JAKARTA,PGI.OR.ID-Tragedi Aceh Singkil kini memasuki babak baru. Pemerintah daerah Aceh telah memulangkan sekitar 8000 pengungsi warga Aceh Singkil yang saat terjadi bentrok terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara.
Sayangnya, solusi yang diambil pemerintah daerah Aceh Singkil tetap saja mencederai rasa keadilan, dan bertentangan dengan semangat kebhinekaan, Pancasila dan UUD 1945, karena tetap menyetujui adanya pembongkaran gereja yang tidak memiliki izin. Sebuah jalan keluar yang amat sangat menyesakkan. Bahkan terbesit kabar kesepakatan tersebut diambil lewat tekanan-tekanan kepada jemaat Kristen yang ada di pengungsian.
Dengan mengerahkan sekitar 20 Satpol PP, Pemerintah melakukan pembongkaran tahap pertama terhadap 10 gereja yang dinyatakan tak memiliki izin, Senin 19 Oktober. Pembongkaran pertama dilakukan pukul 09.00 WIB waktu setempat terhadap Undung-Undung, atau rumah ibadah kecil Katolik di Desa Mandumpang, Kecamatan Suro. Bangunan yang berkonstruksi kayu itu cukup sederhana sehingga pembongkaran hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam, dengan menggunakan palu, martil, beliung, dan gergaji.
Kemudian para petugas bergerak ke Desa Siompin yang berjarak sekitar 1 Km untuk mengeksekusi perintah pembongkaran terhadap dua gereja di desa itu, yakni Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), dan Gereja Misi Injil Indonesia (GMII).
Awalnya, pemerintah berharap jemaat yang melakukan pembongkaran rumah ibadah mereka sendiri. Namun, menurut penuturan Pendeta Paima Berutu dari GKPPD, para jemaat tidak bersedia membongkar gereja sendiri. “Kami tidak tega untuk membongkar rumah ibadat kami sendiri. Hari Minggu kemarin, Bupati Aceh Singkil memang menyarankan kami bongkar sendiri. Tapi semalam, kami jemaat gereja, sepakat satu gereja untuk menyerahkannya kepada pemda,” katanya.
Pembongkaran yang berlangsung dengan kawalan lebih dari sekitar 100 polisi dan tentara itu berlangsung tanpa perlawanan dari para jemaat gereja. Jemaat hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, termasuk termasuk Pendeta Paima berutu. Bahkan, seorang ibu lanjut usia menangis terisak sambil menatap pembongkaran.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dalam suratnya yang dilayangkan ke Presiden RI Joko Widodo pada 15 Oktober 2015, menegaskan agar Pemerintah Pusat mendorong Pemerintah Kabupaten segera memfasilitasi pengurusan ijin gereja sesuai aturan yang berlaku supaya itu tidak lagi dijadikan alasan oleh kelompok intoleran untuk melakukan kekerasan terhadap umat Kristen. Hal serupa diharapkan juga dilakukan di daerah-daerah lain dimana banyak gereja atau rumah ibadah lainnya sulit memperoleh ijin dan supaya peristiwa Aceh Singkil tak terulang di kemudian hari.
Selain itu, PGI juga meminta Pemerintah Pusat mendorong memfasilitasi dan membantu pembangunan kembali rumah ibadah yang dibakar tersebut. Hal ini penting untuk memberikan dan menjamin rasa keadilan bagi umat Kristen di Aceh Singkil dan daerah lainnya di Indonesia.
Namun tampaknya Pemerintah Pusat tidak menggubris apa yang menjadi harapan PGI terkait persoalan di Aceh Singkil, justru malah setali tiga uang, ikut menyetujui pembongkaran gereja-gereja di sana.
Jelas solusi yang diambil tidak menyelesaikan masalah. Pertanyaannya ke mana jemaat akan beribadah setelah gerejanya dibongkar? Menurut Pendeta Paima Berutu, di Aceh Singkil jarak lokasi gereja yang satu dengan lainnya sangatlah berjauhan. “Yang pasti, ada dua gereja, di desa lain, di Keras dan di Mandumpang. Yang satu 4 Km, yang satu lagi jaraknya 3 Km,” katanya, seperti dilansir BBC Indonesia.
