Pemerintah Kabupaten/Kota Pelanggar Hak Atas KBB Tertinggi!

Pemkot Bekasi saat melakukan penyegelan salah satu masjid milik Jemaat Ahmadiyah

JAKARTA,PGI.OR.ID-Jumlah pengaduan pelanggaran hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang diterima Komnas HAM pada tahun 2015 (Januari-November) berjumlah 87 pengaduan. Jumlah ini meningkat dari jumlah pengaduan pada tahun 2014.

Kondisi tersebut disampaikan Pelapor Khusus KBB KOMNAS HAM, Imdadun Rahmat dalam Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto Kav. 37 Kuningan, Jakarta, Selasa (23/2).

Lebih jauh Imdadun menjelaskan, menurut data ternyata Pemerintah Kabupaten/Kota yang lebih banyak diadukan sebagai pelanggar hak atas KBB (36 kasus), disusul Kelompok Orang/Kelompok Warga Masyarakat (10 kasus), Institusi/Ormas Keagamaan (7 kasus), Pemerintah Pusat/Presiden (6 kasus), Kepala Desa/Lurah (6 kasus), dan Kepolisian (5 kasus).

“Fakta ini sangat memprihatinkan karena Pemerintah Daerah yang seharusnya melaksanakan mandat melindungi hak beragama warga negara justru menjadi pelaku pelanggaran. Fakta ini juga menunjukkan ada persoalan serius terkait implementasi norma-norma HAM, khususnya hak atas KBB di tingkat Pemerintah Daerah. Masalah tersebut dapat berupa komitmen, kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan aparatur di daerah dalam melaksanakan jaminan hak atas KBB,” jelasnya.

Ketua Komnas HAM Nur Kholis saat menyerahkan plakat kepada Walikota Kupang Jonas Salean dan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, sebagai daerah yang rendah terhadap pelanggaran hak atas KBB
Ketua Komnas HAM Nur Kholis saat menyerahkan plakat kepada Walikota Kupang Jonas Salean dan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, sebagai daerah yang rendah terhadap pelanggaran hak atas KBB

Selain itu, hal tersebut juga memperlihatkan banyak Pemimpin Daerah yang belum sepenuhnya menyadari tanggungjawab dan kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas KBB warga negara.

Dilaporkan pula, dari segi korban, diadukan bahwa pelanggaran hak atas KBB lebih banyak menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (17 kasus), Jemaat Masjid/Mushala (16 kasus), dan gereja (15 kasus). Tingginya jumlah korban dari JAI menunjukkan bahwa persoalan JAI di Indonesia juga masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh Pemerintah. Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung tahun 2008 tentang Ahmadiyah ternyata belum mampu menjawab berbagai tindakan pelanggaran terhadap warga Ahmadiyah.

Sedangkan berdasarkan sebaran wilayah, berdasarkan pengaduan pelanggaran terhadap hak atas KBB Jawa Barat paling tinggi (20), DKI Jakarta (17), Jawa Timur (7), NAD (5), Sumatera Utara (4). Tingginya di Jawa Barat menunjukkan bahwa wilayah ini adalah wilayah panas (hot spot) atau wilayah rawan, baik dalam hal jaminan hak atas KBB maupun dalam hal hubungan antar agama.

Diskriminatif dan Multi Tafsir
Meningkatnya pelanggaran pelanggaran dan kekerasan KBB, menurut Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) PGI Pendeta Penrad Siagian, hal itu terjadi akibat dari regulasi-regulasi yang diskriminatif dan multi tafsir. Misalnya PNPS No. 1 Tahun 1965 Atau PBM 2 Menteri 2006, yang sering dijadikan alat legitimasi bagi pelanggaran KBB. Namun selain hal tersebut sikap pemerintah yang tidak tegas yang tampil dalam bentuk-bentuk pembiaran saat terjadi berbagai pelanggaran dan kekerasan terhadap KBB juga menjadi faktor pemicu semakin garangnya kelompok-kelompok intoleran melakukan aksi kekerasannya.

“Namun dari laporan tahunan ini yang cukup mengejutkan kita adalah tingginya aktor negara sebagai pelaku pelanggaran dan kekerasan KBB ini. Data KOMNAS HAM memperlihatkan sebanyak 36 kasus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Jumlah ini menjadi jumlah tertinggi dari pelaku KBB dibanding kelompok-kelompok lain. Tingginya aktor negara sebagai pelanggar dan pelaku kekerasan KBB tentunya memberi pesan yang memperlihatkan massifnya pengarusutamaan intoleransi di kalangan aparatur pemerintah terutama Pemerintah Daerah. Selain tentu saja sebagai akibat dari menjadikan agama sebagai komoditas politik, ekonomi dan kekuasaan,” jelasnya.

Namun tentu saja, dibalik faktor-faktor di atas, lanjut Pendeta Penrad, peningkatan kekerasan berbasis KBB ini adalah dampak dari rendahnya kesadaran kemajemukan di tengah-tengah masyarakat. Hal inilah yang menjadikan isu agama sangat mudah dijadikan alat provokasi aktor-aktor dan kelompok intoleran di Indonesia.

 

Editor: Jeirry Sumampow