Menyambut Sidang Raya PGI: Membumikan Gerakan Oikoumene di Pulau Nias

Ketika saya naik becak-motor yang merupakan angkutan umum di Gunung Sitoli, Nias, sang pengendara bertanya kepada saya, “Bapak, agamanya apa?” Lalu saya jawab, “Saya beragama Kristen, Pak.”  Lalu ia menimpali lagi, “Ya, tapi agama Prostestankah? Agama Katholik? Kalau saya agama Karismatik!”

Pengalaman yang terjadi ketika saya praktik lapangan di Pulau Nias pada tahun 2009 tersebut masih saya ingat dengan jelas. Pertanyaan dan respons pengemudi becak-motor tersebut menggambarkan pola pikir masyarakat kebanyakan dan situasi konkret di sana. Kekristenan adalah agama mayoritas dengan prosentase sekitar 95%. Secara umum dapat digambarkan bahwa selain Gereja Katholik Roma dan beberapa denominasi gereja Protestan, ada pula beberapa denominasi aliran Pentakosta dan Karismatik di sana. Sayangnya semangat kesatuan gereja belum terlalu tampak di dalam pola relasi gereja-gereja yang berbeda tersebut. Stereotipe dan rasa persaingan masih cukup kental di antara gereja-gereja yang berbeda sebagaimana tercermin dari anggapan pengemudi yang menyatakan aliran-aliran yang berbeda sebagai “agama.”

Misi Allah, “Wider Ecumenism,” dan Konteks Lokal Nias

Bicara gerakan Oikoumene, kesan yang muncul di umat Kristen pada umumnya adalah gerakan kesatuan gereja, dalam pengertian upaya membangun relasi yang lebih baik di antara gereja-gereja yang terfragmentasi. Tentu saja di Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) adalah penanda yang paling jelas dari gerakan Oikoumene, setidaknya di kalangan gereja-gereja Protestan. Meskipun begitu, sebetulnya PGI, dan gerakan Oikoumene di tingkat dunia seperti World Council of Churches (WCC), sudah melangkah lebih jauh dari pengertian kesatuan gereja.

Konsep “wider ecumenism” telah menjadi paradigma yang utama, yakni upaya bersama gereja-gereja Tuhan untuk menjadikan bumi sebagai “rumah bersama” yang dipenuhi kasih, keadilan, kebenaran, dan perdamaian. Dengan demikian, ada pergeseran paradigma di dalam gerakan Oikoumene, termasuk di dalam PGI sendiri. Hal itu tercermin, sebagai contoh, dari tema Sidang Raya PGI tahun ini di pulau Nias, “Dari Samudera Raya Bumi Tuhan Mengangkat Kita Kembali.” Tema tersebut merekfleksikan keprihatinan gereja-gereja Indonesia terhadap jalannya era Reformasi di Indonesia yang telah berusia 15 tahun namun perkembangan yang diidam-idamkan belum juga terjadi. PGI tidak hanya melihat dirinya sebagai lembaga yang mengurusi internal umat Kristen, tetapi secara luas ingin berperan dalam mewujudkan “rumah bersama” di Bumi ini.

Mungkin muncul kesan bahwa kita tidak perlu membicarakan “wider ecumenism” untuk konteks Nias, sebab bukankah masalah yang mendesak justru adalah perbaikan relasi antar-gereja? Justru saya berpendapat lain. Perbaikan relasi antar gereja yang berlainan merek dan denominasi tidak bisa dilakukan tanpa adanya upaya gerakan Oikoumene yang lebih luas melalui perbaikan di dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik di dalam konteks lokal Nias.

Di dalam konteks Nias, persoalan kemiskinan, pengangguran, kurangnya pendidikan, dan problem-problem sosial-politik-ekonomi lainnya masih ada dan menunggu untuk diselesaikan. Gereja-gereja di Nias perlu memikirkan bagaimana membereskan persoalan-persoalan masyarakat juga, selain tetap menjalankan fungsi-fungsi pastoral-gerejawi sebagaimana yang selama ini dipahami oleh kebanyakan umat Kristen di sana.

