SOLO,PGI.OR.ID-Training Penggerak Perdamaian dan Keragaman Berbasis Komunitas yang dilaksanakan oleh PGI dan GKI Klasis Solo, berlangsung sejak 21-24 Agustus 2017 di Solo. Dalam training modul Agama-agama melawan Intoleransi dan Radikalisme berbasis komunitas ini, sebagaimana training-training yang sudah dilakukan di tempat-tempat lain, refleksi menjadi penting. Pengalaman akan keberagaman berbasis komunitas ini akan menjadi narasi yang dapat menginspirasi lebih banyak orang, maka media menulis menjadi pilihan dalam training ini.
Cerita yang membuat kita harus terus bergerak, mengabarkan refleksi dan narasi-narasi baik atas keberagaman, sehingga Indonesia menjadi sebuah narasi damai bagi semua. Berikut adalah dua tulisan refleksi yang terpilih dalam training ini.
Ehipasiko: Mari datang, lihat dan buktikan!
Saya Fipit Nurika Sari, mahasiswa di STABN Raden Wijaya-Wonogiri. Saat ini saya sedang mengikuti Training Penggerak Perdamaian dan Camp Lintas Iman yang diselenggarakan oleh PGI, 21-24 Agustus 2017, dengan host GKI Klasis Solo. Sebagai bagian dari pelatihan ini saya tergabung dalam kelompok Dua dan kami berkunjung ke GKJ Manahan, Solo. Ini merupakan pengalaman pertama saya berkunjung ke gereja. Sungguh, ini menjadi pengalaman baik dalam diri saya, karena sebelum ini saya memiliki anggapan yang kurang baik terhadap umat Kristen. Selama ini.
Saya beranggapan bahwa orang-orang Kristen itu angkuh dan jauh dari sikap ramah. Anggapan sedemikian terbentuk dari pengalaman saya hidup bertetangga dengan beberapa orang yang beragama Kristen. Mereka jarang berbaur dengan masyarakat.
Ternyata, anggapan tersebut tidak benar. Saat saya memasuki gereja dan mengalami perjumpaan di dalamnya, apa yang saya lihat dan alami justru berkebalikan dengan apa yang saya anggap selama ini. Saya bertemu dengan umat yang ramah, baik dan sangat antusias menyambut teman-teman yang berbeda iman dari peserta Training Penggerak Perdamaian dan Camp Lintas Iman.
Selain itu, sebelum saya ke gereja ini, saya sering membayangkan bahwa gereja ini menyeramkan, bangunan tinggi, besar angker. Ternyata, tidak. Malah, ada keteduhan di dalamnya.
Awalnya saya sering beranggapan bahwa orang Kristen itu suka menarik umat agama lain untuk berpindah agama ke Kristen dengan berbagai cara, misalnya memberi modal usaha kepada orang tesebut dan lain sebagainya. Dan masih banyak lagi anggapan-anggapan buruk lainnya terhadap agama Kristen.
Ternyata setelah saya berkunjung ke gereja, semua anggapan itu berbalik 180 derajat. Dari kunjungan tersebut, serta pengalaman selama pelatihan ini, saya menangkap kesan bahwa umat Kristen juga memberi, mengasihi dan peduli terhadap umat beragama lain tanpa pilih kasih. Misalnya, saya memperoleh informasi dari perkunjungan tadi bahwa saat menjelang ramadhan ada kegiatan nasi murah yang dilayani gereja ini. Hal itu tentu sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar, yang bukan warga gereja.
Sungguh anugrah yang luar biasa saya diberi kesempatan mengenal dan berkunjung ke GKJ Manahan, Solo. Terimakasih untuk Pelatihan yang digagas oleh PGI, yang telah membuka mata hati saya tentang semua ini.
Saya berfikir betapa berdosanya saya selama ini memiliki anggapan-anggapan keliru seperti itu terhadap umat Kristen. Betapa berdosanya lagi apabila saya terus mempertahankan anggapan seperti itu. Syukurlah, melalui pelatihan ini, kami bisa saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Dan lewat itu kami bisa meruntuhkan tembok-tembok berupa anggapan-anggapan keliru, yang bisa memisahkan satu sama lain.
Saya terharu dengan kegiatan yang telah diadakan umat Kristen, ternyata begitu peduli terhadap sesama, ada rasa kagum disitu. Sekarang saya sadar bahwa kita harus saling berkunjung: datang, lihat, dan buktikan (EHIPASIKO di dalam agama Budha) mengenai segala sesuatu, apapun itu. #Salam Satu Jiwa# Indonesia Jaya#
Jangan Ajak Anak Saya Bermain
Saya Juliani Adityas, dari GKJ Makamhaji. Senang sekali bisa ikut dalam Camp Lintas Iman dalam rangka Training Penggerak Perdamaian yang diadakan oleh PGI, 21-24 Agustus 2017, di Hotel Sarila, Solo, dengan host GKI Klasis Solo. Melalui kegiatan yang bertema “Agama-agama Melawan Intoleransi dan Radikalisme” ini, saya bergabung dengan anak-anak muda dari beragam agama.