Hal yang sama menjadi pekerjaan rumah Ketua Dewan Stasi Gereja Katolik Mandumpang, Dolly Manik. Menurutnya, pembongkaran gereja mereka akan membuat 17 kepala keluarga yang akan beribadat harus menempuh perjalanan sejauh 30 menit ke gereja terdekat di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah.
Jauhnya lokasi gereja tentu bukan satu-satunya kendala yang bakal dihadapi jemaat ketika akan melaksanakan ibadahnya.
Ketidaktegasan dan keberpihakan pemerintah kepada kelompok intoleran kembali ditunjukkan lewat peristiwa ini, seperti peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya. Dan Indonesia pun kembali menangis!
Kronologi Pembakaran Gereja di Aceh Singkil
1. Sebagaimana diketahui, tragedi Aceh Singkil diawali adanya unjuk rasa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri sebagai Pemuda Peduli Islam (PPI), Selasa (6/10). Dalam unjuk rasa itu mereka mendesak agar pemerintah daerah segera membongkar gereja yang tidak memiliki izin. PPI merasa tidak puas dengan kesepakatan diantara pemerintah setempat, dengan kelompok masyarakat terkait 21 gereja yang kabarnya bermasalah dalam hal perizinan, dan rencananya akan melakukan pembongkaran pada 19/10. PPI justru mengultimatum jika hingga 13 Oktober pemda tidak melakukan pembongkaran, maka PPI akan melakukannya sendiri.
2. Namun tanpa diduga, Selasa (13/10), pukul 08.00 WIB, massa berjumlah sekitar 500-700 orang berkumpul di Masjid Lipat, Kajang Bawah, Simpang Kanan, Singkil, Aceh. Kemudian, pukul 10.00 WIB massa bergerak ke Tugu, Simpang Kanan, Singkil. Sejumlah aparat TNI dan Polri menghadang mereka. Massa pun akhirnya menuju Gereja HKI di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah. Aparat TNI dan Polri yang dikirim untuk mengamankan gereja hanya 20 orang.
3. Pukul 11.00 WIB, massa yang dihadang tadi menyebar ke beberapa titik. Ada yang menggunakan sepeda motor, ada yang jalan kaki menuju Gereja HKI, dan membakar gereja itu.
4. Sekitar pukul 12.00 WIB, setelah membakar gereja, massa bergerak ke Desa Danggurang, Kecamatan Simpang Kanan. Di sini, terjadi bentrok antara masyarakat yang menjaga gereja dan masyarakat yang membakar gereja. Satu orang dikabarkan tewas, empat orang terluka, termasuk seorang anggota TNI.
5. Sore harinya, Polri melakukan penyekatan dan pembatasan wilayah Sumatera Utara dengan satu SSK Brigade Mobil. Di antaranya berbatasan dengan Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, dan Dairi. Penyekatan ini bertujuan supaya tidak ada kegiatan dari Sumatera Utara masuk ke Singkil. Setiap sekat dijaga 20-30 aparat keamanan.
Beberapa Kasus Pembakaran Gereja di Aceh Singkil
Kasus pembakaran gereja itu bukan peristiwa bernada suku, agama, ras, dan antar golongan, pertama di wilayah itu. Berikut ini beberapa kasus pembakaran, termasuk penutupan sejumlah gereja di Aceh Singkil yang terjadi selama ini.
27 Maret 1995
Daerah : Kecamatan Penanggalen
Gereja : Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD)
Jenis : Terjadi pembakaran, tapi berkat bantuan warga, gereja berhasil diselamatkan.
21 Maret 1995
Daerah : Kecamatan Gunung Meriah
Gereja : Kristen GKPPD
Jenis : Terjadi pembakaran, tapi berkat bantuan warga, gereja berhasil diselamatkan.
21 Juli 1998
Daerah : Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah
Gereja : Kristen GKPPD
Jenis : Sebagian dinding gereja dibakar orang tidak dikenal
September 2001
Daerah : Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan Gunung Meriah, dan Kecamatan Danau Paris.
Gereja : Sepuluh gereja ditutup
Jenis : Warga tidak setuju pendirian gereja
September 2006
Daerah : Desa Siompin, Kecamatan Surou
Gereja : Gereja Kristen
Jenis : Gereja dibakar karena warga tidak setuju rumah dijadikan tempat peribadatan
18 Agustus 2015
Daerah : Kecamatan Suro
Gereja : Gereja GKPPD
Jenis : Gereja terbakar habis oleh orang tidak dikenal.