Menjemput Tahun 2019 dengan Gembira

Oleh: Jannus TH Siahaan

Baru tiga hari lalu kita melampaui tahun 2018 dan kita bersyukur kini telah berada pada hari keempat pada tahun yang baru 2019. Banyak peristiwa terjadi di tahun 2018, mulai dari bencana alam, turbulensi ekonomi global, pilkada serentak, dag dig dug pencalonan presiden dan wakil presiden, pergesekan prakontestasi politik, pesta hoaks dan pemelintiran berita, divestasi Freeport, dan banyak lagi. Apapun itu, toh akhirnya kita bisa mendekati akhir tahun 2018 dengan penuh optimis. Di seluruh pelataran negeri, baik oleh pihak petahana maupun oleh oposisi, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang harus terus diperjuangkan keberlanjutannya, tentu dengan cara pandang masing-masing.

Dalam ranah ekonomi, tahun ini menjadi salah satu tahun yang merepotkan. Harga minyak dunia mulai wara-wari di atas level 60 USD per barel. Tak bisa tidak, Indonesia yang sudah menjadi pengimpor aktif minyak akhirnya terpapar beban fiskal. Transaksi berjalan kita kian melebar. Walhasil, wajah Rupiah kian memerah. Para pihak yang sedari awal pesimis dengan kinerja pemerintah semakin gencar bertanya kenapa Rupiah terpapar depresiasi, kenapa transaksi berjalan melebar, mengapa neraca dagang minus, kenapa investasi stagnan, kenapa pertumbuhan ekonomi stagnan, dan lain-lain.

Kemudian beberapa kebijakan jangka pendek pun diambil untuk meredam pelemahan mata uang. Mulai dari aturan sederhana soal Devisa Hasil Ekspor, inovasi B20, utak-atik suku bunga, monetary engineering dari BI, dan lain-lain.Pelan-pelan, nilai Rupiah mulai mengkilat. Rupiah meluncur perlahan ke bawah level Rp. 15.000 per Dollar. Kekhawatiran terkait ancaman krisis moneter juga akhirnya ikut mereda.

Sebelumnya, tepatnya di awal tahun 2018, perdebatan soal daya beli pun sempat menyeruak di ruang publik. Perkaranya, sejak pertengahan tahun 2017, tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga ternyata berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yakni di bawah 5 persen. Angka tersebut bertahan sampai kuartal pertama 2018. Walhasil, banyak pihak yang khawatir dengan penurunan daya beli masyarakat. Untuk meredam itu, pemerintah dalam APBN 2018 meningkatkan belanja bantuan sosial secara drastis untuk membentengi ancaman penurunan daya beli masyarakat. Akhirnya pada kuartal dua tahun 2018, tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga kembali ke angka 5 persen dan perdebatan soal daya beli yang menurunpun pelan-pelan mereda.

Tepat di bulan terakhir 2018, usaha yang cukup panjang merebut saham mayoritas di PT Freeport berhasil dilakukan. Inbreng Hak Partisipasi Rio Tinto menjadi saham yang kemudian dibeli oleh PT. Inalum berhasil direalisasikan. Banyak pujian datang terkait hasil kinerja pemerintah dalam mendivestasi perusahaan tambang emas raksasa yang satu ini. Sekalipun ke depan masih akan dipertanyakan soal kontribusinya pada peningkatan kesejahteraan publik, pun soal asal usul dana pembelian saham PT. Freeport, divestasi PT. Freeport masih layaknya dianggap sebagai salah satu hasil manis dari rezim Jokowi-JK. Perkara kontroversi yang muncul, tentu tak bisa dihindarkan.

Perdebatan dan skeptisisme atas segala kebijakan pemerintah adalah sebuah tradisi yang perlu dipelihara untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita. Pemerintah tak perlu keki, karena kecerdasan publik harus terus dibangun, salah satunya dengan memelihara tradisi diskursus kritis semacam itu. Terkait Freeport, tugas pemerintah tidaklah mudah. Pemerintah harus membuktikan bahwa divestasi saham Freeport adalah langkah strategis menuju pemerataan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan justru memperkaya oligarki-oligarki yang menggantungkan keuntungan-keuntungan kelompok di dalam istana

Tak lupa pula, pada tahun 2018 juga berlangsung pilkada serentak sesi terakhir (dari tiga tahap). Pilkada serentak tahap tiga menjadi sangat istimewa karena melibatkan jumlah pemilih yang jauh lebih banyak dibanding Pilkada-Pilkada serentak sebelumnya. Bahkan digadang-gadang oleh para analis politik bahwa pilkada serentak tahun 2018 adalah “a desicive step to presidential election” di tahun 2019. Kubu mana yang paling banyak mengantongi di provinsi-provinsi utama akan diasumsikan sebagai kubu yang punya daya gedor paling kuat di ajang Pilpres 2019.

Banyak kekhawatiran yang muncul ketika itu.Terutama jika dikaitkan dengan Pilkada Jakarta yang dinilai sangat bernuansa agama. Dikhawatirkan oleh banyak pihak, strategi dan keberhasilan pemenang Pilkada Jakarta dalam ajang kontestasi akan diduplikasi di banyak daerah dalam pilkada serentak untuk memuluskan calon masing-masing kubu. Namun syukurlah, hal-hal yang ditakutkan tidak terjadi. Pilkada serentak tahun 2018 berjalan cukup mulus, tak ada gesekan-gesekan yang berarti yang bisa memercik gesekan di skala nasional.

