Menilai Pendidikan Multikultural (Lintas Agama) di Sekolah dan Keluarga

PGI — Jakarta. Merayakan kehidupan sebagai rumah bersama bagi semua orang menjadi pesan yang disampaikan oleh Pdt. Gomar Gultom (Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) dalam Seminar Agama-agama yang diadakan PGI, 23-26 September 2014, dengan tema “Memupuk Nilai Multikultural di Sekolah dan Keluarga: Prospek dan Tantangan Pendidikan Multikultural”. Dalam pandangannya, kehadiran agama seringkali mempersempit ruang sukacita bagi semua orang. Bahkan, pendidikan pun dibajak/diprovokasi oleh agama untuk mempersempit ruang bersama tersebut. Akibatnya, agama kehilangan kemampuan untuk menghadirkan rakhmat di dalam kehidupan. Bagi Gultom, dengan merujuk pada misi Yesus, pendidikan seharusnya bergerak untuk memanusiakan manusia. Di sini, pendidikan multikultural menjadi keharusan. 

Pembacaan Gultom terasa menarik bila disandingkan dengan apa yang diutarakan oleh Prof. DR. Abdul Munir Mulkhan (dosen pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga) yang menengarai terjadinya perselingkuhan elite agama dan politik yang membuat pendidikan menjadi ruang yang terbatas di mana dikotomi antara surga dan neraka atau kafir dan mukmin menjadi begitu menonjol. Hal seperti ini membuat guru dan naradidik tidak memiliki pilihan lain selain terjebak dalam dikotomi sempit tersebut. Akibatnya, baik dan buruknya pendidikan diukur dengan melihat bagaimana dikotomi surga dan neraka atau kafir dan mukmin dikontraskan dalam dunia pendidikan. Bagi Mulkhan, hal seperi ini memperlihatkan menguatnya cara berpikir simbolik formalistis berbasis fiqih. Kurikulum 2013 merupakan contoh cara berpikir ritualistik dan reduktif di mana selain guru beserta naradidik tidak menjadi subjek dari pendidikan, pengukuran kompetensi pun sangat menekankan aspek formalistik keagamaan. 

Tantangan yang kemudian muncul adalah, menurut Mulkhan, “Apakah sosialisasi doktrin agama di dalam Islam dapat berjalan beriringan dengan memperkuat harmoni dalam kehidupan yang multikultur? Di sini Mulkham memandang tanggungjawab kemanusiaan dalam masyarakat sesungguhnya menjadi poin penting di dalam sosialisasi nilai-nilai keagamaan, dan karenanya pendidikan multikultural menjadi satu-satunya cara untuk memperkuat kerjasama tersebut. Dengan merujuk pada Canadian Act, Mulkham menekankan bahwa keragaman budaya dan kesetaraan menjadi syarat yang penting bagi pendidikan multikultural. Agama dapat memiliki arti apabila hidup dalam realitas yang plural. Oleh karena itu, merawat keragaman menjadi kata kunci untuk memberi arti bagi agama itu sendiri. Mulkham mencontohkan, membangun Islam harus dilakukan dengan memelihara keragaman karena dalam keragamana tersebut Islam memiliki arti. Hal serupa juga berlaku bagi agama-agama lain.

Di tingkat pelaksanaan, persoalan yang muncul kadang terasa dilematis mengingat – menurut Pdt. Dien Sumiyatiningsih – realitas multikultural kadang dijadikan alat untuk meng-exclude-kan mereka yang berbeda mengingat agama kadang tampil dalam wajah yang kejam dan membeku dalam kelompoknya sendiri. Selain itu, aspek kognitif dalam pendidikan terasa begitu menonjol dan lemahnya tekanan pada learning to live together dalam bentuk pengalaman. Kondisi ini juga diperumit dengan lemahnya SDM (guru-guru) untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Catatan Sumiyatiningsih bisa dibaca bersamaan dengan beberapa tantangan yang diajukan Gultom, yakni: (1) semakin homogennya pergaulan naradidik dalam sekolah-sekolah berbasis agama, (2) berlangsungnya agamanisasi pendidikan melalui UU Sisdiknas, (3) adanya kerancuan seolah-olah agama dapat menyelesaikan segala hal di dalam masyarakat, (4) dunia pendidikan berkembang menjadi komoditas dan (5) eksploitasi identitas agama di dalam dunia pendidikan.

