PGI – Jakarta. Meninggalkan 2014 bukan dipenuhi oleh keindahan dan kebahagian, tetapi justru menyisakan kegetiran yang mendalam karena berbagai tindakan intoleransi di tahun tersebut justru begitu kuat, seperti dituturkan Pdt. Palti Panjatian. Menurutnya: “2014 adalah tahun intoleransi bagi Indonesia.”
Buktinya, tidak ada rumah ibadah baik Masjid, Gereja, Kuil, Pura, Sanggar yang telah ditutup dan dipersoalkan, mendapatkan penyelesaian.
Menurut pendeta jemaat HKBP Filadelfia, Bekasi ini, sedikitnya ada tujuh poin terkait dengan tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2014. Pertama, dia merasa miris dengan apa yang dilakukan oleh Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto yang tidak tunduk terhadap perintah pengadilan, namun mengambil keputusan menyegel permanen Gereja GKI Yasmin. Begitupun dengan kasus Gereja HKBP Filadelfia yang masih belum tuntas hingga saat ini.
Kedua, yang patut disorot adalah para pelaku intoleran dari unsur aparat negara atau non-negara yang seolah-olah kebal terhadap hukum, karena tidak pernah ditindak hingga saat ini.
Ketiga, terkait regulasi diskrimanatif yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak pernah dibatalkan dan cenderung bertambah banyak.
Keempat, terkait hak-hak sipil, politik dan ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) penganut agama “minoritas” tidak terpenuhi. Semua akibat atau dampak dari regulasi diskriminatif tersebut. Hal ini seperti menimpa kelompok Penghayat Kepercayaan, Syiah, dan Ahmadiyah.
Kelima, tentang pemulihan para korban, baik fisik, psikis, materi dan lain-lain tidak pernah ada. Sebagai contoh para pengungsi Muslim Syiah Sampang, Sidoarjo dan pengungsi Ahmadiyah di Transito NTB.
Keenam, soal pendirian rumah ibadah yang semakin sulit. Bahkan bisa dikatakan tidak ada, setelah terbitnya peraturan bersama dua menteri. Jika ada yang berdiri, rumah ibadah tersebut berdiri di lokasi pengguna mayoritas rumah ibadah tersebut.
Ketujuh, terkait nasib tragis para korban intoleransi yang cenderung juga dikorbankan kembali dengan cara dikriminalisasi dan tak jarang distigmatisasi negatif.
Permasalahan menahun dalam hal kebebasan beragama berkeyakinan pemerintahan lama yang tak kunjung terselesaikan, menurut Palti kini menjadi warisan pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla. (ms)
[related_post themes="flat"]