JAKARTA, PGI.OR.ID – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah memanggil Wali Kota Bogor selaku terlapor dan GKI Yasmin sebagai pelapor dalam kasus penutupan gereja GKI Yasmin di Jl. Abdullah Bin Nuh Kav. 31 Bogor, di Kantor ORI, Selasa (11/8). ORI dalam kesempatan ini meminta laporan perkembangan pelaksanaan rekomendasi wajib Ombudsman yang tidak dipatuhi Pemkot Bogor sejak 2011, namun setelah menunggu hampir 2 jam, Walikota Bogor, Bima Arya tidak hadir dan mengutus Asisten Pemerintahan dan Biro Hukum Pemerintah Kota Bogor.
Dalam pertemuan di Ombudsman, GKI Yasmin didampingi oleh Pendeta GKI, Stephen Suleeman, serta didampingi pula oleh Pendeta Henry Lokra, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Pendeta Penrad Siagian, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI.
“PGI tetap pada posisi meminta pemerintah pusat dan daerah menjalankan putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman RI terkait GKI Yasmin. Tegakkanlah hukum dan Konstitusi. Jangan sampai setiap ada proses pembangunan gereja baru di Indonesia, di daerah-daerah tertentu, selalu dicarikan alasan untuk menyudutkan gereja dan menghentikan proses pembangunan gereja. GKI Yasmin mengalami itu di Kodya Bogor. HKBP Filadelfia mengalami di Kabupaten Bekasi dan baru-baru ini Gereja Katolik Santa Clara di Kodya Bekasi yang juga berizin lengkap, dihentikan pembangunannya”, kata Henry Lokra.
Dalam pertemuan pemanggilan tersebut, utusan Bima Arya justru menyampaikan bahwa sesuai arahan Walikota Bima Arya, Pemkot Bogor menolak bicara dengan perwakilan GKI Yasmin dan hanya bersedia bicara dengan GKI Pengadilan yang juga berlokasi di Bogor. “Sesuai arahan Wali Kota Bima Arya, Pemkot Bogor hanya bersedia bicara dengan GKI Pengadilan yang juga berlokasi di Bogor juga. GKI Pengadilan adalah mitra Pemkot Bogor, bukan GKI Yasmin dan GKI Pengadilan setuju untuk relokasi,” kata Agung Prianto, Asisten Pemerintahan Pemkot Bogor.
Atas pernyataan Agung Prianto, Budi Santoso, Anggota Ombudsman RI mempertanyakan sikap Bima Arya yang menurutnya, adalah langkah mundur dalam kasus pelarangan ibadah di Bogor.
“Sejak perdana di Ombudsman pada 22 Januari 2015 lalu, Wali Kota Bima Arya sudah mengetahui siapa yang harus diajak bicara secara hukum, terkait kasus GKI Yasmin ini. Bagaimana mungkin korban yaitu GKI Yasmin sebagai pelapor malah dipinggirkan? Kasus GKI Yasmin di tangan Bima Arya jadi seakan seperti pemerintah mau menggusur warga untuk pembangunan apartemen, warga menolak tapi pemerintah memaksa pengusiran dengan cara mencari-cari siapa yang setuju pindah, lalu kongkalingkong, dengan pecah belah masyarakat,” kata Budi Santoso di kantor Ombudsman RI.
Dalam rapat hari ini Budi Santoso juga membacakan surat resmi Komnas HAM tertanggal 7 Agustus 2015 yang ditandatangani Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat, yang mendorong penyelesaian kasus GKI Yasmin dengan cara mendirikan gedung bertingkat di tanah milik Badan Pekerja Majelis Sinode GKI Wilayah Jawa Barat, dimana salah satu lantainya dipakai untuk tempat peribadatan GKI Yasmin dan lantai lainnya dipakai untuk aktifitas dan simbol serta pengembangan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. “Saya kira akan lebih produktif, dengan background yang dimiliki Bima Arya, untuk memulai upaya konkret menyikapi surat Komnas HAM, bukan malah membawa kasus ini ke titik nol dengan relokasi dan pengabaian pelapor dalam hal ini GKI Yasmin”, kata Budi lagi.
“Kami tetap meminta ketegasan presiden Joko Widodo untuk memastikan konstitusi dan hukum ditegakkan untuk semua WNI dalam soal kebebasan beragama dan beribadah. Bukalah gereja kami yang sah, jangan malah mencari-cari masalah baru,” kata Bona Sigalingging, Juru Bicara GKI Yasmin.