Menilik Kondisi dan Proyeksi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di 2020

Nara sumber diskusi Kondisi dan Proyeksi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

JAKARTA,PGI.OR.ID-SETARA Institute for Demokrasi and Peace, merilis hasil survei terkait sejumlah pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) sepanjang periode pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Hotel Ibis Tamarin, Jl. K.H. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Selasa (7/1), dalam diskusi bertajuk Kondisi dan Proyeksi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan.

Pada kesempatan itu, Direktur Riset SETARA Institute, Halili memaparkan, pada masa pemerintahan Jokowi periode pertama terdapat 846 peristiwa pelanggaran KBB dengan 1.060 tindakan. Dengan demikian, terjadi rata-rata 14 peristiwa dengan sekitar 18 tindakan pelanggaran KBB setiap bulan sepanjang periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.

Hal ini menunjukkan masih tingginya pelanggaran KBB, semakin terbukanya ekspresi konservatisme, dan narasi intoleransi, Terhadap persoalan ini maka yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah. Baik pusat maupun daerah.

Dia menegaskan bahwa dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama ini “Peristiwa dan tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan Berkeyakinan merupakan salah satu persoalan yang mesti diatasi secara presisi oleh para penyelenggara negara pada pemerintahan Presiden Jokowi. Akselerasi penanganan persoalan-persoalan kunci mesti dilakukan oleh pemerintah,” katanya.

Laporan SETARA Institute ini menjadi bahan acuan dari diskusi tersebut, dalam melihat kondisi dan proyeksi KBB di 2020.  Pada kesempatan itu, Sekretaris Jenderal Indonesian Conference Religion on Peace (ICRP), Siti Musdah Mulai menilai, bahwa memang kondisi dan proyeksi KBB masih jauh dari harapan. Persoalan ini kerap terjadi lantaran kerap dianggap tidak penting, sehingga penanganannya tidak mengalami kemajuan. Dan hal yang sama akan tetap terjadi di 2020.

Oleh sebab itu, menurutnya yang perlu dilakukan sekarang ini adalah fokus kepada upaya-upaya edukasi dan literasi terkait beragama, secara khusus di sekolah. “Karena sebetulnya tidak ada penjelasan di tingkat sekolah mulai dari SMA, perguruan tinggi, apa sih sebenarnya kebebasan beragama berkeyakinan. Saya heran kenapa ini tidak menjadi hal yang penting buat lembaga pendidikan kita. Makanya penting sekali literasi lintas agama, dan menjadikan sekolah, tertama sekolah-sekolah formal terutama milik pemerintah. Karena ini tugas pemerintah, tanggungjawab pemerintah,” jelasnya.

Selain itu, perlunya dibangun kembali kesadaran tentang apa itu kebebasan beragama, apa maknanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  “Saya juga terlibat dalam penyusunan indeks demokrasi di Indonesia, maka selama 10 tahun, sejak 2007 hingga 2019, ternyata juga sama. Jadi problemnya pembangunan demokrasi dan pembangunan HAM berjalan sejajar, tidak mengalami kemajuan yang berarti,” tandas Musdah.

Sedangkan Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos menegaskan, selama ini pemerintah melihat persoalan-pesoalan KBB ini sebagai kasus yang random, spontan, kasuistis, dan tidak berpola, sehingga kerap dianggap bukan sesuatu yang serius.

“Contoh kasus Ahmmadiyah, yang terjadi secara simultan dan berpola di beberapa daerah, sehingga pemerintah bertindak. Tapi kalau penutupan rumah ibadah pemerintah tidak bertindak karena ini dianggap tidak berpol, dan melihat biarlah pemerintah daerah yang menyelesaikannya. Termasuk apa yang terjadi di Sumatera Barat. Memang belakangan kita jarang mendengar kasus penutupan rumah ibadah, tapi kondisinya tetap sama sebenarnya. Kenapa kasus GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Ahmadiyah di Lombok, tidak diselesaikan? Mereka khawatir kalau ini diselesaikan akan muncul masalah baru,” jelasnya.

Tigor melihat, situasi ini akan tetap sama di 2020. Meski demikian, upaya-upaya untuk menciptakan kondisi KBB yang lebih baik lagi tetap harus dilakukan, sekecil apapun.

 

Pewarta: Markus Saragih