Saya banyak belajar mengenai keberagaman yang ada di Indonesia lewat perjumpaan dengan teman-teman dan para fasilitator. Hari pertama kami memulai proses belajar dengan definisi dan batasan radikalisme, kemudian identitas diri dan, selanjutnya, bagaimana agama berperan dalam membentuk identitas diri seseorang.
Berbicara mengenai agama selalu menarik bagi saya. Apalagi belakangan ini makin banyak saja konflik dengan membawa-bawa agama. Kebanyakan konflik agama bersumber dari klaim-klaim kebenaran yang hendak dipaksakan di ruang publik: agamakulah yang paling benar dan agamamu pasti salah. Klaim-klaim seperti ini akan mudah memicu konflik antar agama, dan perdebatan seperti ini tak akan ada habisnya. Banyak hal terbuang sia-sia hanya karena konflik antar agama yang sebenarnya tak jelas asal muasalnya. Akibatnya, agama terlihat berwajah kejam saat ini. Padahal semua agama sejatinya mengajarkan kedamaian dan cinta kasih, dan bukan kekerasan.
Melalui Training ini kami juga belajar bagaimana agama membentuk cara pandang kita terhadap sesuatu, karena agama itu ikut membentuk identitas diri kita. Ini nyata benar dari perjalanan hidup saya.
Saya lahir dalam tradisi kekristenan. Ayah saya seorang pendeta di salah satu GKJ Klasis Kartasura. Sejak kecil saya tinggal di pastori, yaitu rumah tinggal seorang pendeta. Pastori yang kami tinggali terletak di kompleks gereja. Tetangga-tetangga kami umumnya beragama Islam. Sebagai anak kecil, saya ingin sekali mempunyai teman yang banyak.
Suatu kali, waktu saya masih SD, kalau tak salah sekitar kelas 3 atau kelas 4, saya bermain dengan teman saya, anak tetangga sebelah. Waktu itu, saya masih belum tahu apa-apa tentang perbedaan agama. Dengan polosnya saya mengajak teman saya itu masuk ke gereja, karena di dalamnya ada alat musik yang bisa kami mainkan. Saking asyiknya bermain, tanpa kami sadari ternyata kami sudah menghabiskan waktu berjam-jam.
Ibunya datang mencarinya karena sudah magrib. Begitu tahu anaknya bermain di gereja, ibunya marah-marah dan berkata kepada saya, “Jangan lagi main sama anak saya apalagi main di dalam gereja”. Waktu itu, saya tak paham maksudnya. Namun, lambat laun saya mengerti juga, bahwa anaknya tidak boleh lagi bermain dengan saya. Dan sejak itu memang kami tak pernah bermain bersama lagi.
Sejak itu saya jadi malas keluar rumah dan bersinggungan dengan orang-orang yang tak memiliki kepercayaan yang sama dengan saya. Ya, saya takut dimarahi lagi dan takut bila kelak akan kehilangan teman. Benar saja, saya akhirnya menghabiskan masa SD saya hanya di sekitar rumah dan hanya ikut kegiatan gereja saja.
Mungkin karena itulah saya mempunyai pola pikir bahwa orang Islam tidak mau berteman dengan saya yang Kristen, apalagi sebagai seorang anak Pendeta. Sedih rasanya, karena tidak bisa mempunyai banyak teman yang beda agama. Dan trauma masa kecil ini membuat saya menutup diri dengan dunia luar.
Barulah ketika saya duduk di bangku SMA, saya menyadari, ternyata tidak semua orang Muslim seperti itu. Saya malah saya mendapatkan seorang sahabat yang beragama muslim dan berjilbab pula. Dan nyatanya dia baik-baik saja berteman dengan saya. Seiring perjalanan waktu, saya semakin banyak mengenal dan belajar tentang umat beragama lain yang ada di sekitar saya.
Saya berfikir, kita tidak bisa hidup di dunia ini tanpa berdampingan dengan orang yang berbeda dengan kita. Kita harus belajar dan saling memperkaya dari perbedaan itu. Dan mencoba untuk memahami dan menghargai apa yang menjadi kepercayaan dari teman-teman saya yang beda agama.
Konflik agama atau persoalan yang mengatasnamakan agama pasti akan bisa terselesaikan bila pikiran kita terbuka dalam melihat suatu masalah. Training ini memotivasi dan mendorong saya untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka dan toleran terhadap sesama.