Selain itu, PGI juga memfasilitasi penerjemahan persidangan ke dalam bahasa Indonesia melalui dua penerjemah: Mona Saroinsong (GMIM) dan Pdt Dr Merry Kolimon (GMIT).
Beberapa isu dan pergumulan yang mengemuka selama Sidang Raya, antara lain:
1. Tema SR mengundang Gereja masuk ke dalam Ziarah Keadilan dan Perdamaian
Sidang Raya memahami bahwa gereja-gereja berasal dari berbagai aliran dan denominasi, namun semua gereja anggota dan mitra oikoumenis diundang untuk menjalani ziarah bersama dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Keberadaan DGD harus dilihat dalam kerangkan ini, terutama dalam perjalanan 8 tahun ke depan. Tema “God of Life, Lead Us into Justice and Peace”, merupakan doa yang memperlihatkan bahwa kehadiran gereja-gereja pada dasarnya adalah sebagai peziarah di dalam jalan Tuhan.
2. Public Statement
Sidang Raya menetapkan 12 isu publik yang harus menjadi keprihatinan utama DGD, yakni Politisasi agama dan hak-hak kelompok agama minoritas; HAM bagi masyarakat tanpa-negara (stateless people); Reunifikasi semenanjung Korea; Jalan keadilan-perdamaian; Situasi di Republik Demokratik Kongo; Kehadiran dan kesaksian umat Kristen di Timur Tengah; Peringatan 100 tahun genosida di Armenia; Situasi terkini yang kritis di Sudan Selatan; Menuju dunia bebas nuklir; Resolusi tentang sanksi ekonomi dan hubungan USa-Cuba; masyarakat pribumi (indigenous peoples); Keadilan iklim.
Ada dua catatan yang perlu mendapat perhatian kita bersama tentang Public Statement ini. Pertama, utusan GKI di Tanah Papua mendesak agar masalah Papua juga dimasukkan dalam Public Statement ini, tetapi ditolak oleh Sidang. Alasan utama penolakan itu karena DGD telah mengeluarkan pernyataan publik 14-17 Februari 2012 lalu. Tidak lazim DGD mengeluarkan dua kali pernyataan tentang isu yang sama, kecuali posisi DGD mengenai isu tersebut berubah. Sejauh ini, posisi DGD mengenai Papua masih seperti pernyataan sebelumnya.
Kedua, menyangkut isu yang saat ini menjadi keprihatinan gereja-gereja di Indonesia, yakni masalah kebebasan beragama di Indonesia. Isu ini masuk pada isu pertama dalam Publik Statement, yakni pada Politisasi agama dan hak-hak kelompok agama minoritas. Dalam pernyataan mengenai politisasi agama dan hak-hak kelompok agama minoritas ini, Sidang Raya menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan tak tergantikan. Sidang Raya sangat prihatin dengan politisasi agama di berbagai negara yang makin menyuburkan kebencian, kekerasan komunal dan menyebabkan instabilitas politik. “Kelompok-kelompok ekstrim agama dan partai-partai politik bertanggungjawab karena telah menciptakan situasi seperti itu. Nigeria Utara, Tanzania, Sudan, Indonesia, Srilanka, Myanmar dan lainnya adalah contoh bagaimana kekerasan dan penyebaran kebencian atas nama agama terus terjadi sampai sekarang,” begitu ditegaskan dalam dokumen isu publik itu. Sebelumnya, statement itu juga mengungkapkan keprihatinan absennya negara dalam peristiwa-peristiwa kekerasan atas nama agama. Olehnya, Sidang Raya mendorong pemerintah agar memperkuat mekanisme perlindungan yang sudah ada, serta membuat peraturan guna melindungi hak-hak kelompok agama minoritas di negara masing-masing.
3. Membarui gagasan tentang misi
Sidang Raya ini telah menjadi momentum bersejarah dengan diterima dan sahkannya dokumen Together Towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes. Dokumen yang telah berproses sejak Sidang Raya Porto Alegre, 2006 dan dikerjakan oleh CWME (Commission on World Mission and Evangelism) ini membawa arah baru gerakan misi secara bersama oleh seluruh gereja-gereja di dunia.