Setelah kekhawatiran Pilkada serentak berlalu, datang masa pencalonan presiden dan wakil presiden untuk pemilihan 2019. Awalnya sempat menguat isu soal agama, para ulama dan ustad terseret ke dalam pusaran kandidat. Namun akhirnya pemilihan Kiai Maaruf Amin di satu sisi dan Sandiaga Uno di sisi lain membuat isu agama menjadi kurang signifikan untuk dimainkan. Bahkan, gegara Sandiaga ikut ambil bagian, pergesekan isu beberapa bulan pasca penentuan calon terjadi di ranah ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan dinamika ekonomi nasional.

Di sisi lain, pada bulan-bulan menjelang berakhirnya 2018, Indonesia juga dilanda bencana alam di beberapa lokasi. Mulai dari Lombok, Palu, dan yang terbaru di Lampung, Carita dan Tanjung Lesung. Di ketiga kencana mutakhir, kita masih menyaksikan energi kebersamaan yang tak ada tandingannya. Semua pihak bahu-membahu untuk ikut terlibat dalam penanggulangan korban bencana dan dalam program-program pemulihan lanjutan. Ada yang ikut turun langsung, ada yang berpartisipasi dalam bentuk sumbangan, dan yang pasti, seluruh rakyat Indonesia ikut berdoa untuk keselamatan dan kemaslahatan masyarakat di lokasi bencana alam. Sungguh luar biasa energi kebersamaan negeri kita ini, bukan.

Apapun yang kita lalui di tahun 2018 dan di tahun-tahun selanjutnnya, toh kita semua sudah memahami bahwa para pendiri bangsa (the founding fathers and mothers) telah terlebih dahulu sepakat untuk memfinalkan penghormatan atas kemajemukan sebagai bagian dari sikap keberbangsaan kita. Jadi apapun pergesekan dan perbedaan yang mencuat,kita harus tetap menjaga penghormatan pada realitas kemajemukan dan keberagaman bangsa yang telah mengukir tinta emas sejarah pada setiap generasi.

Mari kita berkaca pada peristiwa tahun 1908, 1928, 1945, 1955, 1966, 1977, 1988, 1998, dan seterusnya sampai di penghujung 2018 untuk masuk babak baru 2019-2024. Pada babak sejarah ini, roh kemajemukan dan keberagaman ternyata bisa tetap kita jaga sebagai energi yang menggerakkan kebersamaan dan energi pemersatu. Inilah kenyataan sosiologis Indonesia. Pantaslah seloka Bhinneka Tunggal Ika (tanhana dharma mangrowa) yang tercengkeram kukuh di sepasang kaki burung garuda, tidak pernah diprotes atau digugat kelompok sosial manapun di Indonesia.

Oleh karena itu, untuk menutup tahun 2018 dan menyambut tahun 2019, marilah kita semua memperkuat keikhlasan diri untuk menerima Indonesia sebagai bangsa heterogen. Dan marilah kita mengokohkan Pancasila sebagai titik temu dari berbagai perbedaan dan keberagaman. Banyak negara memuji Indonesia karena di atas ladang kemajemukan dan keberagaman, Indonesia tetap tumbuh dengan subur dan makin kukuh dengan pohon demokrasi.

Gereja Memompakan Semangat Toleransi

Dan tak lupa pula, dengan komitmen demokrasi yang tinggi, mari kita kokohkan kembali fondasi toleransi umat beragama yang telah merekat berbagai perbedaan kepercayaan di Indonesia sedari dulu kala. Gereja sebagai tempat berpasrah diri sekaligus sebagai pelita bagi umat Kristen, harus terus memainkan peran yang mulia dalam setiap upaya perdamaian antar umat beragama di Indonesia. Gereja harus terus-menerus memompakan semangat toleransi, pun semangat persatuan, di tengah kebhinnekaan dan keberagaman ibu pertiwi. Bahkan, gereja harus menjadi leading institution di dalam mengokohkan semangat keberagaman di tiap pergantian tahun dan pergantian zaman.

Di sisi lain, gereja juga harus mampu menjadi role model dan contoh tauladan di antara umat beragama, yakni contoh inspiratif pembawa perdamaian sejati, contoh pemersatu yang tak sedikitpun memberi celah pada bertumbuhkembangnya kebencian di antara umat beragama, dan contoh nyata perekat perbedaan di dalam keanekaragaman nasional. Dengan peran itu, maka gereja akan menjadi institusi religius nasionalis yang perannya sangat dibutuhkan oleh ibu pertiwi, dibutuhkan oleh umat beragama lain, dan dibutuhkan oleh peradaban nusantara, baik di masa sekarang ataupun bertahun-tahun mendatang.

Peran suci inilah yang harus diemban oleh setiap gereja di negeri ini. Tentu tak mudah memainkannya, tapi bukan berarti tak mungkin untuk diwujudkan. Akan selalu ada jalan baik untuk setiap niatan baik, bukan! Mari kita tempuh tahun 2019 ini dengan penuh optimisme tinggi dan dengan keyakinan penuh bahwa perdamaian, toleransi antar umat, dan persatuan nasional yang hakiki adalah hal-hal yang juga ingin diwujudkan secara serius oleh setiap gereja di negeri ini. Semoga.

Penulis, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*