Bagi Sumiyatiningsih, lembaga seperti keluarga memiliki peran yang penting untuk mendorong pendidikan multikultural, baik untuk bounding (memperkuat nilai-nilai agama) maupun reaching (menjangkau mereka yang berbeda dengan bertolak dari perspektif multikultura). Di sini keluarga tidak boleh berdiri sendiri, namun harus ada interkoneksi dengan lembaga lain seperti lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan. Ini mengingat pengembangan diri anak selalu terhubung dengan ketiga lembaga tersebut. Dengan demikian, pendidikan multikultural – yang bertujuan melahirkan masyarakat yang beradab melampaui orientasi simbolik dan formalistik di dalam agama – akan hidup dalam gerak bersama antara ketiga lembaga tersebut; tidak ada yang berdiri sendiri. 

Selain pemaparan dari beberapa narasumber di atas, Fajar Riza Ul-Ha dari Maarif Institute memberikan uraian yang menarik di mana terjadinya dominasi para mentor dalam kegiatan Rohis (Rohani Islam); mereka (para mentor) bahkan lebih didengar oleh naradidik dibandingkan guru maupun orangtua. Namun, sekolah tampaknya tidak memberi perhatian terhadap persoalan dominasi para mentor di Rohis, sekalipun mereka (para mentor) memiliki kontribusi terhadap berkembangnya fanatisme agama. Tantangan ini masih ditambah lagi dengan: (1) kurikulum dan materi pendidikan agama yang tidak mengalami pembaharun, sehingga nilai-nila hak asasi manusia (HAM) dan keragaman justru tidak mendapat tempat dalam pengajaran agama, (2) guru-guru agama umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan guru agama (fakultas Tarbiyah dan Keguruan) dan (3) kuatnya orientasi fiqih yang bergerak hitam putih. Dalam konteks ini, Maarif Institute coba menggeser paradigma lama – yang berorientasi fiqih – melalui pembaruan kurikulum dan materi pendidikan agama yang mendialogkan nilai-nilai Islam dengan isu-isu HAM dan kewarganegaraan, sehingga menghasilkan reinterpretasi terhadap ajaran dan tradisi keagamaan. Dengan demikian, agama tidak menjadi penghalang untuk memperkuat nilai-nilai HAM dan kewarganegaraan. Upaya seperti ini, menurut Fajar, harus dibarengi dengan (1) memperhatikan lingkungan pergaulan, misalnya membawa pembaruan kurikulum dan materi pendidikan agama ke dalam kelompok Rohis, (2) pentingnya SDM yang memiliki latarbelakang pendidikan guru agama, dan (3) mengupayakan pendekatan struktural agar terjembataninya kebijakan pendidikan nasional dengan aktivitas pendidikan yang berlangsung di tengah masyarakat. Pengalaman dari Maarif Institute rasanya bisa dilengkapi dengan pengalaman PGI, yakni: (1) pentingnya peran keluarga (khususnya peran ibu) dalam memperkuat kemampuan komunikasi multikultural anak (salah satu poin penelitian multikultur (lintas agama) yang diadakan PGI), (2) peran PGI dalam mendukung pendidikan lintas agama yang diadakan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), (3) kegiatan meja lintas iman (membaca teks suci dari berbagai perspektif agama), (4) mendorong penghargaan terhadap holy sites (gereja, mesjid dan sebagainya) serta (5) mendorong pendidikan alternatif untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan naradidik di daerah.

Penulis: Beril Huliselan (Anggota Pokja Penelitian Biro LitKom PGI)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*