Dokumen ini merupakan penegasan oikoumenis tentang misi gereja. Dokumen ini bertolak dari pemahaman teologis mengenai karya Roh Kudus yang melampaui sekat-sekat gerejawi. Sebagai Roh Allah sendiri, karya-Nya melampaui sekat gereja, dan bahkan agama. Itu sebabnya dalam dokumen ini ada dorongan kuat bagi kerjasama bukan saja antar-gereja, tetapi juga antar-agama di dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian.
Aspek lain yang menonjol dari dokumen adalah adanya dorongan pergeseran misi dari Utaran ke Selatan atau dengan bahasa yang lebih tegas, misi merupakan yang dilakukan oleh kaum marjinal dalam suatu kesetaraan.
4. Dalam Solidaritas dengan Pergumulan Asia
Seturut dengan lokasi penyelenggaraan Sidang Raya yang berlangsung di Asia, maka Sidang Raya memberi perhatian tersendiri atas pergumulan gereja-gereja di Asia, dengan disediakannya Asia Plenary, sebagai ruang buat gereja-gereja di Asia mengekspresikan pergumulannya. Pleno yang dimoderatori oleg Pdt Dr SAE Nababan ini ditampilkan dalam bentuk kolaborasi gerak, tari, musik, teater, testimoni dan refleksi.
Dari Asia Plenary ini kita bisa menangkap ironi besar yang melingkupi Asia. Agama-agama besar muncul di sini, termasuk kekristenan. Namun sejarah Asia sarat denga sejarah kolonialisme. Dulu dijajah kolonialisme, dan kinipun masih dijajah seca ekonomis. Kolonisasi belum berakhir di Asia dengan munculnya “imperialisme” baru, bernama neo-liberalisme. Tanpa sadar masyarakat Asia kini disetir oleh imperialisme ini, dengan ide pertumbuhan kuantitas. Ini yang menghasilkan bencana ekologis dan krisis ekonomi. Wajah Asia adalah pabrik terbesar, dengan jam kerja yang tak manusiawi, pekerja anak, orang muda dengan gaji yang tak menjanjikan. Masyarakat hidup dalam akses terbatas, terusir dari tanah mereka dan dihukum oleh pengadilan yang tak adil. Pokoknya beragam penderitaan psikologis. Imperialisme baru ini sungguh-sungguh telah merusak Asia.
Celakanya, gereja hadir dengan teologi sukses, yang sejalan dengan sistem ini. Pertanyaannya kini, apakah kondisi ini akan terus dilestarikan?
Ms Yang Ya-Chi, seorang sosiolog yang kini bekerja sebagai koordinator kampanye Amnesti Internasional Taiwan, menggambarkan legenda tentang pelangi di Tahiland. Menurutnya, bagi masyarakat Thailand pelangi merupakan jembatan untuk betemu leluhur. Demikianlah hendaknya dengan gereja, yang harus terus berkomunikasi dengan rakyat yang beragam. Gereja seharusnya menjadi jembatan antara golongan dan kasta. Inilah misi Gereja di Asia: menjadi duta perdamaian yang berakar di dunia ini.
Sementara itu, Dr. Henriette Hutabarat Lebang mengutarakan refleksi gereja-gereja di Asia terhadap tema Sidang Raya terkait dengan pengalaman nyata menyaksikan konflik bersenjata, eksploitasi dan kekerasan. Dia menyebutkan perlunya gereja-gereja lebih kuat lagi membangun kerjasama dan kehidupan bersama, terutama menghadapi kekuatan-kekuatan negatif yang mengingkari keadilan dan perdamaian. Untuk itu, dia mengungkapkan bahwa gereja-gereja di Asia menaruh harapan penuh bahwa Allah kehidupan akan menunjukkan jalan membawa kita kepada keadilan dan perdamaian.
“Kami orang-orang Kristen Asia percaya bahwa Allah kehidupan akan menunjukkan kepada kita jalan dan membawa kita untuk keadilan dan perdamaian,” kata dia menambahkan. Sementara pada bagian lain, Rev Connie Semmy Mella dari Gereja Metodia Pilipina berkata, “Melihat kompleksitas Asia, perdamaian rasanya seperti mimpi. Dan berjuta orang kehilangan suara, tetapi saya tidak akan mau diam!” Sekalipun Asia Penuh dengan kontradiksi sebagai benua kaya namun banyak kemiskinan, sekalipun Asia memiliki kerentaan, namun Asia juga ketahanan yang kuat. Dalam kaitan inilah Dr Nababan mendorong pembahasan tentang berbagai isu, yang perlu ditangani sebagai kepedulian terhadap gereja-gereja Asia, seperti imigrasi, ancaman ekstrimisme, situasi hak asasi manusia, keadilan jender, kritik terhadap paradigma pembangunan yang dominan dan dampak terhadap kehidupan adat dan ekologi.
