Negara Indonesia Sudah Sesuai dengan Ajaran Islam

Diskusi peluncuran buku "Ideologi Kaum Fundamentalis" di Gedung PBNU, Jakarta Pusat

JAKARTA,PGI.OR.ID-Posisi Indonesia sebagai negara yang sudah final dan sejalan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam ajaran Islam mengemuka saat peluncuran buku Ideologi Kaum Fundamentalis karya A. Dwi Hendro Sunarko dan Abdul Ghopur di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3). Acara ini didukung juga oleh ikatan Dokter Bhinneka Tunggal Ika (DBTI), sebuah wadah yang dideklarasikan pada 2017 sebagai respons terhadap masuknya paham radikal di kalangan dokter Indonesia.

Kesesuaian Indonesia dengan prinsip-prinsip Islam mendapat penekanan mengingat relasi negara dan agama masih saja menjadi persoalan bagi kelompok-kelompok tertentu di dalam Islam. Kegelisahan untuk menegakkan Islam yang menyeluruh (khaffah) dalam bingkai negara Islam membuat Jihad fisabililah dimonopoli dan diterjemahkan dalam semangat berperang untuk agama. Dalam bahasa Abdul Ghopur, aksi teror bom merupakan faktualisasi dari semangat berperang tersebut.

Gus Hery Heryanto Azumi, Wasekjen PBNU yang menjadi keynote speaker dalam acara ini, mengingatkan pentingnya tokoh agama meluruskan pandangan mengenai Islam yang benar dan relevan. Bagi Gus Hery, memang ada banyak faktor yang bersinggungan dengan radikalisme di dalam Islam, seperti persoalan geopolitik dan ekonomi. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi beliau, mengapa hal tersebut masih saja mempengaruhi Islam sampai detik ini.

Di sini Gus Hery menyinggung persoalan internal Islam yang perlu mendapat perhatian dari para pemuka agama. Persoalan tersebut adalah belum tuntasnya pergulatan mengenai bentuk negara di kalangan umat Islam, khususnya pada kelompok-kelompok yang menekankan Islam yang kaffah. Bagi Gus Hery, prinsip negara Madinah, yakni konsensus dan perdamaian, sesungguhnya menjadi

semangat yang mempengaruhi para pendiri bangsa (the founding fathers) saat menggumuli bentuk negara. Karena itu, bedirilah Indonesia sebagai negara berdasarkan perjanjian (konsensus) dan perdamaian (darussalam).

Posisi ini diamini oleh KH. Ali Mahfud, yang hadir dalam acara ini, dengan menegaskan bahwa: “Sistem pemerintahan di Indonesia sudah sesuai dengan sistem kekhalifahan mulai Abu bakar, Umar, Usman dan Sayyidina”.

Indonesia sebagai sebuah perjanjian, menurut Gus Hery, harus dipegang oleh semua pihak; tidak boleh dilanggar. Ini sejalan dengan teladan Muhammad di Medinah di mana beliau mengingatkan bahwa siapa pun yang memusuhi minoritas pada dasarnya memusuhi dirinya. Hal ini mengingat setiap orang, termasuk Muhammad, terikat dengan perjanjian tersebut.

Dalam konteks perjanjian dan perdamaian, Gus Hery mengingatkan bahwa, pertama, dakwah perlu mendapat pemaknaan dalam bentuk keteladanan. Apalagi, saat ini kita berhadapan dengan dunia Medsos yang menjadi tempat penyebaran berita bohong dan fitnah. Selain itu, sebagaimana disinggung oleh Ulung Rusman, salah satu pembicara dari Perhimpunan Tionghoa, kita juga berhadapan dengan berkembangnya radikalisasi di kalangan generasi muda. Apabila hal ini dibiarkan, jabatan-jabatan publik dengan sendirinya akan diisi oleh generasi yang sudah terpapar radikalisme tersebut.  Kedua, pandangan cinta tanah air harus disosialisasikan dari generasi ke generasi.

“ke depan, langkah yang harus dilakukan adalah menanamkan pandangan cinta tanah air di kalangan anak muda karena merekalah pewaris negara ini” menurut Gus Hery.

Dalam bahasa Abdul Ghopur, keberpihakan pada Indonesia menjadi penting karena hal tersebut sesungguhnya sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Buku Ideologi Kaum Fundamentalis memuat sejumlah catatan mengenai jejak-jejak ideologi para pelaku bom, proses internalisasi ideologi garis keras melalui kegiatan agama dan pendidikan pra-jihad di medan peran, serta persoalan fundamental mengenai relasi agama dan negara yang menjadi pergumulan panjang di dalam Islam. (Beril Huliselan)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*