MIFEE, Diskriminasi Rasial Terhadap Papua

Dalam kenyataan di banyak negara di dunia, masyarakat adat merupakan kelompok yang rentan mengalami diskriminasi rasial. Secara khusus mereka kerap harus kehilangan tanah dan sumber daya oleh eksploitasi koloni, perusahaan komersialataupun perusahaan negara tak terkecuali di Indonesia. Pada agustus 2007 lalu, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on Elimination of Racial Discrimination-CERD) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan concluding observation yang mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengamankan hak-hakkepemilikan masyarakat adat sebelum melanjutkan lebih lanjut Mega Proyek Kelapa Sawit 1.8 juta hektar di perbatasan Kalimantan Barat.

Namun bukannya rekomendasi CERD tersebut ditindaklanjuti, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian dan Pemkab Merauke justru kembali membangun pola mega proyek serupa yang lebih fantastis di Papua Barat dengan apa yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam pernyataannya di Sesi 9 UN Permanent Forum on Indigenous Issues, New York, 19-30 April 2010, menyatakan MIFEE sebagai genosidaterstruktur dan sistematis

MIFEE : Mega Proyek, Mega Bencana

Mega proyek MIFEE merupakan program pengembangan budidaya tanaman pangan dengan skala sangat luas 100 hari pemerintahaan SBY-Boediono yang didasarkan kepada Inpres No.1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksaanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010. Proyek yang dicanangkan secara nasional oleh Menteri Pertanian, Suswono tanggal 11 Agustus 2010 tersebut, diproyeksikan untuk mengembangkan Merauke sebagai kawasan sentra budidaya tanaman pangan dan energi terbarukan di kawasan timur Indonesia. Proyek ambisius tersebut diharapkan akan menyuplai padi sekitar 1,95 juta ton padi, 2,02 juta jagung, 167 ribu ton kedelai, 2,5 juta ton gula, 937 ribu ton CPO dan 64 ribu ekor sapi pertahunnya untuk kebutuhan nasional bahkan dunia (feed the world).

37 perusahaan termasuk Bin Ladin Group dinyatakan telah bersedia berinvestasi dalam proyek yang bernilai sekitar Rp 60 triliun dengan kebutuhan pengembangan lahan seluas mencapai 2.49 juta hektar tersebut. Namun berdasarkan penelitian Greenomics, dari 1.45 juta hektar hutan alam yang dinyatakan Menteri Kehutanan sebagai Hutan Produksi Konversi (HPK), 1, 06 juta hektar masih merupakan kawasan hutan. Deforestasi tersebut diperkirakna akan menghasilkan sekitar 410, 9 juta m3 kayu yang nilainya dapat mencapai Rp 375,5 trilyun. Tanpa berjalannya MIFEE sekalipun, investor yang ada akan meraih ROI berlipat-lipat dari investasi yang hanya bernilai Rp 60 trilyun.

Sebagaimana proyek ekonomis skala besar lainnya, MIFEE juga telah dan akan meninggalkan cerita sedih kelompok masyarakat adat di Papua terutama Malind. Dengan skema Nucleus Estate Smallholder (NES), MIFEE telah dan akan mengakuisisi tanah atau hutan masyarakat adat Malind dengan mengabaikan hak-hak adat, kompensasi yang adil, dan prinsip HAM international tentang Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Akibatnya masyarakat adat Malind harus kehilangan akses ke kawasan perburuan, penangkapan ikan dan sumber daya lainnya yang bergenerasi-generasi menjadi sumber penghidupan kesehariannya. Tanah dan Hutan yang dimiliki secara adat kemudian menjadi hak penguasaan investor selama 90 tahun.

Akses atas pekerjaan atau petani plasma sekalipun di MIFEE pun masih sangat dibatasi. Marius Moiwend, warga Desa Sanggase, dan beberapa rekannya ditolak menjadi petugas satpam oleh PT Medcopapua Industri Lestari karena tidak memiliki ijazah SMP. (MIFEE : Berkah ataukah Kutukan, Kompas 6 Agustus 2010). Ini menjadi indikasi awal masuknya sekitar 6,4 juta pekerja Non-Papua ke Merauke dengan populasi masyarakat adat yang hanya 174.710 orang. Dengan kesempatan yang terbatas, migrasi tersebut  akan menjadi ancaman serius terhadap survivalitas masyarakat adat. Kesenjangan akses dan ekonomi bahkan dapat menjadi benih konflik sosial di masa depan.

Masyarakat Adat dan Diskriminasi Rasial

Ancaman terhadap hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya bahkan juga keberadaan masyarakat adat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ini menjadi perhatian besar dari PBB terutama Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD). Pada tahun 1997, berdasarkan Rekomendasi Umum No.23, marjinalisasi terhadap masyarakat adat dikategorikan sebagai diskriminasi rasial dan ditindaklanjuti berdasarkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD). Pada tahun 1993, CERD juga mengadopsi ’early-warning and urgent procedure’ sebagai upaya dini pencegahan diskriminasi rasial yang meluas ataupun genosida terhadap berbagai entitas rasial termasuk masyarakat adat.

Dan didasarkan atas hukum internasional tersebut, pada tahun 2007 Sawit Watch bersama NGO lainnya mendesak penerapan mekanisme early-warning and urgent action procedure atas diskriminasi rasial yang dialami oleh masyarakat adat dalam mega proyek 1.8 juta hektar kelapa sawit di perbatasan Kalimantan Barat. Dan atas laporan masyarakat sipil serta keterangan yang didapat dari perwakilan Indonesia, pada tahun yang sama, CERD meminta negara Indonesia untuk mengamankan hak-hak kepemilikan masyarakat adat dan memastikan terjadinya konsultasi bermaknadengan maksud untuk mendapatkan persetujuan dan partisipasi mereka di dalamnya, sebelum melanjutkan proyek tersebut.

Pembangunan MIFEE tanpa persetujuan masyarakat adat di Papua, merupakan bentuk pelanggaran dan mekanisme pelaksanaan ’early warning’ Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Rasial sebagaimana yang sudah direkomendasikan CERD. Pengabaian prinsip ini bukan saja akan berakibat kepada tudingan Genosida namun juga semakin memperkeruh permasalahan sosial politik Papua. Pemerintahan SBY sepatutnya menghentikan mega proyek MIFEE terutama proses pembebasan hutan adat yang sudah dan tengah berlangsung sampai didapatkannya persetujuan dan keterlibatan masyarakat adat di Papua.

Inisiatif budidaya pangan berbasis masyarakat patut serius dan konsisten dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sebagai antisipasi permasalahan kemiskinan dan ancaman krisis pangan. Kajian ulang atas pola dan sistem MIFEE perlu dilakukan tanpa deforestasi. Permasalahan MIFEE ataupun berbagai program pengembangan budidaya pangan sebaiknya dikembalikan kepada prinsip dalam UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan dinyatakan oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu dalam UN Climate Conference di Bali, Desember 2007 : Kembalikan Hutan kepada Masyarakat.

*) Wahyu Effendy, Ketua Umum Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI)

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/02/16/mifee-diskriminasi-rasial-terhadap-papua-341315.html

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*