MPH-PGI Bersama Presiden Jokowi Bahas Sejumlah Isu

MPH-PGI saat diwawancarai wartawan usai bertemu Presiden Jokowi

JAKARTA,PGI.OR.ID-Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) bersama Presiden Joko Widodo  melakukan pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (18/1). Pertemuan tersebut membahas sejumlah isu, diantaranya radikalisme dan intoleransi yang kerap terjadi belakangan ini di Indonesia.

“Berbagai bentuk aksi intoleransi dan pemaksaan kehendak yang marak terjadi belakangan ini adalah akibat dari sebuah proses panjang yang selama ini tak begitu dirasakan. Fenomena Nopember-Desember lalu adalah akibat dari pembiaran yang panjang, terutama di sisi ketimpangan ekonomi,” demikian disampaikan oleh Presiden Jokowi ketika menyambut kehadiran MPH-PGI yaitu Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang (Ketua Umum PGI),  Pdt. Albertus Patty (Ketua PGI), dan Pdt. Gomar Gultom (Sekretaris Umum PGI).

Lebih lanjut, Presiden berkata, “Kita sekarang ini melihat gerakan radikalisme yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang difasilitasi demi kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, kami meminta kepada Pimpinan PGI untuk menyampaikan kepada umat, bahwa pemerintah kini berupaya mengendalikan keadaan. Organisasi-organisasi yang meresahkan akan ditindak. Sudah ada langkah-langkah yang ditempuh dan yang masih dipersiapkan. Jangan ada anggapan pemerintah takut atau tidak melakukan apa-apa. Proses hukum satu demi satu sudah dimulai. Ketika menyangkut eksistensi kita sebagai bangsa, ini masalah serius, dan harus kita selesaikan. Kita hanya menunggu momentum yang tepat.”

Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Jokowi untuk meresponi keprihatinan yang diungkapkan oleh Pimpinan PGI dengan maraknya aksi-aksi intoleransi dan politisasi agama, yang mengganggu bukan saja hubungan antar agama, tapi sudah menciderai konstitusi. PGI juga menyampaikan keprihatinan dengan kecenderungan pemaksaan kehendak lewat pengerahan massa, sebuah kecenderungan yang kalau dibiarkan akan menghambat upaya penegakan hukum.

Di awal percakapan, Pdt. Henriette Lebang mengapresiasi capaian dua tahun pemerintahan Jokowi-JK yang telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, dibandingkan masa-masa sebelumnya, seperti pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan ekonomi dunia, pembangunan infrastruktur yang merata dan langkah-langkah penertiban menuju tata pemerintahan yang lebih hemat, efisien dan transparan, serta pemangkasan beragam regulasi yang berbelit di bidang ekonomi.

Dia juga menghargai langkah-langkah dan pendekatan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi berhubungan dengan masalah yang berkembang akhir-akhir ini terkait isu penodaan agama dan aksi-aksi yang mengikutinya. Menurutnya, gereja-gereja di Indonesia tetap mendoakan dan mendukung langkah-langkah Presiden, Wapres dan Kabinet dalam upaya melindungi segenap warga serta mencerdaskan dan menyejahterakan masyarakat.

Pada bagian lain, Pdt Albertus Patty, menyatakan keprihatinan atas pola pendidikan di sekolah yang belakangan ini menjadi sangat segregatif. Sebab itu, menurut Patty betapa perlunya penggalian kembali nilai-nilai Pancasila dan pendidikan multikulturalisme dikembangkan di sekolah-sekolah. Hal ini disambut baik oleh Presiden Jokowi dengan mengatakan, “Sudah saatnya pendidikan dibebaskan dari paham-paham sektarian dan pemaksaan simbolik-simbolik keagamaan. Olehnya pendidikan budi pekerti dan nilai-nilai kesantunan akan segera dimulai”.

Masalah lain yang dibicarakan yaitu terkait penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lampau, khususnya yang terjadi di Papua. Secara khusus Pdt Gomar Gultom, menyebutkan penyelesaian masalah-masalah HAM Papua yang masih mengambang hingga kini. Tim bentukan Menkopolhukam yang pada waktu lalu sudah mulai bekerja hingga kini tak kunjung usai, termasuk masalah Paniai dan lainnya. Terhadap hal ini, Presiden mencatat dan berjanji akan menindak-lanjutinya.

“Dengan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, akan tercipta rasa aman di kalangan penduduk dan penyelesain tuntas masalah ini akan mencegah kejadian berulang,” imbuh Pdt. Henriette Lebang.

Pada bagian akhir percakapan, Pdt Gomar Gultom mengangkat masalah RUU PUB yang muatannya masih memerlukan kajian mendalam, karena bukannya menjamin kebebasan beragama yang diamanatkan oleh konstitusi, tetapi malah memuat pembatasan-pembatasan. “Yang kita butuhkan adalah pengaturan, bukan pembatasan, demi terjaminnya kebebasan beragama!” tegas Pdt Gomar Gultom.

Dalam percakapan ini, PGI dan Presiden sepaham, pembahasan isu sensitif seperti RUU PUB belum saatnya dilakukan di DPR, dalam konstalasi politik seperti sekarang ini.