5. Solidaritas bagi Penyandang Disabilitas dan Masyarakat Adat
Jaringan Advokasi Disabilitas Ekumenis (Ecumenical Disability Advocates Network / EDAN) menggelar acara presentasi dan diskusi melalui studi Alkitab tentang refleksi disabilitas sebagai subjek dalam masyarakat dan gereja di Korea.
Mereka menganjurkan gereja membuka kesempatan bagi penyandang disabilitas dan perempuan berkontribusi dalam kehidupan gereja dan masyarakat. Mereka juga menyusun strategi tentang cara untuk mempromosikan karya EDAN, sehingga bersama gereja memberikan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dalam masyarakat bagi para penyandang disabilitas.
Berkaitan dengan masyarakat adat (indigenous people), isu yang akan dibahas menyangkut solidaritas dengan perjuangan untuk tanah air masyarakat adat, budaya, tradisi spiritual, identitas dan martabat masyarakat adat di banyak bagian dunia.
Peserta dari masyarakat adat akan berbagi tentang perjuangan mereka terhadap tindakan eksploitatif, industri ekstraktif dan kebijakan pembangunan yang tidak adil.
6. Solidaritas terhadap Pemuda dan Perempuan
Tema keadilan dan perdamaian juga menjuadi pergumulan para pemuda dan perempuan yang menyelenggarakan “gathering” sebelum Sidang Raya. Dalam Pre-Assembly tersebut, mereka membahas bagaimana berkontribusi pada sidang tersebut.
Acara untuk pemuda merupakan kegiatan yang penuh warna dan percakapan yang hidup di antara peserta muda dan para pemimpin ekumenis senior. Sekitar 500 orang Kristen muda usia 18 sampai 35 bergabung dalam acara ini. Dari Indonesia hadir 16 pemuda dalam Pre-Assembly ini di samping 2 Pandu Sidang Raya.
Dalam pembahasan tema Sidang Raya, angkatan muda mengungkapkan gagasannya melalui Melisande Shifter, seorang teolog muda dari Evangelical Church in Baden, Germany, yang menjadi penanggap satu-satunya dalam sesi presentasi tema SR oleh tiga tokoh besar. Melisande berkata: “saya salah seorang dari sekitar 500 pemuda dalam SR ini. Saya dibesarkan oleh ayah kristen Jerman dan ibu budha Thailand. Saya kira banyak anak hibryd seperti saya sekarang ini. Saya mengamati perubahan yang begitu signifikan dalam struktur demografi kekristenan saat ini, bukan hanya pergeseran dari utara ke selatan, tapi juga komposisi usia. Ada banyak wajah-wajah muda dan ini akan menentukan dalam masa depan kekristenan. Abad 21, tidak ada pilihan, harus melibatkan kaum muda agar membawa perubahan yang bermakna. Telah terjadi perubahan yang begitu besar dan kaum muda hadir dengan simbol-simbol baru dan olehnya gereja harus aktif melibatkan kaum muda dengan segala simbol yang diusungnya”.
Para pemuda ini berharap agar Sidang Raya tidak hanya dalam bentuk retorika yang baik-baik tapi transformasi dalam aksi, termasuk melibatkan kaum muda dalam berkontribusi untuk keadilan dan perdamaian”.
Sementara Pre-Assembly yang diselenggarakan perempuan kali ini cukup menarik karena juga diikuti oleh kaum lelaki, menjadi “man and women gathering”. Tema yang dibahas berkaitan dengan isu perempuan adalah penindasan terhadap perempuan, kesehatan seksual dan HIV, keadilan jender, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan manusia dan perbudakan seksual terhadap perempuan, feminisasi kemiskinan dan pembangunan perdamaian.