Jika gereja-gereja di Nias mampu bergandengan tangan melalui praksis bersama untuk melakukan perbaikan-perbaikan untuk masyarakat, maka hal itu akan bermakna ganda: di satu pihak gereja-gereja semakin berperan dalam melaksanakan misi Allah di dunia, dan di pihak lain, praksis bersama akan menghancurkan sekat-sekat yang selama ini memisahkan gereja yang satu dengan yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang lebih baik. Dalam hal ini, PGI sebagai motor gerakan Oikoumene di Indonesia perlu berperan aktif supaya kehadiran PGI benar-benar dirasakan oleh gereja-gereja di Nias. Jika tidak, maka saya takut Sidang Raya PGI tidak akan bermakna apapun dan hanya menjadi ajang gerakan Oikoumene yang seremonial dan dangkal.

Untuk itu, ada beberapa butir usulan sebagai berikut: Pertama, PGI perlu memikirkan program untuk melatih para pendeta, guru jemaat, maupun penatua-penatua di pulau Nias supaya mereka memiliki kemampuan sebagai community leader, bukan hanya church leader. Kemampuan mengembangkan masyarakat amat diperlukan bagi para pemimpin Kristen di Nias, terlebih dengan posisi mereka yang sudah dipandang tinggi di masyarakat.

Kedua, bidang pendidikan harus terus ditingkatkan. Saya masih mengingat bagaimana tsunami yang terjadi memang membawa kehancuran di mana-mana, namun sekaligus juga kemujuran. Bantuan yang masuk ke Nias membuat pembangunan infrastruktur cukup maju, termasuk sekolah-sekolah. Jika sebelumnya sekolah level SMA atau SMK hanya dapat ditemui di Gunung Sitoli atau Teluk Dalam, kini banyak sekolah dibangun di kecamatan-kecamatan bahkan desa. Akan tetapi, problem utama dalam situasi seperti ini adalah sumber daya manusia yang masih perlu ditingkatkan, baik guru, murid, maupun pengurus sekolah. Peningkatkan kualitas sumber daya manusia amat vital bagi pembangunan Nias. Untuk peningkatan kualitas guru, misalnya saja, PGI memfasilitasi program pertukaran guru dengan daerah-daerah lain untuk jangka waktu tertentu, program yang serupa denganIndonesia Mengajar, atau memberikan bantuan supaya guru-guru yang sudah ada dapat dilatih lebih lanjut.

Ketiga, ketersediaan informasi dan peningkatan minat membaca masyarakat. Ketika saya di pulau Nias, koran merupakan barang langka. Koran yang bisa saya temukan hanyalah yang sudah lewat beberapa hari, itupun di kota seperti Gunung Sitoli. Ketersediaan buku nasibnya tidak jauh berbeda, yakni masih amat sulit didapatkan. Hal-hal ini terkait dengan rendahnya minat baca masyarakat. Tentu saja ini adalah pengamatan di tahun 2009, kini bisa jadi sudah berbeda. Di Gunung Sitoli ada sebuah perpustakaan bernama “Kandang Boekoe.” Pengurusnya tahu benar bahwa pendidikan membutuhkan minat membaca dan ketersediaan buku-buku. Oleh karena itu, selama beberapa tahun terakhir mereka mengumpulkan buku-buku serta menyalurkannya kepada masyarakat sekitar, selain juga memberikan kursus pelajaran secara gratis bagi siswa-siswi. Upaya tersebut dilakukan secara swadaya oleh pribadi-pribadi, dan semestinya menjadi contoh positif bagi gereja-gereja di Nias secara khusus, dan Indonesia pada umumnya, dalam rangka melayani masyarakat. Saya berpikir, alangkah baiknya jika para peserta yang datang ke pulau Nias untuk bersidang dapat membawa serta dua-tiga buku untuk disumbangkan kepada masyarakat.

Butir-butir di atas adalah usulan yang tentu perlu dipikirkan lagi supaya jadi lebih mendarat. Problem hubungan antar gereja di Nias tidak dapat diselesaikan hanya melalui upaya top-down level sinode, namun perlu dibarengi dengan praksis bersama sebagai sesama umat Kristen sehingga sekat-sekat yang ada bisa dibuka sekaligus gereja-gereja melaksanakan misi Allah untuk menjadikan Bumi sebagai “rumah bersama” yang layak untuk dihuni.

Penulis: Hans Abdiel Hamakaputra, dosen tidak tetap di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Sumber: satuharapan.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*