sinilah pentingnya Women on Board,” ujar pendiri Firma Hukum Melli Darsa & Co.
Celakanya, komposisi perempuan sebagai penegak hukum pun belum mencapai angka yang diharapkan. Jumlah perempuan di Mahkamah Konstitusi hanya 11%, disusul Mahkamah Agung 9,7%, Kementerian Hukum dan HAM 18,1% dan Kejaksaan 41%. Melli Darsa juga menekankan pentingnya posisi dan pandangan perempuan serta etika kepedulian (ethics of care) dalam pengambilan keputusan pada pos-pos dan posisi yang penting.
Dalam kesempatan yang sama Rocky Gerung selaku narasumber berikutnya menganalisis gramatikal hukum yang ternyata setiap pasal dalam diktat hukum dimulai dengan kata “barangsiapa” yang diperuntukkan sebagai subjek hukum. Namun, kata “barangsiapa” sebenarnya adalah sebuah gramatikal laki-laki yang menunjukkan bahwa subjek hukum adalah kaum laki-laki.
Dosen filsafat FIB Universitas Indonesia ini melanjutkan, “Di balik subjek hukum itu ada sebuah sejarah panjang tentang penyingkiran perempuan dalam hukum”.
Rocky mengibaratkan bahwa hukum itu seperti lorong dalam rumah yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, di mana jika batas dari lorong dilalui maka perlu hukum untuk mengaturnya, sehingga sebenarnya hukum berawal dari ruang privat, dari kamar tidur, dari lorong rumah, dari ruang domestik. Namun begitu, seluruh aktivitas hukum menjadi aktivitas publik. Hukum mengatur perselisihan di ruang publik yang telah dikuasai oleh laki-laki.
Lebih lanjut Rocky mengungkapkan bahwa Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah upaya bring justice back into the home yang selama ini dirampas oleh peradaban laki-laki. Tubuh perempuan adalah objek diskriminasi ekonomi, sosial, budaya. Ketidakadilan ekonomi mungkin masih bisa diatasi oleh perbaikan regulasi, namun ada hukum kultural dimana setiap orang dikendalikan oleh peraturan moral. Pada wilayah ini perempuan lagi-lagi tidak mendapatkan keadilannya.
Keseimbangan alam mengatakan bahwa semua orang berhak mendapat keadilan di meja hukum. Dari wacana itulah lahir teori hukum feminis yang digunakan untuk mereduksi hukum di mana kaum feminis memperjuangkan agar pengalaman perempuan bisa dijadikan sumber hukum baru, bukan hanya ethics of rights namun ethics of care juga dilibatkan.
“Selama cara berpikir hukum tidak direvisi maka diskriminasi hukum terhadap perempuan akan terus berlangsung. Hukum masih dipalsukan oleh kepentingan patriarki. Melli Darsa adalah contoh perempuan ekstrem yang berusaha menerobos langit-langit kekuasaan laki-laki di bidang hukum,” pungkasnya. (Nadya Karima Melati & Andi Misbahul Pratiwi)
Sumber:
https://www.jurnalperempuan.org/berita/melli-darsa-permasalahan-perempuan-adalah-permasalahan-kita-bersama
https://www.jurnalperempuan.org/berita/rocky-gerung-hukum-masih-dipalsukan-oleh-kepentingan-patriarki
Be the first to comment