JAKARTA,PGI.OR.ID-Menghadapi ekstrimisme yang secara ideologis mengeksploitasi kekerasan untuk tujuan politik yang radikal (violent extremism) tidak lagi memadai dengan pendekatan klasik, yakni sekedar melakukan counter balik terhadap ekstrimisme. Upaya preventif secara menyeluruh juga dibutuhkan untuk menghadapi bahaya ekstrimisme.
Hal itu diungkapkan oleh Christophe Bahuet, direktur UNDP (United Nations Development Programme) Indonesia dalam Workshop on Violent Extremism and Religious Education in Southeast Asia di Jakarta, Senin (11/12). Acara ini juga didukung oleh PPIM UIN Jakarta dan Convey Indonesia.
Bagi Bahuet, dunia saat ini menghadapi gelombang ekstrimisme, intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Bahkan, hasil penelitian UNDP dengan mitranya di Indonesia menunjukan bahwa mayoritas kalangan muda di Indonesia cenderung bergerak ke arah ekstrimisme; 87% dari mereka yang disurvei bahkan memandang pemerintah harus menindak kelompok-kelompok yang dipandang sesat.
Oleh karena itu, UNDP bekerjasama dengan berbagai mitranya di sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk menghadapi ancaman ini secara preventif, yakni memberi perhatian pada kurikulum pendidikan agama, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, persoalan penyingkiran kelompok-kelompok tertentu secara sosial dan politik. Dalam konteks ini, Bahuet membaca bahwa pendidikan agama menjadi salah satu kunci, dan karena itu pertukaran pengalaman antarnegara di Asia Tenggara menjadi penting.
Hal ini juga menjadi sorotan Jamhari, pemimpin proyek Convey dan anggota dewan penasehat PPIM UIN. Bagi Jamhari, masalah ini minimal bersinggungan dengan beberapa tantangan, yakni masalah kualitas guru, berkembangnya media sosial yang sangat cepat dan kurang maksimalnya partisipasi kelompok-kelompok mainstream dalam pendidikan agama yang mendorong toleransi; misalnya dalam bentuk buku pelajaran (text book) dan pelatihan. Karena itu, ada kebutuhan untuk menjembatani gap tersebut. Dan si sini, Workshop on Violent Extremism and Religious Education in Southeast Asia hendak bergerak utuk mencapai dokumen bersama yang akan menjadi standar bagi berbagai aktivitas selanjutnya.
Catatan Bahuet dan Jamhari bisa dikatakan sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Phil Matheza, direktur pusat regional UNDP yang bermarkas di Bangkok. Menurut Matheza, Asia Tenggara merupakan wilayah yang memang memperlihatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, sekaligus terjadi konsumsi masa yang tidak terkendali (tidak sustainable), naiknya kemiskinan, marginalisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu, ekstrimisme yang berkembang cepat dan penderitaan yang diakibatkannya.
Matheza bahkan membaca bahwa kelompok-kelompok ekstrimisme agama berhasil mengeksploitasi potensi lokal dan membuatnya mengakar di tengah masyarakat lokal. Polarisasi identitas yang terjadi di beberapa negara di Asia Tenggara memperlihatkan bagaimana ekstrimisme mengakar dalam masyarakat lokal. Kasus kelompok teroris yang menyerang di Marawi, Filipina, merupakan contoh ekstrim yang memperlihatkan bagaimana kalangan teroris memainkan potensi lokal yang ada.
Kesadaran negara-negara di Asia Tenggara akan ancaman ini, menurut Matheza, telah mendorong negara-negara tersebut untuk bertukar pengalaman dalam rangka saling belajar menghadapi ancaman tersebut. Di sinilah arti penting kegiatan Workshop on Violent Extremism and Religious Education in Southeast Asia bisa ditangkap, yakni menjadi ruang perjumpaan untuk saling belajar antarnegara.
Dalam diskusi kelompok mengenai kurikulum pendidikan dan ekstrimisme agama, para peserta memandang pentingnya pengalaman lintas identitas untuk menghadapi ancaman ekstrimisme. Ruang pendidikan agama pun dirasakan masih mempraktekkan segregasi yang kadang ditekan secara politik dari atas. Hal ini membuat saling mengenal dan belajar mengenai kemajemukan tetap menghadapi hambatan. Bahkan, beberapa guru yang berusaha mendorong nilai-nilai toleransi dan perjumpaan lintsagama pada akhirnya mendapatkan diskriminasi dari sesama koleganya. Hal ini mendorong perlunya komunitas guru yang berperan untuk saling mendukung dalam mendorong penghargaan atas keragaman.
Selain itu, simpul lain yang harus diperhatikan juga adalah posisi penting keluarga dalam mengawal nilai-nilai toleransi bagi generasi muda. (Beril Huliselan)
Be the first to comment