Peran Guru Penting Membangun Budaya Keberagaman

Penghargaan terhadap keberagaman mulai luntur di negeri ini, termasuk di sekolah-sekolah. Untuk itu, penghargaan atas keragaman penting ditanamkan kepada para guru. Tujuannya supaya para guru dapat membudayakan keberagaman dan mendorong para siswanya untuk menghargai keberagaman.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan hal itu kepada SH, sesaat setelah Diskusi dan Buka Puasa Bersama, Refleksi Keragaman dalam Pendidikan, di kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (7/7).

“Kuncinya pada guru maka penting menanamkan penghargaan atas keragaman kepada guru,” kata Retno.

Para guru, menurut Retno, seharusnya menunjukkan sikap menghargai keberagaman karena hal itu selaras dengan prinsip pluralisme. Ia menilai saat ini jumlah guru yang benar-benar menghargai keragaman tidak banyak. Kebanyakan guru memilih bersikap abu-abu.

Retno mengatakan, negara ini dibangun di atas dasar kebinekaan sehingga keputusan untuk menghargai keberagaman tidak bisa bersifat abu-abu. Keputusan menghargai keberagaman harus bersifat hitam-putih. Artinya, tidak boleh ada kata “tapi” yang bersifat menoleransi tindakan anti-keberagaman sekecil apa pun yang terjadi di sekitar kita.

“Jadi, toleransi itu mutlak, bukan sekadar menghargai perbedaan, tapi lebih dari itu, tidak ada kebencian sedikit pun pada perbedaan,” ucap Retno.

Menurutnya, apabila guru mengajarkan kebencian atas keberagaman, kebencian tersebut akan benar-benar terwujud di kalangan para siswa dan menjadi budaya di sekolah. “Karena apa yang diajarkan guru didengar murid-muridnya,” tutur Retno.

Kepala sekolah yang menghargai keragaman akan mampu membangun budaya menghargai keberagaman di sekolah. Namun, apabila kepala sekolah bersikap sebaliknya, sekolah tersebut, menurut Retno, masih punya harapan apabila para guru masih tetap dapat menumbuhkan budaya keberagaman di kelas masing-masing.

Ia menegaskan, peran guru sangat strategis mewujudkan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, yang sudah mulai luntur di sekolah-sekolah. Menurut Retno, apabila pemerintah tidak menghargai keragaman, tapi guru menghargai, maka para siswa akan turut bersikap menghargai keberagaman.

“Tapi, tentu lebih baik kalau upaya membangun budaya keberagaman ini dilakukan seluruh komponen negara, mulai dari kepala negara hingga kepala sekolah dan guru,” kata Retno.

Kerja Sama

Salah satu narasumber diskusi ini, Ketua Dewan Pengurus YCG Henny Supolo Sitepu mengatakan, masalah keragaman selama ini banyak dibicarakan, tapi sebenarnya amat sedikit orang yang mau mengakui bahwa negara ini betul-betul sedang memiliki masalah dengan keragaman.

Menurutnya, kebanyakan warga belum mengakui bahwa Indonesia tidak lagi sama dengan yang dulu, bukan hanya dalam hal bertoleransi, tapi juga dalam hal kerja sama antarwarga yang berada dalam keragaman tersebut.

Menurutnya, yang perlu diwaspadai kali ini adalah kecenderungan terjadinya pengabaian dan pengingkaran atas keberagaman. Dalam konteks pendidikan di sekolah, proses pengabaian keragaman dalam pendidikan harus dihindari karena para siswa harus belajar mendapatkan lebih banyak teman dari latar belakang yang berbeda.

“Itu yang membuat mereka kaya. Bangsa ini ada karena keragaman itu. Pada saat ini dimatikan maka pelan-pelan bangsa ini juga akan mati,” tutur Henny.

Ia menilai sekolah negeri yang seharusnya menjadi penyemai keberagaman saat ini justru kehilangan esensi tersebut. Untuk itu, menurutnya, setiap sekolah negeri perlu mengupayakan kembali, melihat ke dalam diri mereka sendiri, sudah seberapa jauh mereka menyemai keragaman. Mereka perlu bertanya kepada diri sendiri apakah mereka lebih mengarah ke keseragaman ketimbang ke keragaman.

“Sekolah seharusnya menumbuhkan semangat kerja sama dalam keberagaman, bukan justru mendorong keseragaman,” kata Henny.

Pemerhati pendidikan, Doni Kusuma Albertus, dalam diskusi tersebut mengajak para peserta untuk membagikan pengalaman terkait keberagaman. Mengomentari kisah para peserta, Doni menyimpulkan upaya saling mengenal akan menghindarkan anggapan-anggapan negatif terhadap pihak lain.

“Dengan mengenal kelompok lain, kita yang beragam ini akan bisa saling menghargai,” kata Doni. (sinarharapan.co)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*