SATUHARAPAN.COM – Papua seringkali disebut dengan sungutan distorsi: gambaran palsu berdasarkan sinisme opini yang dilebih-lebihkan. Papua kerap dilabeli predikat tidak bijak terkait identitas politik dan kultural mereka. Saya melihat pengalaman berbeda, ketika berada di tanah Papua (tepatnya di Sentani, Jayapura) saat menghadiri Konferensi Nasional Jaringan Antariman VI 19-23 Mei lalu.
Orang kerap melihat Papua sebagai “tanah Kristiani”, dengan sejarah penginjilan yang masuk melalui Pulau Mansinam, Manokwari, 5 Februari 1855. Sejak 2005 setiap tanggal itu kini hari Papua Tanah Damai oleh seluruh kelompok umat beragama melalui even kesenian dan keagamaan.
Namun orang lupa, sejarah Islamisasi bumi Papua sudah berumur jauh lebih tua dibandingkan Kristen. Islam telah masuk ke Papua sejak abad ke-15 yang merupakan bagian dari ekspansi kesultanan Tidore di daerah Fakfak, Sorong, dan Kaimana. Saat ini Fakfak, Kaimana, dan Kepulauan Raja Ampat (yang secara adminsitratif masuk ke dalam Provinsi Papua Barat) menjadi basis Islam terbesar di daratan Melanesia.
Statistik Religiusitas
Secara statitistik, Papua memberikan contoh tanpa kecanggihan kata-kata dan retorika sebagai “tanah damai” bagi agama-agama. Papua telah mempraktikkan bagaimana menjadi dar el Salam, daerah penuh damai dan toleran sebagai wujud kerahiman Tuhan.
Menurut data statistik 2013, Penduduk Papua dan Papua Barat saat ini berjumlah lebih kurang 4 juta jiwa (Papua : 3.144.581 dan Papua Barat 800-an ribu). Komposisi umatnya adalah a) Protestan beserta 40-an denominasinya adalah 63,88% (Papua) dan 51,72% (Papua Barat) b) Katolik dengan lima keuskupan adalah 23,29% dan 12,75% c) Islam dengan ormas NU dan Muhammadiyah berjumlah 12,56% dan 34,62%, dan Hindu dan Budha kurang satu persen di masing-masing provinsi (data Leo Laba Ladjar, Uskup Jayapura).
Belum lagi dengan keberadaan agama-agama lokal di negeri yang memiliki 248 suku dan 307 bahasa yang masih hidup. Agama-agama Ibrahimik di Papua telah memiliki kesadaran lebih empatik, tidak memaksakan komunitas asli yang (dulunya) dianggap “kafir” untuk pindah ke agama formal. Di kalangan Kristiani telah muncul anggapan bahwa kabar gembira tetap bisa dirasakan tanpa harus menjadi Kristen.
Kalangan Islam, yang menjadi agama kedua terbesar di Papua malah mendapatkan pengalaman beribadah yang cukup baik. Di Kota Jayapura saat ini tercatat 157 mesjid dan musala. Mungkin fakta ini bahkan tidak menjadi imajinasi terliar sekalipun bagi daerah lain, ketika ekspresi keagamaan dari “komunitas pendatang” masih dibayangi hasutan, jegalan, dan fitnah dari “penduduk asli”. Mesjid Bayt ar-Rahim, yang menjadi mesjid terbesar dan termegah di Papua bercitarasa arsitektur Bugis dibangun dengan dana puluhan miliar, tidak menjadi problem bagi penganut agama non-muslim.
Lembaga kerukunan umat tidak hanya diakomodasi di dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang sifatnya formalistis, tapi juga ada lembaga lain yang lebih partisipatif, yaitu Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKPPA). Lembaga ini representasi lebih luas yang juga memasukkan sinode-sinode besar. FKPPA bahkan lebih dahulu hadir daripada organisasi “plat merah” yang baru menjadi proyek toleransi di era SBY itu.
Suatu ketika muncul cerita dari pedalaman Papua tengah, tentang komunitas muslim yang kesulitan mendapatkan izin pembebasan adat dari kepala suku untuk membangun mesjid. Sang kepala suku menganggap pendirian bangunan permanen di tengah mayoritas penduduk berumah tradisional (Honai) sangat tidak baik secara kultural. Ketika sang kepala suku mengetahui bahwa yang akan dibangun adalah “gereja untuk orang Islam”, ia langsung menyetujui hak pelepasan adat tanpa ganti rugi. Bagi masyarakat Papua, rumah ibadah adalah tempat suci yang harus dihormati apapun bentuk agama dan kepercayaan itu.
Belajar Langsung
Yang menjadi ironi, selama ini Papua masih dianggap “setengah Indonesia”, sehingga tak layak dijadikan contoh apalagi untuk kisah peradaban seperti toleransi dan pluralisme. Cerita tentang Papua masih dipenuhi selimut distorsi (masyarakat zaman batu, tukang mabuk, suka perang, dan bangsa Melanesia kriting dan hitam yang berbeda secara sosiobiologis dan kultural dengan mayoritas Melayu Nusantara) dan stigmaisasi (OPM, AIDS, dan korup). Informasi kebaikan dari Papua masih tertutup tabir dan permainan representasi media yang eksplosif memberi citra buruk.
Padahal di tengah cerita “100 persen Indonesia” yang kemasannya penuh tindakan amuk, aniaya, dan bakar akibat perilaku intoleran dan fundamentalisme, cerita dari Papua bisa menjadi pualam yang menyejukkan jiwa. Indonesia mini politis (Jakarta) dan kultural (Yogyakarta) kini sedang kacau oleh “perang” akibat masalah “sepele” yaitu proyek pemilu presiden. Menjelang pilpres kasus-kasus sentimen keagamaan dan minoritas mulai memuncak di kota toleran, Yogyakarta.
Namun di Papua, kita tidak pernah mendengar ada amuk atas dasar agama dan budaya. Kasus Sorong beberapa waktu lalu adalah kisah minor (dan individual) yang tidak merepresentasikan totalitas sejarah dan antropologis keagamaan masyarakat Papua.
Kita mengenal pahlawan-pahlawan toleransi dan pluralisme nasional di dalam diri Ahmad Wahib, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, YB Mangunwijaya, dan I Gedong Bagoes Oka, dan lain-lain dan mereka semuanya telah almarhum. Kini masih tersisa sedikit tokoh gaek pejuang pluralisme pada sosok Buya Syafii Maarif, Djohan Effendi, Jalaluddin Rahmat, Bikhu Pannavaro, dll.
Namun kita berlimpah masyarakat pro-pluralisme yang sepanjang aliran darahnya memperjuangkan toleransi dan perdamaian di kalangan agama-agama di tanah Papua sana. Merekalah contoh kebaikan masyarakat religius yang jarang disebutkan dalam kaleidoskop toleransi bangsa.
Mari belajar untuk mengumpulkan mutiara toleransi dari Papua, tanah damai!
Be the first to comment