Para Tokoh Agama Usulkan Evaluasi Batasan Usia Nikah Ditambah

Beberapa tokoh agama menyatakan batas usia nikah 16 tahun yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan zaman.

“Untuk perkawinan 16 tahun, saya kira belum cukup. Jadi, Pasal 7 UU Perkawinan yang dimohonkan pemohon harus ditinjau kembali,” kata Quraish Shihab saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa.

Quraish Shihab mengakui bahwa Kitab Suci Alquran memang tidak menetapkan usia tertentu untuk melakukan pernikahan.

“Ini sejalan dengan hikmah Illahi yang tidak mencantumkan perincian sesuatu yang mengalami perubahan,” katanya.

Yang diperinci (dalam kitab suci), kata dia, adalah hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar, seperti persoalan metafisika atau hal-hal yang tidak mengalami perubahan dari sisi kemanusian.

“(Yang tidak mengalami perubahan dari sisi kemanusian) seperti misalnya mengharamkan perkawinan ibu dan anak atau ayah dengan anak karena di situ selama manusia normal tidak mungkin ada birahi terhadap mereka,” katanya.

Dengan tidak adanya batasan ini, muncul berbagai perbedaan pendapat para ulama Islam. Namun, lanjutnya, dalam Alquran menganjurkan pernikahan itu dilakukan setelah memiliki kemampuan secara fisik maupun ekonomi.

“Tujuan perkawinan dalam kitab suci dan sunah nabi adalah lahirnya keluarga yang sakinah, yaitu wujud kerja sama suami istri, saling mendukung,” katanya.

Jadi, tegas Qurish Shihab, bahwa anak 16 tahun belum bisa bermusyarawarah dengan suaminya, juga tidak bisa tergambarkan seorang anak 16 tahun bisa menjalankan apa yang diharapkan oleh nabi untuk bertanggung jawab terhadap rumah tangga.

“Jadi, ini (batas usia nikah 16 tahun) harus ditinjau ulang,” katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh perwakilan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Purbo Tantomo.

Dia mengatakan bahwa batasan usia dalam UU Perkawinan hanya mempertimbangkan soal kematangan biologis, tetapi kurang mempertimbangkan unsur-unsur lain yang begitu penting untuk membangun cita-cita keluarga.

Menurut Romo Purbo, unsur-unsur lain yang begitu penting untuk membangun cita-cita keluarga salah satunya ialah kematangan pribadi dalam hal psikologis dalam mengemban tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga dan kesejahteraan dalam keluarga tersebut.

“Dari pengalaman, kami menjumpai bahwa usia 16 tahun untuk perempuan masih belum cukup untuk kesiapan tanggung jawab mengemban cita-cita hidup perkawinan,” katanya saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait.

Untuk itu, kata Romo Purbo, KWI mendukung kembali Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Perkawinan untuk mengarah pada batasan usia yang lebih memampukan calon mempelai dalam mengemban tanggung jawab dalam membangun rumah tangga.

Sementara itu, perwakilan dari Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia) Suhadi Sendjaja mengatakan bahwa hukum Buddha selaras dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan (sains).

“Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang menyatakan usia 18 tahun seorang wanita dianggap sudah siap secara fisik, psikologis, dan pengetahuan untuk berkeluarga dan menghasilkan keturunan,” kata Suhadi saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait.

Suhadi mengatakan bahwa hukum Buddha mendukung adanya UU yang mengatur batasan usia nikah di Indonesia yang didasarkan oleh berbagai aspek, seperti aspek psikologis, aspek kesehatan, dan aspek pendidikan.

Pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan ini diajukan oleh Indri Oktaviani, F.R. Yohana Tatntiana W., Dini Anitasari, Sa’baniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).

Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.”

Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.”

Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945.

Pemohon meminta MK menyatakan batas usia menikah untuk perempuan minimal 18 tahun. (Kompas.com)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*