Untuk “Man and Women Gathering” ini hadir 21 perempuan dan 2 lelaki dari Indonesia
7. Beberapa Catatan tentang Program
Salah satu masalah yang mengemuka dalam kaitan dengan penyelenggaraan program DGD adalah tantangan yang berkaitan dengan masalah finansial. Hal ini yang, antara lain, memaksa DGD melakukan restrukturisasi, baik dalam program maupun struktur organisasi.
Sidang Raya melahirkan beberapa gagasan utama yang akan menjadi kerja programatis gereja-gereja anggota DGD, atara lain:
Pertama, penegasan baru mengenai makna gereja dalam dokumen “The Church: Towards a Common Vision”. Komisi Faith and Order DGD didorong untuk menyebarluaskan dokumen itu dan meminta masukan dari gereja-gereja. Mengenai isu-isu yang masih memecah belah gereja-gereja, DGD didorong untuk berfungsi sebagai “ruang aman” di mana gereja-gereja dapat masuk ke dalam dialog dan menjalani proses moral discernment bersama mengenai persoalan-persoalan yang menantang mereka, termasuk isu gender dan seksualitas yang kerap membebani gereja.
Kedua, penegasan baru mengenai misi dalam dokumen “Together Towards Life” yang dinilai sebagai langkah penting ke arah pemahaman oikoumenis mengenai hakikat dan praktik gereja sebagai misi. Dokumen ini diharapkan dapat mendorong gereja-gereja untuk makin terlibat dengan upaya misi dan evangelisasi.
Ketiga, pengakuan tentang pentingnya dialog dan kerjasama antar-agama, seperti tertuang dalam dokumen “Christian Witness in a Multi-Religious World”. Dalam dokumen itu ditegaskan bahwa dialog dan kerjasama antar-agama menantang gereja-gereja untuk melakukan refleksi mengenai tradisi keimanan mereka.
Keempat, ziarah untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian itu diletakkan dalam kerangka pemahaman teologis baru mengenai pelayanan gereja yang dituangkan dalm dokumen “Theological Perspectives on ‘Diakonia’ in the Twenty-First Century”. Dalam peziarahannya, gereja-gereja diminta untuk menghormati keutuhan ciptaan dan martabat manusia, serta memperjuangkan kebutuhan dasar bagi semua orang.
Kelima, melanjutkan tradisi panjang WCC dalam “ecumenical formation” dan pendidikan teologi sebagaimana ada di Bossey, Sidang Raya meminta perhatian untuk mengembangkan program yang lebih “sederhana dengan pendekatan baru, seperti global ecumenical theological institute (GETI).
8. Keputusan tentang Government Body
Untuk Government Body, Sidang Raya telah memilih 8 Presiden dan 150 Anggota Central Committe. Presiden terdiri dari:
a) Afrika: Rev Dr Mary Anne Plaatjies van Huffel, dari Uniting Reformed Church in Southern Africa;
b) Asia: Rev Prof Dr Sang Chan, dari Presbyterian Church in the Republik of Korea;
c) Eropah: Archbishop Anders Wejrd, dari Gereja Swedia;
d) Amerika Latin: Rev Gloria Nohemy, dari Colombia;
e) Amerika Utara: Bishop Mark Mac Donald, dari gereja Anglikan Canada;
f) Pasific: Rev Dr Mele’ana Puloka, dari Gereja Methodis di Tonga;
g) Orthodox Timur: HB John X, Patriarch Gereja Orthodox Yunani; dan
h) Ortodox Barat: HH Karekin II, Supreme Patriarch & Catholicos gereja-gereja Armenian.
Ke-150 anggota Central Committee kali ini terdiri dari 39% peremuan dan 61% lelaki, 68% pendeta dan 32% nonpendeta/lay, 13% pemuda, 5% indigenous dan 2% orang dengan kebutuhan khusus.
Central Committee terpilih ini, dalam sidang pertamanya, masih dalam suasana Sidang Raya, telah menetapkan Moderator dan 2 Vice Moderator, yakni Dr Agnes Abuom of Nairobi, dari Gereja Anglican Kenya sebagai moderator, didampingi Bishop Mary Ann Swenson, dari United Methodist Church, USA dan Prof Dr Gennadios of Sassima dari gereja Orthodox (Ecumenical Patriarchate of Constantinople) sebagai Vice Moderator.
Central Committee terpilih ini juga memilih 25 orang dari antara mereka sendiri untuk duduk menjadi Executive Committee.
