Para Penyintas Komunitas Iman Menyuarakan Kebebasan Beragama

PGI – Jakarta. Konferensi Tahunan dan Musyawarah Besar ICRP menghadirkan para penyintas (survivor) memberikan testimoni tentang kekerasan dan perlakuan diskriminatif apa yang telah mereka alami dan apa harapan mereka kepada pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, serta sejauh mana ICRP berupaya mendukung mereka.

Penyintas dari jemaat GKI Yasmin yang diwakili Jaya Damanik mengatakan bahwa kasus penyegelan GKI Yasmin karena dianggap tidak sah memperoleh izin pembangunan gedung gereja (IMB) bukan lagi masalah perizinan IMB, tetapi perpaduan intoleransi kelompok masyarakat dan pemerintah (kala itu pemerintahan Presiden SBY), termasuk pemerintah kota (Pemkot) Bogor.

Sebagaimana keputusan Mahkamah Agung (MA) RI bahwa GKI Yasmin adalah sah mengantongi IMB dan rekomendasi Ombudsman RI memperkuat keputusan MA tersebut. Pemkot Bogor seharusnya melaksanakan keputusan MA dan rekomendasi Ombudsman tersebut dan pemerintah pusat memastikan dilaksanakannya hal tersebut. Ini adalah bentuk ketidakpatuhan pemerintah.

Damanik berharap agar pertama, pemerintahan baru saat ini dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang diderita jemaat GKI Yasmin ini dengan mendesak pemkot Bogor melaksanakan keputusan MA RI dan rekomendasi Ombudsman RI. Kedua, pemerintah harus menunjukkan komitmennya dengan menangkap dan memberantas kelompok intoleran yang merusak tatanan kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Kepada ICRP, Damanik menegaskan agar ICRP memfasilitasi pemerintah bukan mengambil alih fungsi pemerintah menegakkan hukum di Indonesia. ICRP dapat menumbuhkan angin segar kehidupan kebebasan beragama di Indonesia.

Penyintas dari HKBP Filadelfia manyampaikan pengabaian hak kebebasan beragama oleh pemerintah kabupaten (Pemkab) Bekasi. Meskipun pada sengketa IMB, HKBP Filadelfia telah memperoleh putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemkab Bekasi belum menunjukkan niat baik kepada HKBP Filadelfia dan pemerintahan masa lalu SBY pun terkesan membiarkan persoalan ini.

Harapan HKBP Filadelfia kepada pemerintahan baru Jokowi-JK agar merespons secara tegas kasus intoleransi dan pelanggaran HAM yang diterima jemaat HKBP Filadelfia. Pemimpin Jemaat HKBP Filadefia, Pdt. Edwin Lubis, menyatakan juga bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri maupun swasta harus mengutamakan konteks hubungan dan kerukunan agama (intra religiusitas), bukan menanamkan pola pikir kebencian terhadap agama lain.

Kepada ICRP, HKBP Filadelfia berharap ICRP mampu bergandeng tangan dengan berbagai komunitas iman mewujudkan “Indonesia adalah rumah bersama.”

Penyintas dari komunitas Baha’i menghadapi tantangan soal identitas yang dikeluarkan negara menimbulkan masalah bagi WNI beragama Baha’i. Pemerintah belum menyediakan kolom agama Baha’i pada KTP. Demikian pula halnya dalam pengurusan Akta Kelahiran dan Akta Pernikahan pada Catatan Sipil masih dirasakan diskriminatif.

Komunitas Baha’i mengharapkan agar pemerintah baru ini memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif lagi pada pemerintahan masa lalu, khususnya di bidang kependudukan, catatan sipil, pendidikan, dan hukum. Karena itu, pemerintah perlu melakukan dialog rutin secara berkelanjutan di mana ICRP dapat berperan, serta mendorong ICRP secara rutin menyelenggarakan Doa Bersama Lintas Iman untuk mewujudkan kebhinekaan.

Dari penyintas agama kepercayaan yang diwakili Warjo, warga Sapta Darma, menyampaikan pergumulannya bahwa ada kelompok intoleran melakukan pengrusakan properti milik warga Sapta Darma, bahkan lebih mengerikan, mereka memaksa agar makam Ibu Muniroh dibongkar paksa oleh keluarga. Sanggar Candi Busana Kalenpandan di desa Pamulihan, Kec. Larangan, Kab. Brebes, disegel paksa oleh massa intoleran.

Komunitas Sapta Darma yang secara notabene juga mewakili komunitas iman agama kepercayaan berharap agar pemerintahan baru ini mengakui keberadaan mereka sebagai WNI yang memiliki hak yang sama dengan penduduk Indonesia yang lain.

Bukan penyintas dari agama-agama yang jumlah pemeluknya sedikit saja mengalami perlakuan diskriminatif, tetapi juga dari pemeluk Muslim di NTT mengalami hal yang sama.

Ini dirasakan Abdul Gaos , Imam Masjid Nur Musafir Batuplat, NTT. Pembangunan Masjid tersebut memperoleh hambatan Pemkot setempat setelah pergantian walikota yang baru. Pasca PILKADA, walikota yang baru menerbitkan Surat Pemberhentian Sementara Pembangunan Masjid Nur Musafir Batuplat demi menjaga keamanan dan ketertiban serta kerukunan umat beragama.

Saat ini surat pemberhentian tersebut belum dicabut, sehingga aktivitas pembangunan masjid belum dapat dilanjutkan.

Selain itu, kami juga memperoleh gangguan dari aktor yang menghambat kami. Tidak ada ketegasan dari pihak keamanan dan tidak ada kebijakan lokal dari pemerintah daerah terkait pembangunan rumah ibadat.

Dua kelompok penyintas lainnya, yaitu: komunitas Ahmadiyah dan Shiah mengharapkan hal yang sama agar pemerintah baru Jokowi-JK memperhatikan nasib mereka di tempat-tempat penampungan. Mereka juga berharap ada pengakuan dari pemerintah bahwa komunitas mereka adalah komunitas agama yang sah, tidak sesat. Segala bentuk teror dan ceramah-ceramah kebencian terhadap mereka diharapkan pemerintah memberi sanksi hukum atau tindakan yang tegas kepada mereka.

Inti dari seluruh testimoni yang disampaikan para penyintas tersebut sebenarnya hanya satu: ADANYA JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN. Mampukah pemerintahan yang baru terpilih pada Pilpres 2014 memberikan solusi terbaik baik warga masyarakat Indonesia tersebut? Kita berharap ICRP dapat menjadi ‘kuda’ dalam percaturan kehidupan kebebasan beragama di Indonesia.

Semoga Konferensi Tahun dan Musyawarah Besar ICRP yang dilaksanakan di Grha Oikoumene PGI pada Jumat (23/1/2015) ini dapat ditindaklanjuti sesegera mungkin mengingat begitu mendesaknya masalah pelanggaran HAM ini untuk diselesaikan satu per satu. (Boy Tonggor Siahaan)