PANCASILA: Berbeda Tapi Tetap Bahagia

Oleh: Al-Zastrouw

Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) pernah bercerita, suatu saat abah beliau (KH. Bisri Musthofa) didatangi oleh seorang Cina non Muslim yang sedang berduka karena ayahnya meninggal. Cina tersebut minta Kyai Bisri mensholati jenazah Cina non Muslim tersebut. Demi menghormati ketulusan dari tetangga Cina yang sedang berduka, kyai Bisri memenuhi permohanan tersebut.

Beliau mengajak beberapa santri untuk melakukan shalat Ashar di rumah Cina tersebut dengan meletakkan jenazah di belakang shof para santri. Meski agak heran melihat cara shalat jenazah yg dilakukan oleh mbah Bisri, namun keluarga jenazah merasa puas dan bahagia atas apa yang dilakukan mbah Bisri. Mereka merasa tentram karena orang tuanya telah didoakan oleh ulama yang menjadi panutan masyarakat sekitar.

Kisah lain menyebutkan, sebelum wafat Romo Yatno, seorang pastur dari Yogya yang meninggal beberapa hari lalu, berpesan agar mewujudkan pembangunan masjid di daerah Kedungombo. Pesan ini disampaikan kerabat Romo Yatno umat Muslim di daerah tersebut. Apa yang dilakukan oleh mbah Bisri dan Romo Yatno bukanlah upaya untuk mencampur adukkan syariat agama atau melebur ajaran agama yang berbeda. Sebaliknya keduanya justru menjaga syariat, ritual dan ajaran masing-masing agama tanpa mengorbankan rasa kemanusiaan dan kedamaian.

Apa yang dilakukan mbah Bisri adalah bentuk penghormatan balik tetangga yang telah mengundangnya. Permohonan keluarga untuk mensholati jenazah yang jelas-jelas non Muslim dipahami Kyai Bisri sebagai bentuk etika sosial bertetangga bukan semata persoalan syariah formal. Kerena tetangga tersebut jelas tidak mengerti syariat. Sebagai balasan atas etika sosial, mbah Bisri memenuhi permohonan tersebut dengan melakukan shalat Ashar di rumah tetangga yang berduka dengan cara membelakangi jenazah. Dengan cara ini tak ada syariat formal yang dilanggar dalam menghormati dan membahagiakan tetangga yang non Muslim.

Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Romo Yatno. Upaya membangun masjid untuk ummat muslim lebih merupakan ekspresi dari spirit menebar kebahagiaan pada sesama. Saya yakin tak ada syariat Katolik yang dilanggar oleh Romo Yatno melalui tindakan tersebut. Sebaliknya justru ingin menunjukkan ketegasan imannya sebagai seorang Nasrani yang penuh dengan ajaran cinta kasih. Sebagimana mbah Bisri yang menunjukkan ajaran Islam sebagai rahmatan lil’alamin tanpa harus melanggar syariat.

Sikap seperti ini hanya bisa muncul di kalangan orang-orang yang memiliki kearifan (wisdom) tinggi. Orang-orang seperti ini biasanya akan lebih mengedepankan ahlak daripada simbol-simbol dan prosedur syariah formal. Ini bukan berarti mereka anti atau mengabaikan syariah dan simbol ritual. Mereka justru sangat menjaga syariat dan berupaya agar syariat bisa membawa kemaslahatan nyata bagi kehidupan manusia. Bukan malah sebaliknya, menjadikan syariat agama sebagai sekat dan beban yang membuat manusia menjadi semkin terpenjara hingga rentan menimbulkan konflik pada sesama.

Sikap seperti ini juga mencerminkan derajat kepasrahan dan keikhlasan sebagai wujud ketinggian iman seseorang. Mereka tidak khawatir imannya akan tertukar hanya dengan memikirkan kebahagiaan orang lain yang berbeda. Mereka tidak akan takut syariat agama akan rusak hanya karena memperjuangkan kebutuhan umat lain. Dengan kepasrahan dan keikhlasan mereka memiliki ketajaman batin untuk memilah mana syariah dan mana etika sosial.

Hal ini pulalah yang membuat mereka mampu menerapkan syariah agama secara proporsional sehingga syariat bisa berfungsi secara tepat dan akurat. Tidak sekadar menjadi alat legitimasi politik.

Mbah Bisri dan Romo Yatno telah memberikan contoh nyata pengalaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Laku hidup mereka merupakan cerminan dari sikap berKetuhanan yang tidak menduakan Tuhan dengan ego pribadi, kelompok bahkan dengan simbol dan ritual agama sekalipun. Ke-Esaan Tuhan telah mampu memperkuat hati dan agama yang berbeda tanpa meleburnya.

Keteladanan seperti ini banyak terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Orang-orang seperti Mbah Bisri dan Romo Yatno bertebaran dalam belantara kehidupan. Sayangnya orang-orang seperti ini sering tersingkir kemudian terdampar dalam lipatan sejarah. Hanyut oleh hiruk pikuk teriakan amarah.

Saatnya melacak jejak laku hidup mereka. Kemudian meangkat kepermukaan dan menjadikannya sebagai teladan hidup. Dengan kearifan pelaksanaan syariah tiap-tiap agama akan bisa membawa kemaslahatan bagi semua manusia. Dengan akhlak mulia syariat agama yang berbeda bisa membawa bahagia. Dan hanya dengan kearifan dan akhlak mulia kita bisa mewujudkan kehidupan yang berbeda-beda tapi tetap bahagia.