JAKARTA,PGI.OR.ID-Laporan Unicef Tahun 2020 menyebutkan bahwa Indonesia masuk 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Sementara Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 BPS tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi yaitu mencapai 1,2 juta kejadian. Dari jumlah tersebut proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak. Artinya sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan.
Sesungguhnya, dari sisi hukum Indonesia telah memiliki undang-undang yang mendukung hak anak, sebut saja UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lewat amandemen kedua UUD 45 pada 18 Agustus 2000. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi dua protokol opsinal KHA melalui undang-undang No 10/2012 dan UU No 1/2000. Bahkan sejak tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA).
Menurut Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, tingginya kasus perkawinan anak karena KHA tidak dihidupi atau dipraktikkan. Selain itu, posisi anak dalam masyarakat kita sering kali diperlakukan sebagai subordinasi orang dewasa, dan orangtua sering menganggap anak sebagai aset. “Dalam posisi itu anak tidak akan pernah mampu mengartikulasikan kehendak hatinya, temasuk menolak perkawinan anak, karena takut dicap melawan orangtua,” ujarnya dalam webinar bertajuk Mengapa Kita Menolak Perkawinan Anak? yang dilaksanakan oleh BPA PGI, pada Jumat (26/2).
Implikasi dari perkawinan anak, lanjutnya, merenggut masa tumbuh kembang, yang mestinya difasilitasi bahkan dilindungi, kehilangan masa depan karena putus sekolah dan pupusnya cita-cita, dipaksa menyesuaikan tubuh dan jiwanya melebihi kepatutan umurnya, serta akan melahirkan generasi yang terdegradasi.
Dalam kerangka itu, menurut Ketua Umum PGI, kita perlu kampanye lebih besar dalam rangka menghidupkan kesadaran kolektif untuk melindungi kepentingan terbaik anak. Seluruh komponen bangsa, dan elemen masyarakat, termasuk gereja, juga harus melindungi kepentingan terbaik anak. “Bukan kepentingan orangtua, bukan kepentingan orang banyak, tapi kepentingan terbaik anak. Anak memang dilahirkan oleh seorang ibu dalam satu keluarga tetapi dia bukanlah hak milik yang bisa diperlakukan sebagai properti,” jelasnya.
Ditambahkan, setiap anak memiliki jiwa yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun, dia memilikinya sebagai gambar Allah yang memiliki keunikan tersendiri sebagai sebuah pribadi yang utuh, setiap anak harus diperlakukan dan dihargai seturut dengan pertumbuhannya. Anak membutuhan wadah dan waktu untuk bermain karena setiap orang dan setiap anak adalah homoludon, yakni mahluk bermain.
Sementara itu, Derry Ulum dari Unicef menuturkan, perkawinan anak memiliki sejumlah dampai negatif, seperti kemiskinan yang berlanjut, pertumbuhan ekonomi yang lambat, terputusnya pendidikan, berbagai masalah kesehatan anak dan kematian ibu saat melahirkan, serta rentan terhadap kasus KDRT. Sedangkan penyebabkan terjadinya perkawinan anak, diantaranya adalah keterbatasan pengetahuan dan akses yang kurang terhadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), ketidaksetaraan gender, situasi darurat/bencana, mudahnya memperoleh dispensasi kawin, dan tradisi.
Menurutnya, apabila penurunan kasus perkawinan anak tidak dipercepat akan sulit bagi Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan target RPJMN 2020-2024. Sebab itu, untuk mempercepat penurunan kasus ini Unicef merekomendasikan agar adanya akses anak terhadap pelatihan ketrampilan dan pendidikan, pengetahuan orangtua terhadap risiko perkawinan anak, ketersediaan mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas, peran aktif pemerintah daerah juga desa, serta partisi anak dan kaum muda.
Hal senada juga disampaikan Khotimun Sutanti dari Nasyiatul Aisyiyah. Menurut Khotimun, terjadinya perkawinan anak disebabkan adanya budaya patriarkis, persoalan ekonomi, tafsir agama, juga pemahaman tentang hukum yang terkait dengan anak. Sementara perkawinan anak berpengaruh kepada kesehatan reproduksi, terhambat atau hilangnya akses hak-hak dasar anak yang dijamin oleh konstitusi, potensi mengalami KDRT, dan terkait dengan tingginya angka stunting.
Khotimun melihat, perlunya langkah bersama ke depan untuk memerangi perkawinan anak, dengan meningkatkan peran tokoh agama dan masyarakat terutama di desa-desa, meningkatkan akses pendidikan dan ketahanan ekonomi keluarga, pendidikan publik tentang bahaya perkawinan anak dari berbagai sisi, kesetaraan gender, serta dalam lingkup terkecil di masyarakat.
Pewarta: Markus Saragih