JAKARTA,PGI.OR.ID-PGI bersama KABAR BUMI menggelar acara peluncuran dan diskusi film Erwiana: Justice For All di Grha Oikoumene, Jakarta, Senin (16/01). Film dokumenter yang berdurasi 90 menit ini berkisahkan perjuangan Erwiana, seorang TKI, untuk mendapatkan keadilan setelah mengalami kekerasan hingga intimidasi oleh majikannya di Hongkong.
Gabriel Ordaz, sang sutradara film tersebut menceritakan dia datang ke Hongkong dari Amerika Serikat pada tahun 2010, dan mulai membuat film dokumenter Erwiana: Justice For All pada bulan Desember 2013. Dan, dia pun menyatakan telah lama bergelut dalam dunia film dan televisi selama berada di Amerika Serikat. Gabriel menegaskan “Film adalah alat untuk memperjuangkan Hak Asasi.”
Erwiana Sulistyaningsih yang turut hadir dalam peluncuran film tersebut mengaku bersyukur dan bahagia setelah hakim menyatakan mantan majikannya bersalah dengan di vonis 6 tahun penjara, namun ia pun masih memberikan simpatinya kepada mantan majikannya akan hukuman tersebut.
“Saya sedih. Teringat pengalaman saya. Dan saya berharap agar tidak ada lagi kasus seperti itu lagi.” Kata Erwiana dalam pembukaannya diawal diskusi.
Pada saat diskusi film tersebut peserta yang hadir memberikan apresiasi terhadap Gabriel Ordaz yang membuat film tersebut, dan diharapkan untuk dapat membuat film mengenai kondisi buruh migran agar dapat menjadi bahan untuk melakukan advokasi perlindungan terhadap buruh migran. Diskusi pun berlangsung menarik dan mendapat respon yang cukup antusias dari peserta yang hadir untuk menyaksikan peluncuran film tersebut.
“Menurut saya 6 tahun itu tidak cukup, seharusnya mendapatkan hukuman seumur hidup. Namun, itu hanya menurut dari pandangan saya pribadi mengenai hukuman yang seharusnya didapatkan.” Jawab Gabriel Ordaz ketika mendapatkan pertanyaan mengenai apakah hasil keputusan hukuman tersebut sudah tepat atau belum.
Lanjut Gabriel Ordaz menjawab harapan untuk membuat film mengenai buruh migran lagi, “Untuk membuat film dokumenter lagi memiliki kendala pada dana karena untuk membuat film dokumenter Erwiana ini seluruhnya berasal dari uang pribadi saya.”
Erwina menjawab pertanyaan bagaimana cara ia keluar dari trauma yang pernah ia dapatkan, “cara untuk keluar dari trauma adalah dengan ikhlas dan support dari keluarga dan orang-orang terdekat.” Saat ini Erwiana menjabat menjadi Bendahara dalam kepengurusan KABAR BUMI dan pengalamannya menjadi contoh dalam melakukan advokasi terhadap buruh migran Indonesia yang mendapatkan kekerasan di luar negeri.
Wakil Seketaris Umum PGI, Pdt. Krise Anki Gosal pun memberikan apresiasi dan melihat bagaimana pentingnya peran jaringan untuk membantu permasalahan advokasi buruh migran. Pdt. Krise pun mengingatan bagaimana pentingnya peran gereja dalam upaya advokasi buruh migran dan dalam rangkaian acara PGI untuk advokasi buruh migran di tiga titik.
Sementara itu Anggota Pokja Buruh Migran PGI, Albert Bonasahat, dalam penutup peluncuran dan diskusi film ini mengatakan bahwa, hal yang ingin disampaikan dari film ini yaitu pertama, mengenai permasalahan perempuan dan ekonomi. Kedua, apa yang dihadapi oleh buruh migran selain kekerasan, gaji, dan lilitan hutang. Ketiga, mengenai buruh migran itu bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperdagangkan, buruh migran merupakan manusia dan apa yang menjadi hak pada buruh migran.
Bonasahat sependapat dengan Pdt. Krise mengenai pentingnya dan kesadaran untuk mengetahui jaringan yang membantu advokasi buruh migran yang berada di luar negeri. Ia berharap agar buruh migran Indonesia untuk tidak takut melapor bila mendapatkan kekerasan atau permasalahan yang mereka hadapi.
Dalam kesempatan yang sama pun ia mengkritisi sikap dan cara berpikir mengenai kondisi yang terjadi di dalam negeri, bagaimana kondisi PRT yang ada di dalam negeri. Apakah hak-haknya terpenuhi? Apakah ada undang-undang yang melindungi hak-hak PRT di dalam negeri? (Jonathan Simatupang)