PBB Melibatkan PGI untuk Strategic Learning Exchange

JAKARTA,PGI.OR.ID-Peran umat beragama dan nilai-nilai religiusitas dipandang penting oleh negara-negara di dunia dalam pembangunan dan hubungan diplomasi, termasuk oleh negara sekular sekalipun. Sekretaris Jenderal terpilih “Religion for Peace International,” Prof. Azza Karam, mengatakan bahwa dalam lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dahulunya isu agama dianggap tidak penting untuk dipercakapkan.

Dari 193 negara anggota PBB sebagiannya adalah negara sekular, sehingga isu ini seperti kurang relevan untuk diperdalam di PBB. Namun saat ini PBB telah melihat bukan lagi apakah religiusitas itu penting, melainkan bagaimana religiusitas itu berkontribusi terhadap pembangunan dan berbagai hal positif untuk bangsa-bangsa.

Salah satu diskusi dalam kegiatan United Nations Strategic Learning Exchange (SLE) on Religion-Development-Diplomacy

Pernyataan di atas disampaikan oleh Prof. Azza Karam dalam pembukaan kegiatan United Nations Strategic Learning Exchange (SLE) on Religion-Development-Diplomacy. Kegiatan ini berlangsung pada 27-29 November 2019, di gedung Erasmus Huis dan Hotel Puri Denpasar, Jakarta. PGI didaulat menjadi salah satu mitra penyelenggara perhelatan internasional yang dihadiri puluhan peserta dari dalam dan luar negeri.

Selain berbagi pengalaman dan pengetahuan oleh tokoh-tokoh agama dan perwakilan organisasi berbasis agama, pada forum PBB ini perwakilan unit-unit di PBB dan organisasi internasional non-pemerintah turut berbagi perspektifnya. Forum ini menjadi wadah bagi setiap peserta untuk saling berbagi dan belajar, serta membangun jejaring dan kerja sama.

Pada hari ketiga para peserta berdiskusi kelompok mengenai studi-studi kasus dari berbagai negara. Diskusi-diskusi kelompok ini dibagi atas beberapa tema terkait Sustainable Development Goals (SDGs), antara lain: 1.) Building Peaceful and Just Societies, 2.) Child Protection, 3.) Gender, 4.) Education, 5.) Health, 6.) Environment/Climate.

Dari seluruh diskusi tersebut ditemukan beberapa kesamaan tantangan. Pertama, bahasa atau narasi-narasi keagamaan yang cenderung dilihat secara tekstual dan dipakai untuk membangun budaya konservatif dan intoleran. Di sisi lain, bahasa keagamaan juga jarang menjadi perhatian lembaga-lembaga sekular. Kedua, penyalahgunaan media untuk agenda-agenda yang cenderung menguntungkan sekelompok orang dan tidak konstruktif. Ketiga, politik lingkungan yang terjadi di berbagai tempat, menyebabkan eksploitasi dan monopoli atas alam serta krisis ekologis. Keempat, dana dan lingkup waktu pelaksanaan kerja sama atau kolaborasi antarlembaga–yang sangat terbatas. Kelima, demografi religiusitas yang menyebabkan pengelompokan sosial dan diskriminasi terhadap minoritas. Keenam, kurangnya dokumen dan sosialisasi kesuksesan atas kerja sama antarlembaga untuk isu agama pembangunan dan diplomasi. Ketujuh, bagaimana membangun keberlanjutan sebuah transformasi dalam sebuah masyarakat, akibat meluasnya pragmatisme. Kedelapan, persoalan terkait legislasi dan penegakan hukum secara konsekuen. Kesembilan, budaya institusional atau organisasi, baik pemerintah maupun non-pemerintah, yang berbeda satu sama lainnya dan sebagiannya cenderung birokratis.

Kerja sama PGI dengan PBB dan lembaga-lembaga penyelenggara kegiatan ini diharapkan dapat berlangsung pada kegiatan-kegiatan lainnya ke depan. Termasuk pula semakin menguatnya kerja sama di antara lembaga-lembaga berbasis agama di Indonesia yang perwakilannya hadir dalam forum ini.

 

Pewarta: Pdt. Jimmy Sormin