JAKARTA,PGI.OR.ID-Natal adalah sebuah peristiwa di mana Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung, mengosongkan diriNya, dan mengambil rupa seorang Anak Manusia, agar kita Manusia mampu menghampiriNya. Pengosongan diri sedemikian ini, dalam skala yang berbeda, sesungguhnya juga dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam merajut kehidupan bersama di tengah masyarakat majemuk.
Demikian pesan Natal yang disampaikan oleh Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom pada Perayaan Natal MPR, DPR, dan DPD RI, yang berlangsung di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (29/1).
“Kita tahu bersama, Indonesia terbangun atas kepelbagaian suku, agama dan ras. Namun di tengah kepelbagaian itu, toh masyarakat dan bangsa kita bisa hidup dengan rukun, dengan semangat toleransi. Tentu ini bisa terjadi adalah karena ada semacam semangat “pengosongan diri”, ada tepo seliro: ada kesediaan mendengar suara yang lain, ada kesediaan berbagi ruang publik untuk dihidupi bersama,” jelas Gomar.
Sayangnya, lanjut Ketua Umum PGI, beberapa belas tahun terakhir ini, semangat seperti ini makin tergerus oleh sebuah budaya baru yang dihasilkan oleh globalisasi sekarang ini, yakni kerakusan. Josepf Stiglitz, peraih Nobel di bidang ekonomi berkata, jaman kita sekarang ini adalah Dekade Kerakusan.
Akibat kerakusan ini, ganti berbagi ruang publik untuk dihidupi bersama, yang ada adalah kontestasi dan kompetisi yang tak ada ujungnya. Hal ini menghiasi keseharian ruang publik kita belakangan ini. Kerakusan itu juga telah memandulkan kemampuan kita untuk mengendalikan diri berhadapan dengan kenikmatan-kenikmatan dunia ini. Kini hampir tidak ada keseharian kita yang tanpa hura-hura. Semua seakan sudah menjadi tempat mengumbar nafsu dan amarah.
“Celakanya, budaya kerakusan sedemikian merangsek ke hampir semua sendi kehidupan kita. Bukan hanya di bidang ekonomi dan politik, tapi juga memasuki kehidupan agama, termasuk gereja. Perayaan Natal kita pun tak luput dari itu. Kekerasan dan penganiayaan atas nama agama juga terjadi di berbagai belahan dunia ini. Pastilah agama tidak ada mengajarkan hal-hal demikian itu. Ini hanya ekspresi dari rupa-rupa nafsu dan kepentingan yang menginstrumentalisasi agama demi pemenuhan kepentingan pribadi, kelompok, partai atau agama,” katanya.
Dia menambahkan, sementara itu, juga tak bisa dinafikan bahwa kerakusan ini juga berjumpa dengan dogmatisme agama, di mana klaim kebenaran satu-satunya hanya ada di kelompoknya. Ini terjadi internal maupun eksternal agama itu. Maka memarjinalkan atau bahkan menyingkirkan mereka yang berbeda menjadi tontonan kita sehari-hari. Budaya kerakusan dan dogmatisme agama ini menciptakan keseharian kita yang banal, di mana orang makin hanya mencintai diri, kelompok, partai dan agamanya. Inilah sumber kemelut kita sekarang ini, terlalu mencintai diri sendiri, dan hendak memusatkan segala sesuatu pada diri atau kelompok kita sendiri.
“Seluruh pencarian dan pencapaian dalam hidup ini pada akhirnya adalah dalam rangka memenuhi kedahagaan diri, kelompok, partai dan agama kita, dan sering, dengan menegasikan keberadaan yang lain. Kondisi sedemikian inilah yang membawa kita pada peradaban yang mengarus-utamakan mereka yang bersuara keras, peradaban yang mengedepankan mereka yang kuat; seraya meminggirkan mereka yang lemah, dan seolah sah mencabik-cabik hak-hak mereka. Ini adalah sebuah peradaban yang mendekatkan kita pada budaya kematian ketimbang budaya yang menghidupkan,” jelasnya.
dalam terang inilah, menurut Gomar, semangat Natal mengajak kita untuk membelokkan kecenderungan kita itu, yang tadinya cenderung hanya mengorientasikan seluruh pencarian dan pencapaian untuk diri sendiri atau untuk kelompok, partai atau agama, ke arah yang sebaliknya, yakni mengorientasikan diri, kelompok, partai dan agama sendiri ke sesama yang lain dan alam sekitar. Itulah semangat pengosongan diri itu, sebagaimana Allah yang mengosongkan diriNya, menghadirkan diri sebagai Anak Manusia pada peristiwa Natal, untuk semua orang, bahkan seluruh ciptaan.
“Narasi Natal mengisahkan bahwa perjalanan Allah adalah perjalanan dari atas ke bawah, merendahkan diri serendah-rendahnya. Sementara perjalanan kita manusia cenderung perjalanan dari bawah ke atas. Kita selalu ingin naik dan naik, go to the next level. Saya kuatir, dalam kondisi sedemikian tidak ada perjumpaan denganNya,” ujarnya.
Ditambahkan bahwa, hanya dengan pembelokan orientasi hidup, kita mampu membelokkan perjalanan kita, agar seiring dengan peristiwa Natal itu, menghamba. Hanya dengan demikian terjadi encounter, sebuah perjumpaan kita yang eksistensial dengan Sang Anak Manusia.
“Itu juga yang menjadi sorotan utama tema Natal kita tahun ini, sebagaimana dirumuskan PGI dan KWI: Hiduplah Sebagai Sahabat bagi Semua Orang. Menjadi sahabat bagi semua orang berarti hanya mungkin bila terjadi pembelokan kecenderungan hidup yang eksistensial, yang tadinya berorientasi pada diri, kelompok, partai dan agama sendiri, dibelokkan ke arah sesama yang lain dan sekitar, tanpa memandang suku, agama dan ras, sebagaimana Kristus, Sang Putra Natal itu, hadir untuk semua orang dan demi keselamatan seluruh ciptaan. Olehnya, hiduplah menjadi sesama bagi semua orang,” tegasnya.