SURABAYA,PGI.OR.ID-Setiap orang berhak untuk beragama. Itu adalah hak asasi yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Karena itu, hak beragama adalah hak yang harus dilindungi oleh negara. Meskipun begitu, tetap harus ada titik-titik negosiasi sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan.
Muhammad Hafiz, Peneliti dari Human Right Working Group (HRWG) menyampaikan hal tersebut dalam Focus Group Discussion (FGD) Rencana Undang-undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang dilaksanakan oleh Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Wilayah Jatim (PGIW Jatim), di GKI Diponegoro, Surabaya, Selasa (15/9).
Hafid menambahkan: “Apakah satu majelis agama bisa menghakimi sebuah keyakinan satu kelompok agama tertentu sebagai keyakinan yang sesat? Tapi yang menjadi soal adalah ketika negara mengambil alih paham itu untuk menghakimi dan menindak satu kelompok agama yang dianggap sesat. Itu yang menjadi persoalan. Dan negara tak boleh mengambil alih sikap seperti itu untuk melakukan tindakan.”
Menurutnya, semakin diatur, agama semakin repot. Tapi kalau tak ada aturan, maka kelompok-kelompok intoleran bisa lebih bebas tanpa aturan. Tidak semua masalah keagamaan bisa diselesaikan dengan hukum. Khususnya berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak bisa masuk kategori pelanggaran agama, tapi pelanggaran etis. Jadi peran mediasi dan dialog oleh pemerintah penting untuk didorong.
Dikaitkan dengan kemunculan RUU PUB, dia menilai, diskusi mengenai rancangan perundang-undangan tersebut telah berlangsung sejak masa akhir SBY, dan berlanjut ke masa perintahan Jokowi, dengan target April sudah ada draft yang bisa dipublikasikan.
“Memang ada naskah dari PKUB dan Balitbang. Dua naskah ini bertolak belakang. Makanya lalu tak dipublikasikan meskipun sudah sempat dikirim kepada majelis-majelis agama. Karena sudah terlanjur dikirim dan tak bisa ditarik lagi, maka Kemenag lalu mengatakan bahwa belum ada draft RUU ini. Ada juga masukan yang pernah dimasukan oleh Setara Institute kepada DPR dan Kemenag. Kalau RUU ini tidak ada, maka memang tak ada solusi tentang hal-hal yang dikaitkan dengan persoalan keagamaan,” paparnya.
Sementara itu, Trisno Sutanto, dari Litbang PGI melihat, cacat utama RUU PUB & seluruh UU keagamaan di Indonesia adalah karena UU itu melindungi agama. Agama menjadi sesuatu yang sangat diagung-agungkan di Indonesia sejak tahun 1965, PNPS 65.
“Coba kita lihat regulasi sebelum 1965. Tidak ada pembedaan antara agama dan kepercayaan, sebelum 1965. Setelah itu, ada pembedaan yang jelas sekali. Begitu juga, sebelum 65, pendidikan agama di sekolah itu opsional, bukan keharusan. Setelah itu, menjadi sebuah keharusan. Sejak 65 itulah seluruh pengaturan agama itu diarahkan untuk melindungi dan menjaga agama. Ini problem mendasar kita sebab agama itu mendapatkan perlakukan yang sangat istimewa,” tegasnya.
Selain itu, Trisno juga menambahkan: “Kritik utama RUU PUB adalah dia sama sekali tak melihat proses sosial politik lokal. Itu hampir tak dihargai dalam regulasi seperti ini, termasuk PUB. Contoh FKUB, tidak memperhitungkan forum-forum yang selama ini sudah ada. Ini yang sama sekali tidak dilihat, padahal ini inisiatif masyarakat sipil untuk mengelola keragaman di daerah tersebut. Kearifan lokal. Kita juga membutuhkan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang bisa mengambil posisi berbeda, supaya untuk megatur kita. Dalam tradisi gereja kita semestinya ada banyak tradisi tentang kebebasan beragama.”
Seharusnya, lanjut Trisno, proses pertama dalam penyusunan RUU yaitu bagaimana membuat draft yang ideal. Setelah jadi, proses berikutnya, meminta masukan masyarakat di daerah dan majelis-majelis agama. “Yang menjadi kekuatiran kita adalah setelah itu, proses politik di DPR. Soal kualitas DPR dan praktek pragmatisme politik menjadi soal serius di sana. Makanya kita juga berusaha agar tidak masuk ke DPR dulu. Kalau sudah masuk dalam pembahasan di DPR, maka yang akan menonjol adalah kepentingan, bukan substansi masalah,” tandasnya.
Kerukunan, lanjut Trisno, seharusnya lahir dari perjumpaan sehari-hari. Tetapi yang terjadi hal itu dinafikan, dan seolah-olah kita tidak bisa rukun kalau tidak ada regulasi.
Editor: Jeirry Sumampow