Adapun anggota Central Committee yang berasal dai Indonesia terditi dari:
a) Pdt WTP Simarmata (HKBP), ordained;
b) Tony Waworuntu (GPIB), lay;
c) Pdt Abednego Adinugroho (GKJW), ordained;
d) Dr Fransina Yoteni (GKI di Tanah Paua), indigenous;
e) Pdt Dr Henriette Lebang (Gereja Toraja), women. Dr Henriette kemudian dipilih menjadi satu dari 25 anggota Executive Committee; dan
f) Pdt Kristi (GKJ), youth
Selama ini Sidang Raya DGD berlangsung dengan empat bahasa resmi dan difasilitasi dengan penerjemahan langsung: Inggris, Jerman, Spanyol dan Prancis. Khusus di Busan ini ditambah dengan dua bahasa: Korea dan Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan atas perjuangan CCA dan PGI. Bahasa tak lagi menjadi hambatan bagi peserta dari Indonesia, sehingga seluruh peserta dai Indonesia dapat mengikuti seluruh pleno dengan baik dan dapat menggunakan bahasa Indonesia untuk mengungkapkan pendapatnya. Terimakasih kepada Dr Merry Kolimon dari GMIT dan Mona Saroinsong dari GMIM yang bekerja keras dan tanpa lelah menerjemahkan semua pembicara di acara-acara pleno.
10. Beberapa Catatan Lepas
a. Pengorganisasian Sidang Raya
Sidang Raya ini diikuti sekitar 5000 peserta dari berbagai belahan dunia dan dari beragam tradisi dan denominasi gereja. Perwakilan Katolik, Jahudi, Islam, Buddha, Hindu, Bahai dan agama-agama suku juga hadir. Seluruh persidangan berlangsung di Bexco, pusat pameran Busan semisal Kemayoran di Jakarta.
Acara harian dimulai dengan Doa Bersama di ruang ibadah, yang dikelola dengan mengombinasikan bahasa Inggris, Jerman, Spanyol, Latin dan Korea. Sesekali lagu dalam bahasa Indonesia juga muncul dan suara merdu Ester Pujo menggema. Ester Pujo adalah dosen Musik dan Liturgi di STT Jakarta yang menjadi anggta Tim Ibadah SR ini.
Seusai Ibadah pagi, peserta membagi diri untuk mengikuti Kelompok Penelaahan Alkitab. Saya mencatat ada 13 kelompok berbahasa Inggris, dua kelompok berbahasa Prancis, dan masing-masing satu kelompok berbahasa Spanyol, Jerman, Korea dan Indonesia. Acara PA ini berlangsung di Convention Hall yang terbagi-bagi menjadi ruang kelompok. Seusai PA, peserta bergabung di Assembly Hall untuk pleno mendengarkan presentasi tentang Mission, Unity, Justice dan Peace, di samping Theme dan Asia Plenary (jadi ada enam pleno menjelang makan siang selama Sdang Raya ini).
Sore hingga malam hari ada tiga sessi. Pertama adalah Business Plenary, dimana seluruh proses-proses organisatoris dibicarakan dan diputuskan. Business Plenary ini berlangsung di ruang sidang yang ditata sedemikian rupa sehingga persidangan dapat berjalan baik walau dengan peserta yang demikian besar. Termasuk dalam bagian ini adalah Closed Session, yang hanya diikuti delegasi pemegang vote, untuk pemilihan dan proses pengambilan keputusan. Kedua adalah Madang dalam bentuk seminar, workshop dan berbagai acara yang berlangsung secara simultan. Acara Madang ini diorganisir oleh stake-holder WCC, termasuk gereja anggota dan mitra-mitranya. Panitia hanya menyediakan ruang dan waktu, sementara bentuk dan substansi acara sepenuhnya dilaksanakan oleh pengisi acara. Saya mencatat sedikitnya 91 acara Madang selama SR ini, seperti Interfaith Dialog, Ecolgical Issues, Difable Ministry dll. Ketiga adalah Ecumenical Conversation yang berlangsung juga secara simultan. WCC menyiapkan dan memfasilitasi 21 issu ekumenis, antara lain Called to be one: New Ecumenical Landscape, Evangelical tday: New Ways for Authentic Discipline, Economy of life: Overcoming Greed to Eradicate Poverty, Middle East: Whose Justice and What Peace?
