JAKARTA,PGI.OR.ID-Stien Djalil, satu dari perempuan tangguh yang saya kenal, menghembuskan nafas terakhir pada Selasa (22/1) pagi, di RS Budi Asih, Jakarta, dan akan dikebumikan hari ini. Sayang sekali, karena tugas ke Sulawesi, saya tak memiliki kesempatan menberikan penghormatan terakhir baginya.
Beliau meninggalkan begitu banyak jejak bagi gerakan oikoumene melalui pelayanannya di PGI. Hampir semua Sidang MPL dan SR tidak pernah lepas dari sentuhannya, terutama persidangan oikoumenis yang bersifat internasional. Sejauh saya pelajari dokumen-dokumen PGI, nama beliau sering muncul dalam mengorganisir pertemuan-pertemuan “round table” Parpem, memfasilitasi perkunjungan dan dialog bilateral.
Saya mengenal beliau ketika saya masih mahasiswa, dan banyak terlibat sebagai volunteer di PGI. Beliau banyak membantu dan membimbing kami anak-anak muda di Biro Pemuda ketika itu. Masa-masa awal kependetaan saya, beberapa kali kontak dengan beliau karena urusan-urusan HKBP dengan mitra luar negeri.
Sayangnya, sejak saya menjadi Sekum PGI pada 2009, saya malah tidak pernah jumpa beliau lagi. Perjumpaan terakhir saya dengan beliau adalah ketika saya masih menjadi Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia, 2005-2008. Ketika itu beliau sudah pensiun dari PGI, dan kemudian bekerja di Church World Service (CWS). Kami ada beberapa kerjasama dalam kebencanaan ketika itu, antara CWS dan Bidang Diakonia PGI. Kami berdua, oleh tuntutan tugas, banyak terlibat melalui beberapa program tsunami respons di Aceh dan Nias.
Kiprahnya yang paling monumental adalah membantu mengatasi dampak kerusuhan Timor Timur dan proses-proses pembentukan negara Timor Leste. Ketika itu saya bekerja sebagai Direktur Program JKLPK dan beliau menjadi penghubung dari PGI untuk urusan-urusan Timor Timur. Saya dengar kemudian, beliau menerjunkan diri terlibat langsung dalam penanganan kemanusiaan dalam konflik Timor Timur (Timor Leste) yang dahsyat itu. Tak heran kalau Xanana Gusmau, Presiden Timor Leste, sangat menghormati beliau.
Hal lain yang juga banyak menyita waktunya adalah keterlibatannya membantu penanganan eks tahanan politik. Bersama Ibu Ade Rostina, Yoppie Lasut dan Asmara Nababan (ketiganya almarhum) dan Aldentua Siringoringo, kami pernah membentuk Lembaga Pelayanan Hak-hak Warga Negara di sekitar akhir 1990-an. Melalui lembaga ini, kami banyak mengadvokasi hak-hak tahanan politik, khususnya eks 65, termasuk Kolonel Latief. Melalui pelayanan ini saya makin intens berkomunikasi dan kerjasama dengan Ibu Stien. Beliau memang memberi perhatian khusus pada korban-korban Orde Baru, yang dicap PKI oleh penguasa.
Beliau pensiun pada 1998 dari PGI setelah melalui pelayanan panjang melalui Departemen Parpem, Biro Perempuan, dan terakhir sebagai Asisten Sekretaris untuk Sekum PGI. Beliau tidak pernah menjadi Kepala Biro atau Sekretaris Eksekutif Departemen. Namun kehadirannya sebagai supporting staf, melebihi kapasitas seorang Kepala Biro maupun Sekretaris Eksekutif. Semuanya, saya kira, berangkat dari hatinya yang tergerak oleh belas kasihan, yang melahirkan komitmen kemanusiaan dalam dirinya.
Sekarang beliau sudah mengakhiri perjuangannya, tinggallah kita meneruskan begitu banyaknya masalah sosio-politik yang mengelilingi kita. Beliau akan tetap hidup dalam memori-memori kita ketika mengayuh biduk oikoumene ini. (Pdt. Gomar Gultom, M.Th)
Be the first to comment