Pelatihan Advokasi Tanah dan Lingkungan

PGI – Jakarta. Belum lama ini (9-13/10/2014) berlangsung Pelatihan Advokasi Lingkungan dan Tanah, di sebuah desa nun jauh diGPIBT Laulalang – Ambotuban, Kabupaten Toli-toli. Lokasi yang cukup jauh dari jakarta. Alam yang indah memikat. Daerah yang dihuni mayoritas warga suku Sangir. mereka bersekutu dalam gereja Protestan Indonesia Bual Toli-toli.

Tanah bukit ditepian laut  ditanami cengkih memberi kemakmuran yang cukup bagi warganya. Warga gereja ini menopang terlaksananya pelatihan. Pagi, siang sore, secara berkelompok, mereka bergantian  memasak nasi, ikan yang tangkap dengan cara menyelam dilaut serta sayuran dan buah-buahan untuk disajikan sebagai makanan enak dan lezat  bagi peserta.

Sangat mengagumkan, lima hari berturut-turut warga gereja ini, bersedia meninggalkan pekerjaan lain hanya untuk melayani kebutuhan makan peserta. Jadi sangat bisa difahami jika ada keluhan warga gereja sebagai berikut: sangat menyakitkan jika gereja-gereja anggota Sinode Am SULUTTENG tidak  mengirimkan utusannya. Kami siap melayani tetapi kurang mendapat tanggapan balik yang seimbang, kata seorang warga gereja. Yang menarik pelaksanaan  pelatihan ini selalu disemangati oleh Ketua Sinode GPIBT, yaitu pdt Cornelius Montong. Bahkan beliau ini aktif dalam membahas dan mengajukan pertanyaan terkait dengan kondisi jemaat GPIBT di pedesaan yang sedang menghadapi persoalan tanah.

Memang pelaksana pelatihan ini mengundang 45 dari  pengurus atau pelayan gereja di lingkungan Sinode Am Gereja Protestan Indonesia SULUTTENG untuk mengikutinya yang  sayangnya, tidak semua gereja mengirim utusannya karena berbagai alasan.

Pelatihan yang menghadirkan sejumlah narasumber dari jakarta antara lain : Pendeta Dr Phil Erari, Johny  Nelson Simanjuntak, berjalan dalam semangat ingin mendapatkan sebanyaknya informasi hukum, pengetahuan Biblika, pandangan tentang ketatanegaraan, pengetahuan Hak Azasi Manusia, penyelenggaraan negara,  metode  yang praktis dan bermanfaat untuk membela kepentingan warga manakala menghadapi masalah serta analisis terhadap persoalan tanah yang sedang terjadi diwilayah kerja masing-masing peserta.

Organizer dan sekaligus fasilitator pelatihan ini, Debby Suzana Momongan, mengatakan bahwa pelaksanaan pelatihan ini sudah lama dinantikan jemaat-jemaat yang didorong oleh persoalan tanah makin marak terjadi di wilayah pelayanan peserta, sebagai konsekuensi dari makin berkembangnya berbagai usaha perkebunan besar (sawit), pertambangan, hutan industri, pariwisata, pembangunan infrastruktur yang membutuhkan tanah.

Kata salah seorang peserta, “Ketika jemaat menghadapi masalah tanah, jemaat membutuhkan orang yang bisa memberi pencerahan wawasan, bersedia menjadi mitra bagi warga untuk mendiskusikan masalah tersebut,  mampu  membuka jaringan untuk memperjuangkan kepentingan warga dsb.” Peserta lain mengatakan bahwa pada umumnya, pengurus atau pelayan gereja, yakni Pendeta atau Majelis Gereja merupakan aktor yang sering diminta pendapat. Alasannya, praktis: pertama, pendeta umumnya berpendidikan. Jadi mampu mengolah informasi yang beredar. Kedua Pendeta memiliki jaringan setidaknya sampai tingkat sinode. Jadi  berpeluang untuk membawa masalah yang dihadapi jemaat ke aras yang lebih luas.Tiga,  Pendeta tinggal dan berada ditengah-tengah jemaat dan masyarakat.  Jadi  pendeta akan lebih cepat memahami keluhan warga.

Melalui proses belajar bersama tentang tanah, lingkungan, HAM dan Advokasi, Penelaahan  Alkitab dan ibadah, maka harapan bahwa peserta akan mendapat bekal untuk membantu warga gereja bukanlah harapan sia-sia. Hal ini dinyatakan oleh beberapa peserta: “Kalau saja pelatihan seperti ini bisa dilaksanakan berulang dengan menghadirkan jemaat yang lebih luas, maka  akan  makin berkurang, warga jemaat yang kehilangan hak atas tanah karena dipaksa atau diiming-imingi uang atau karena tergoda dengan barang yang ditawarkan orang tertentu.”

Dari penyelenggaraan pelatihan ini, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik, yaitu Pendeta dan pengurus gereja rupanya harus mendefenisikan ulang  tugas pelayannya, yaitu tidak lagi hanya sebagai pekabar injil teks tetapi juga penghadir injil dalam konteks.  Pelatihan yang sudah berlangsung merupakan kegiatan menggembirakan karena Injil bukan lagi sekadar kata-kata kabar kesukaan melainkan menjadi tindakan sejarah konkrit yang menebar kesukaan bagi  semua umat. (JNS)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*