Pendidikan Guru Agama: Dibutuhkan Sistem dan Lingkungan Belajar yang Memperkuat Moderasi Agama

Diskusi hasil penelitiansistem produksi guru agama Islam di Indonesia

JAKARTA, PGI.OR.ID Berbagai data intoleransi di lingkungan pendidikan dan generasi muda mendapat perhatian dari sejumlah Lembaga seperti United Nations Development Programme (UNDP), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarya dan Center for the Study of Islam and Social Transformation. (CISFORM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh ketiga Lembaga tersebut dan dipresentasikan di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (10/1). Dalam sambutannya, Saiful Umam, Direktur PPIM, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari proyek besar. untuk memetakan dengan lebih tepat kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia.

Lebih lanjut, Saiful Umam menjelaskan bahwa PPIM sudah melakukan beberapa riset yang dilatarbelakangi oleh perhatian terhadap meningkatnya tren intoleransi dalam kehidupan keagamaan dan ancamannya terhadap bangunan kebangsaan Indonesia. Riset tersebut dilakukan pada 2016 tehadap guru agama Islam dan pada 2018 terhadap guru agama Islam dan guru umum. Hasilnya menunjukan bahwa pandangan keagamaan yang radikal berkembang di kalangan guru. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan menurut Saiful Umam, yakni ketika guru mengajar seperti ini, lalu bagaimana dengan kualitas lembaga yang menghasilkan guru tersebut? kemudian, bagaimana dengan mahasiswa-mahasiswa yang berada dalam lingkungan perguruan tersebut? Karena itu, penelitian kali ini memberi perhatian pada penyelenggaraan sistem pendidikan guru-guru agama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), termasuk sikap keagamaan dari para dosen dan mahasiswa, soal kompetensi, proses belajar-mengajar dan lingkungan pendidikan; penelitian dilakukan di 9 kota, melibatkan 169 dosen dan 981 mahasiswa sebagai respondennya.

Ada catatan positif dari hasil penelitian ini, seperti adanya persentase yang besar di kalangan mahasiswa (calon guru-guru agama Islam) yang menerima Pancasila, kesediaan untuk hidup dengan orang yang berbeda agama dan menolak penggunaan kekerasan dalam membela agama. Di kalangan para dosen, ada persentase yang juga besar dalam penolakan terhadap sistem khilafah dan penggunaan kekerasan. Namun di sini ada persoalan, yakni terjadinya gap antara para dosen dan mahasiswa (calon guru agama). Di kalangan mahasiswa, justru ada penerimaan yang tinggi terhadap sistem Khilafah (47,5%), penolakan terhadap Ahmadiyah dan Syiah (45%) serta pendangan bahwa pemerintah Indonesia tidak Islami (41,6%). Kemudian, ada sejumlah dosen (14,2%) dan mahasiswa (27,4%) memandang bahwa kekerasan dibutuhkan untuk membela agama. Dalam pandangan para peneliti, hal seperti ini memperlihatkan adanya potensi intoleransi dan sikap radikal dalam pendidikan guru agama. Selain itu, Tim peneliti juga mencatat adanya berbagai aktivitas di lingkungan kampus yang turut memperkuat intoleransi, misalnya ideologi tarbawi dan salafi yang diusung Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang berjejaring dengan jaringan Islamisme lainnya.

Tim peneliti merekomendasikan agar ada perbaikan kompetensi guru-guru agama, perbaikan kurikulum untuk memberi tempat bagi kedalaman pengetahuan agama dan isu-isu agama yang aktual, memberi ruang bagi studi kritis, memperkuat tema-tema kebangsaan dalam proses pembelajaran dan pengaturan kehidupan kampus untuk meminimalisir menyebarnya ideologi yang intoleran dan radikal.

 

Pewarta: Beril Huliselan

COPYRIGHT PGI 2019

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*