Selain ketiga sessi tersebut masih ada Regional Meeting dan Confessional Meeting. Regional Meeting terbagi atas Asia, Africa, Caribbean, Europe, Latin America, Middle East, North America dan Pacific. Confessional Meeting terdiri atas 17 group berdasarkan denominasi yang ada seperti Anglican, Baptist, Evangelical, Lutheran, Mennonites, Methodist, Orthodox, Pentecostal, Reformed dll.
Semua acara dan ruangan tersebut berada dalam satu bangunan besar. Digunakan 4 ruangan yang masing-masing mampu menampung 5000 orang (Auditorium untuk Planery Session, Hall A untuk Ibadah dan Hall B untuk Pameran –STT Jakarta dan GKI di Tanah Papua masing-masing membuka stand di Pameran ini– dan Hall C untuk Business Planery). Lalu ada Convention Hall yang terdiri dari sekitar 30 ruangan yang mampu menampung 50-100 orang dan Ballroom untuk sekitar 1000 orang.
Selain acara-acara tersebut juga ada acara weekend yang terdiri dari ecumenical pilgrim for peace with Korean dan ikut dalam ibadah Minggu di jemaat-jemaat.
Keramah-tamahan Korea dan profesionalisme sangat terasa dalam meka mempersiapkan dan menyelenggarakan Sidang Raya. Ditambah dengan fasilitas yang sangat baik, menjadikan SR berlangsung meriah sekaligus serius.
b. Sambutan Perdana Menteri Korea
Perdana Menteri Korea, Jung Hong-won hadir di persidangan Sidang Raya dan dalkam sambutannya, antara lain berkata: “Saya memahami bahwa dasar kekristenan adalah kasih. Dan saya percaya, kasih akan memampukan kita mengupayakan perdamaian. Dalam kaitan ini saya berharap pada persidangan ini untuk merangkul seluruh dunia ke dalam perdamaian dunia…….Kami mengucapkan terimakasih keada WCC yang telah melakukan banyak hal dalam mengupayakan perdaiaman Peninsula. Sidang Raya ini, bersamaan dengan peringatan 60 tahun keterpisahan Korea. Kami-lah negeri yang paling merindukan perdamaian saat ini, dengan ketegangan Peninsula. Terimakasih atas upaya-upaya gereja selama ini untuk mempersatukan kedua Korea. Anda sebagai delegasi yang hadir, juga sangat membantu dalam hal ini….”
c. Sambutan Prof Dr Din Samsudin
Prof Dr Din Samsudin, Ketua Umum Muhammadyah dan Presiden Asia Conference for Religious and Peace, menyampaikan salam dalam Unity Planery, antara lain berkata: “Pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Quran berkata bahwa pluralitas itu adalah kehendak Tuhan. Pluralitas bukan hanya realitas kemanusiaan, tetapi mencerminkan kemuliaan Tuhan. Sebagai bangsa Indonesia, kami telah ratusan tahun hidup dalam pluralitas ini dengan damai dan harmoni. Ini bisa terjadi bukan hanya karena falsafah Bhinneka Tunggal Ika, tetapi karena memang Tuhan memerintahkan untuk hidup damai di tengah perbedaan yang ada, termasuk perbedaan iman……Memang ada sedikit ketegangan. Tetapi itu lebih karena kesalahpahaman dan karena penyalah-gunaan ajaran agama……..Hidup dalam kemajemukan bukanlah kemauan manusia tapi kehendak Allah. Kesediaan untuk hidup dalam damai di tengah pluralitas akan menjadikan anda pemenang, dan sebaliknya, ketidak-sediaan untuk hidup damai dalam kemajemukan, anda akan menjadi “looser”……Islam, Kristen dan Jahudi datang dari akar yang sama, dan olehnya banyak kesamaan ajaran. adalah penting bagi kita untuk mencari “commond word”. Dari Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia, harus menjadi dasar bersama kita. Ini waktunya bagi kita untuk mencari “commond word” dan merumuskan musuh bersama, yang adalah kemiskinan, ketidakadilan, terorisme dll……Dengan ini, dari perbedaan iman kita akan bisa berjalan dalam perdamaian.
Oleh: Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Sekretaris Umum PGI)
Be the first to comment