JAKARTA,PGI.OR.ID-Politik Identitas dengan Hate Speech bukan hal baru dalam kontestasi politik. Trump di USA menang dengan kekuatan ini, sama halnya dengan kemenangan Anies menggoreng kebencian atas dasar politik identitas, yang mendapat momentum dengan kasus Ahok-Almaida.
“Saya, bersama teman-teman pegiat HAM, secara tegas mengatakan bahwa ujar kebencian ini harus ditindak tegas, karena mekanisme hukum kita memungkinkan untuk itu,” demikian paparan Al-Araf, Direktur Imparsial, pada Study Day yang diselenggarakan dalam rangka Sidang MPH-PGI, yang diperluas, di Grha Oikoumene, Jakarta, Kamis (18/7).
Lebih lanjut, Al-Araf menyebutkan, “Pertanyaan mendasar adalah, apakah pendekatan yang berhasil di Jakarta ini akan diteruskan pada Pemilu dan Pilpres 2019? Menyaksikan realitas perpolitikan kita yang masih jauh dari sempurna, nampaknya pragmatisme politik yang menghalalkan semua cara demi memperoleh kekuasaan masih akan mewarnai kontestasi politik hingga 2019 mendatang. Politik identitas dengan siar kebencian berulangkali dilakukan dalam pilkada maupun pemilu dan pilpres. Di beberapa tempat gagal, misalnya Pilpres 2014 gagal, tapi dalam kasus Pilkada Jakarta berhasil.”
Al-Araf selanjutnya menyebutkan, konstelasi politik menjelang 2019 akan tetap dibayangi oleh pendekatan ini, terutama dalam rangka menggoyang Jokowi. Saat ini muncul berbagai perlawanan terhadap Jokowi, yang akan menggunakan setiap momentum untuk mendelegitimasi pemerintahan Jokowi dengan sasaran 2019.
“Banyaknya “perut” yang terganggu oleh kebijakan pemerintahan Jokowi bertemu dengan kekecewaan atas reshuffle kabinet lalu yang meminggirkan “orang-orangnya JK”, membawa persoalan tersendiri. Persoalannya tergantung sejauh mana sikap dan kedudukan pelaku utama di bidang keamanan. “Ingat, Gus Dur jatuh karena pelaku utama keamanan ketika itu tidak loyal kepada Gus Dur sebagai Presiden,” katanya.
Apalagi, ternyata, terjadi friksi di sekitar istana antara Jokowi dan JK. Jika ini tidak diselesaikan secara arif, dan pelaku utama di bidang keamanan tidak berada dalam kontrol yang kuat dari Presiden, segala hal bisa terjadi.
Hal lain yang mendapat perhatian dalam Study Day adalah ke mana arah dukungan masyarakat. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadyah berkata, dalam sejarah, dan terutama kultur Indonesia, yang namanya radikalisme itu tidak akan membesar di Indonesia. “Karena perlawanan tidak hanya akan datang dari non Muslim, tapi juga dari kalangan Muslim sendiri. Bagi Muhammadiyah sendiri, NKRI dan Pancasila itu sangat Islami, dan tidak ada tempat bagi negara agama. Ini sikap dan perjuangan Muhammadiyah,” tandasnya.
Sementara itu, Muhammad Sobary, wartawan senior yang juga menjadi nara sumber dalam diskusi ini menegaskan, punya pengalaman sebagai peneliti LIPI dan pernah menjadi Kepala KBN Antara. Menurutnya, yang harus dihindari adalah konflik hirizontal. Gereja-gereja harus berangkulan dengan NU dan Muhammadiyah menghadapi semua ini tanpa kekerasan: fight without fight“.