PGI – Jakarta. Meskipun baru beberapa hari selepas Sidang raya PGI ke XVI di Kepulauan Nias, Bidang Diakonia PGI langsung tancap gas. Selama tiga hari (25 -27 November 2014) lalu, Bidang Diakonia PGI menyelegarakan acara Konsultasi Nasional bertajuk Diakonia Transformatif, di Griya Bina GPIB, Lawang – Malang, Jawa Timur.
Acara ini diikuti oleh pengurus Bidang Diakonia atau Bidang Parpem Gereja-Gereja dan para aktivis dari lembaga-lembaga pelayanan kristen di Indonesia.
Konas ini adalah yang pertama dilaksanakan pasca Sidang Raya XVI PGI yang baru lalu, mengangkat tema yang sama, yaitu Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya dan subtema Dalam solidaritas sesama anak bangsa kita tetap mengamalkan nilai-nilai Pancasila guna menanggulangi kemiskinn, ketidakadilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan.
Menurut Jeiry Sumampouw, Sekretaris Eksekutif Diakonia PGI, Konas ini menjadi penting dan strategis karena tema dan sub tema SR XVI PGI 2014 di Nias semuanya berisikan pokok-pokok pikiran, penugasan akan pelayanan Diakonia Gereja-Gereja di Indonesia. Untuk itu kita perlu mendalami, menghimpun pendapat dan membuat pemetaan persoalan-persoalan terkini yang dihadapi gereja-gereja dalam rangka perumusan sikap dan melaksanakan pelayanan diakonia transformatif. Termasuk melakukan sinergitas pelayanan diakonia gereja-gereja ke depan.
“Oleh karena itu diharapakan melalui Konas ini, kita mendapat banyak masukan dan itu bisa kita buat semacam road map program-program strategis dan konkrit bidang diakonia PGI dari Nias ke Sumba (tempat penyelenggara SR XVII PGI – 2019 nanti), sehingga nanti di Sumba kita bersama-sama dapat mengevaluasi capaian yang telah dikerjakan,” ujar Jeiry.
Terkait dengan spiritualitas dan nilai-nilai diakonia transformatif, peserta konas diakonia mendorong gaya hidup keugahariaan (kebersahajaan, red) yang dicanangkan oleh Sidang Raya PGI di Nias beberapa waktu. Transformasi diakonia gereja harus dimulai dari perubahan di dalam menilai diri sendiri (gereja) dan cara berdikonia baru gereja-gereja di Indonesia.
Kebersahajaan adalah sikap hidup sederhana yang rela berbagi dengan orang lain demi menjaga kebersamaan dalam masyarakat. Keugaharian tidak menonjolkan diri, tetapi menjalankan hidup sederhana dan cukup, supaya dimampukan menolong orang lain yang membutuhkan. Keugaharian merupakan sikap yang menyebarkan apa yang dimilikinya sehingga bisa tercipta “keadilan bersama”.
Berdasarkan sikap kebersahajaan tersebut, gereja-gereja perlu membangun spiritualitas diakonia yang bergotong royong (atau berbela rasa). Sikap hidup ini merupakan sinergi dari sikap “gereja bagi orang miskin” (church for the poor) dan “gereja orang miskin” (church of the poor). Sebab, dengan memilih sikap pertama, terkesan ada arogansi dalam diri gereja, tetapi memilih sikap kedua bukan sesuatu yang mudah, karena beberapa gereja secara faktual adalah gereja yang secara material berpunya.
Sikap atau spiritualitas diakonia bergotong royong ini, gereja akan terus dimampukan membangun solidaritas demi penciptaan kehidupan yang baik bagi semua orang. Sebab, gotong royong merupakan cara menyelesaikan persoalan publik dengan melibatkan sebanyak mungkin warga masyarakat, supaya lahir penyelesaian yang demokratis dan musyawarah.
Dengan sikap gotong royong semua potensi dari warga gereja diberi tempat dan dihargai, sehingga bisa dirumuskan bukan hanya diakonia yang berbela rasa, tetapi juga diakonia yang bekerja sama satu sama lain.
Tindakan stretegis
Dalam rangka mewujudkan diakonia transformatif, gereja-gereja di Indonesia, atau lebih khusus PGI, diharapkan melakukan tindakan-tindakan strategis seperti, pertama, melakukan pengorganisasian terhadap para pelaku ekonomi menengah dan kecil, supaya mereka bisa menjadi kekuatan alternatif di masyarakat; melalui proses pendidikan, pemberdayaan, pendampingan mulai dari sektor hulu sampai ke hilir (terutama untuk pemberdayaan ekonomi jemaat/masyarakat).
Kedua, menggalang dan mengelola kelompok-kelompok serikat pekerja, bersama dengan lembaga lain, dan mendorong pemerintah melakukan kebijakan yang berpihak kepada mereka.
Ketiga, untuk mewujudkan diakonia transformatif tanpa harus membebani gereja-gereja, perlu ada pembedaan antara program diakonia, yang merupakan kepanjangan tangan gereja di masyarakat, dan program usaha penggalangan dana gereja melalui badan usaha milik gereja, yang bisa dijadikan sumber pendapatan gereja, baik klasikan maupun sinodal.
Keempat, melakukan advokasi dan pendampingan bagi tumbuhnya ekonomi menengah dan kecil yang kreatif dan berkelanjutan dan tenaga kerja, baik di dalam dan luar negeri yang bermartabat.
Kelima, PGI perlu melakukan dan menggalang jejaring pelayanan diakonia bagi gereja-gereja anggotanya berdasarkan data dasar yang cermat dan penad (relevan).(vesto)