Pengaju uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Perkawinan ingin negara menghentikan monopoli dan tidak menyerahkan tafsir sah nikah pada petugas pencatatan sipil. Pengaju ingin negara mengembalikan tafsir tersebut kepada masyarakat dan institusi agama.
“Sebenarnya seperti ini, kalau kita melihat tujuan dari judicial reviewini bukan untuk menentang agama, tapi untuk memposisikan negara di tempat yang seharusnya, yaitu tidak lagi menghakimi, mencatatkan saja cukup, mengakomodasilah, seperti itu,” kata pemohon uji materi UU Perkawinan, Damian Agata Yuvens, seperti dilansir Tempo.co.
“Kalau keluarga yang bilang, penafsirannya seharusnya seperti ini, dan Anda mengikuti, silakan. Institusi agama yang bilang, penafsirannya seperti ini dan Anda ikuti, silahkan. Jangan negara. Itu tidak boleh dimonopoli oleh negara,” katanya lagi.
Rekan Damian, Rangga Sujud Widigda, menambahkan, timnya justru ingin mengklarifikasi peran institusi agama dalam perkara ini.
“Pasal ini, kan, penentunya pegawai pencatatan sipil atau hakim, bukan institusi agama. Sebenarnya, baik dalam konstruksi yang sekarang ini dalam pasal 2 ayat 1 maupun dalam konstruksi yang kami ajukan, institusi agama sama saja yang bukan penentu akhir,” lanjutnya.
Menurut dia, “Bedanya, kalau di pasal ini, penentu akhirnya petugas pencatatan sipil atau hakim, yang menjadi penentu dalam pasal (revisi) yang kami ajukan judicial review-nya nanti adalah masyarakat.”
Sebelumnya, Damian Agata Yuvens, Anbar Jayadi, Rangga Sujud Widigda, dan Luthfi Sahputra pada 4 Juli 2014 telah mengajukanjudicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Tujuan pengajuan ini untuk memberikan kepastian dan perlindungan terhadap hak konstitusional setiap warga negara Indonesia, khususnya hak beragama, hak untuk melangsungkan perkawinan, hak untuk membentuk keluarga, hak atas kepastian hukum, hak atas persamaan di hadapan hukum, dan hak atas kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Sumber: http://indonesia.ucanews.com/
Be the first to comment