Pelintas Batas itu Telah Pergi

foto: www.kompasiana.com

JAKARTA,PGI.OR.ID-Bangsa ini kehilangan salah seorang putra terbaiknya, dengan berpulangnya Sabam Sirait pada Rabu (29/9/2021) malam pukul 22.37 WIB, setelah sekitar dua bulan dirawat intensif di RS Siloam Karawaci.

Saya mengenang beliau sebagai seorang yang mampu hadir sebagai “Imam” di tengah carut marut perpolitikan bangsa. Seorang politisi senior yang konsisten dengan komitmen politiknya untuk menegakkan demokrasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Untuk kedua hal ini, beliau tak kenal lelah dan juga tak kenal takut. Atas keberaniannya, masyarakat politik Indonesia sempat menjulukinya “Mr Interupsi”. Betapa tidak, di masa pemerintahan orde baru yang hegemonic itu, dia pernah menginterupsi persidangan MPR-RI, sesuatu yang sangat mengejutkan ketika itu. Kita sama mengetahui bahwa ketika itu berlaku pameo mufakat dulu baru musyawarah untuk MPR, sehingga agenda persidangan selalu bak prosesi yang sudah diatur alur percakapannya, bak Suharto dan kelompencapir.

Itulah Bang Sabam, politisi tiga jaman, mulai dari masa Orla, Orba hingga Reformasi, yang menyediakan diri berjuang menegak demokrasi, apapun taruhannya. Sebagai seorang politisi di tengah masyarakat majemuk Indonesia, dia menolak untuk menyembunyikan kesaksian imannya sebagai seorang kristiani. Namun pada saat yang sama dia juga menolak untuk membatasi karya perjuangan iman hanya lewat lembaga gerejani. Baginya, karya dan kehadiran iman Kristiani, terlalu luas, sehingga tak harus dibatasi oleh tembok-tembok gereja. Dia adalah seorang pelintas batas, yang mampu menembusi sekat-sekat perbedaan.

Ketika seorang pendeta mengeluh padanya tentang fenomena penutupan gereja, dengan tegas dia berkata, “Lho, ketika kasus Talangsari dan Tanjung Priok banyak umat muslim terbunuh, dimana kalian?”. Sekalipun dia berkata demikian, tetap saja keluhan pendeta itu ditindak-lanjutinya. Dia pun bersuara keras menentangi praktek Orba yang sempat mensensor kotbah-kotbah Jumat di masjid.

Sebagai pelintas batas, dia tidak hanya berjuang bagi tegaknya demokrasi dan kemanusiaan di Indonesia, tapi juga di mancanegara. Dia sangat kuat mendukung kemerdekaan negara Palestina, dan dengan kukuh menolak untuk berkunjung ke Israel. Dalam berbagai kesempatan, dia dengan lantang membela perjuangan rakyat Irak untuk menegakkan kedaulatan mereka, seraya mengecam keras serangan Amerika atas Irak.

Bang Sabam yang bisa garang menentangi berbagai kebijakan Presiden, tetapi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen, dia senantiasa sedia dan mampu menjelaskan sikap dan langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menangani berbagai tuduhan kasus pelanggaran HAM di beberapa forum internasional.

Tidak mudah menjadi politisi dewasa ini, terutama di tengah carut marut penyelenggaraan negara kita saat ini, dimana seolah seseorang hanya bisa bertahan kalau ikut melacurkan diri dalam praktek-praktek koruptif dan manipulatif, ketika kebanyakan birokrat dan politisi kita sekarang ini, ganti menjadi tuntunan tetapi telah menjadi tontonan. Tetapi justru di tengah kondisi seperti itu Bang Sabam mampu menampilkan kiprah politik yang elegan sehingga orang dapat mengaminkan ungkapannya “Politik itu Suci” di tengah skeptisisme masyarakat atas dunia perpolitikan kita.

“Kita harus mampu mengedepankan kehadiran kita sebagai “garam dan terang” dunia, perlu banyak berbuat tetapi tidak perlu pamer. Janganlah tangan kirimu tahu apa yang dilakukan oleh tangan kananmu.”, demikian beberapa kali dikatakannya.

Maka tak heran kalau pemerintah menganugerahinya Bintang Mahaputra Utama, meski saya tak yakin, bahwa Bang Sabam mengharapkan itu dari sepak terjang dan pengabdiannya. Anugerah itu, saya kira, hanya penegasan saja atas karya imani seorang Sabam Sirait. Saya tak percaya, kiprah beliau selama ini menuntut suatu pengakuan atau penghargaan dari negara; pastilah perjuangannya selama ini tidak dalam rangka menuntut balas. Semua dilakoninya sebagai bagian dari kesaksiannya dalam memberitakan Kasih Allah akan dunia.

Sekarang pelintas batas itu telah pergi. Tapi dia meninggalkan begitu banyak jejak dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dia pun meninggalkan jejak yang dalam di tubuh HKBP, yang dia sebut sebagai agamanya, dan tentu dalam diri GMKI dan PGI. Salemba Sepuluh telah menjadi rumah kedua baginya, dimana dia telah menjadi sumber inspirasi bagi kader-kader gereja.

Selamat jalan, Bang Sabam! Engkau akan tetap hidup dalam memori-memori kami.

 

Pdt Gomar Gultom, Ketua Umum PGI