Pendidikan Karakter Multikultural Kian Mendesak Dilaksanakan

MEDAN,PGI.OR.ID-Kepala Staf Kepresidenan RI, Teten Masduki, mengatakan pendidikan karakter multikultural kian mendesak untuk dilaksanakan di setiap lembaga pendidikan.

“Pendidikan multikultural ini harus dimulai dari pendidikan usia dini dan tidak berhenti di pendidikan tinggi,” kata Teten, di Medan, Rabu (27/9), pada orasi ilmiah Dies Natalis ke-65 Universitas Sumatera Utara (USU).

Teten mengatakan, dengan pendidikan multikultural, sekolah atau kampus menjadi lahan penghapus prasangka (prejudice), sekaligus melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis.

“Pengembangan karakter seperti ini untuk menghentikan penyebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), maupun paham radikalisme,” ujarnya.

Ia menyebutkan, peran guru/pengajar/dosen dalam pendidikan multikultural sangat penting, mereka diharapkan akan beranjak dari pembelajaran yang hierarkis dan otoriter menuju pembelajaran yang demokratis.

Dengan perubahan ini, diharapkan pembelajaran tidak menghasilkan “stereotype” dan prasangka yang dapat mendorong perlakuan diskriminatif.

“Perlakuan diskriminatif seperti bully masih dalam tahapan menghawatirkan,” ucapnya.

Ia mengatakan, laporan dari KPAI maupun Lembaga Internasional seperti WHO, menunjukkan lebih dari 20 persen anak Indonesia berusia 13-17 tahun memiliki pengalaman bully (Unicep, 2015).

Tindakan bully adalah persoalan serius penolakan relasi sosial secara sistematis yang akan membahayakan karakter generasi ke depannya. “Kita harus secara terus menerus menghilangkan sikap perilaku bully,” katanya.

Ia menjelaskan, peran penting lembaga pendidikan tinggi tidak berhenti pada penumbuhan kultur demokrasi.Selain menciptakan masyarakat yang berbudaya, perguruan tinggi juga menjadi tumpuan untuk menumbuhkan daya saing dan agenda pembangunan bangsa.

Cita-cita peningkatan pertumbuhan ekonomi yang merata, juga tidak terlepas dari peran perguruan tinggi.Jalan menuju ketercapaian cita-cita tersebut bukan tanpa tantangan.Sebagai contoh, agenda pembangunan infrastruktur membutuhkan setidaknya lebih kurang 2.700 insinyur elektro.

“Sementara saat ini jumlah SDM bersangkutan tidak mencapai 50 persen dari angka yang dibutuhkan (Ditjen SDM Inptek Kemristekdikti, 2016),” kata mantan Ketua Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch itu. (AntaraNews)