Pendidikan Multikultural untuk Keadilan dan Perdamaian

PGI — Jakarta. Mencari pendidikan multikultural ala Indonesia, sebagaimana disinggung oleh Jimmy Paat pada hari kedua pelaksanaan SAA 2014, menjadi poin krusial mengingat berkembangnya persoalan ketidakadilan dan pendominasian ruang pendidikan di dalam masyarakat. Bagi Paat, pendidikan di Indonesia sesungguhnya masih belum tuntas menggumuli arah pendidikan dalam konteks mencerdaskan bangsa dan memperkuat identitas sebagai sebuah bangsa. Bahkan, data empiris mengenai kondisi riil pendidikan di Indonesia saja masih minim. Kondisi ini semakin diperumit dengan persoalan rendahnya kualitas guru dan terhisapnya pendidikan ke dalam arus liberalisasi sehingga standarisasi dan penyeragaman kurikulum kemudian muncul ke permukaan; termasuk tereduksinya proses belajar naradididk ke dalam ujian nasional yang hanya menonjolkan aspek kognitif dari beberapa mata pelajaran.

Pembacaan Paat terhadap persoalan pendidikan di Indonesia terasa menarik mengingat praktisi pendidikan seperti Retno Listyarti dan Anis Fakhrihatin, pembicara yang juga tampil dalam hari kedua pelaksanaan SAA 2014, memperlihatkan betapa praksis pendidikan di Indonesia seperti menjauh dari cita-cita pendidikan untuk mencerdaskan dan membangun karakter bangsa. Eksploitasi identitas agama telah menguasai dunia pendidikan yang, pada saat bersamaan, sedang babak belur akibat praktek korupsi yang sudah berurat akar selama bertahun-tahun. Dalam konteks ini, Listyarti memandang kurikulum 2013 muncul bagaikan “obat” yang keliru karena tidak memberikan solusi terhadap persoalan pendidikan di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah terperosok menjadi negara dengan sistem pendidikan terburuk; berdasarkan The Learning Curve 2014 yang dirilis Pearson. Sejalan dengan Listyarti, Fakhrihatin menilai kurikulum 2013 gagal membangun karakter naradidik dan memperkuat visi kebangsaan. Bahkan, kurikulum 2013 seperti membenamkan dunia pendidikan ke dalam kompetensi religius yang formalistik dan simbolik, serta dominasi aspek kognitif yang begitu kuat. Dalam konteks ini, carut-marut pendidikan terasa semakin lengkap dengan komplikasi yang ditimbulkan oleh UU No. 14 tahun 2005 – sebagaimana disinggung oleh Fakhrihatin – di mana guru akhirnya terjebak dalam formalitas untuk memenuhi ketentuan jam mengajar dan berbagai persoalan administratif demi mengejar tunjangan profesi.

Ketiga pembicara di atas memandang perbaikan guru sebagai hal yang penting dalam rangka pembenahan persoalan pendidikan mengingat: (1) dengan kualitas guru yang semakin baik maka berbagai kelemahan dalam pendidikan dapat dibaca secara kritis oleh para guru dan pada gilirannya melahirkan perbaikan kualitas pendidikan, (2) guru yang kreatif dapat menyiasati kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem pendidikan dan (3) guru sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri karena merekalah yang berada di garis terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Namun sayangnya, pemerintah tidak memperbaiki persoalan guru, tetapi yang dilakukan malah mengeluarkan kurikulum 2013 yang justru menimbulkan komplikasi. Ini belum lagi ditambah persoalan kekerasan terhadap anak, sebagaimana disinggung oleh Agus Hartono dari Yayasan Pemantau Hak Anak, yang terjadi di sejumlah sekolah. Bahkan, kekerasan di sekolah menduduki peringkat kedua tertinggi setelah kekerasan dalam rumah tangga; kekerasan tersebut (di sekolah) mengambil bentuk kekerasan emosional, verbal, fisik dan seksual. Ini semua membuat sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak. 

Sejumlah persoalan yang diangkat oleh beberapa pembicara juga dirasakan oleh utusan gereja-gereja yang hadir dalam SAA 2014. Kelemahan dukungan sekolah-sekolah, dalam konteks policy sekolah dan mindset guru-guru, untuk menghadirkan pendidikan multikultural berjalan bersamaan dengan: (1) kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) yang dirasakan mempersulit berkembangnya pendidikan multikultural, (2) tidak tersosialisasinya nilai-nilai multikultural dalam keluarga dan (3) persoalan sosio-budaya yang kadang menghampat interaksi multikultural di tengah masyarakat. 

Dalam konteks pergumulan di atas, rasanya apa yang disinggung oleh Paat menjadi penting, yakni pendidikan multikultural untuk keadilan dan perdamaian merupakan satu-satunya jalan untuk mengubah ketimpangan dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.

Penulis: Beril Huliselan (Anggota Pokja Penelitian Biro LitKom PGI)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*