PGI — Jakarta. Dewasa ini bencana ekologis seperti banjir bandang, badai panas, pencemaran air tanah, dan udara, kekeringan dan lainnya, sudah semakin mengkhawatirkan dibandingkan dengan bencana geologis seperti gempa bumi, gunung meletus dan tsunami. Hal ini didasarkan pada data BNPB untuk tahun 2002-2009. Bencana ekologis, atau dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan kerusakan lingkungan ini, bukan hanya sekadar wacana global saja, tetapi telah menjadi realitas hidup kita saat ini. Kita hidup di tengah-tengah bumi yang memanas.
Jika dicari akar permasalahannya, bencana ini terkait erat dengan pola prilaku, konsumsi dan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan. Tentunya ada juga faktor kebijakan dan lemahnya penegakan hukum atas oknum perusak lingkungan, serta eksploitasi alam yang berlebihan. Mengenai hal ini para pelaku bisnis dan pengambil kebijakan selalu dianggap menjadi aktor utama penyebab bencana ekologis. Namun, secara langsung atau tidak langsung, orang, termasuk warga gereja, sebenarnya telah ikut menjadi aktor perusak lingkungan. Oleh karena bencana ini merupakan ulah manusia, maka manusia memiliki tanggung jawab bersama untuk menghentikan dan memastikan bahwa bumi sumber kehidupan tetap ada dan tidak hancur.
Sebagai pihak yang diberikan mandat untuk menjaga dan memelihara bumi dengan segala isinya, maka orang Kristen seharusnya berperan dalam menekan laju krisis ekologis dimulai dari rumah dan lingkungan di mana gereja berada.
Sebagai upaya untuk ikut berkontribusi dan terlibat lebih jauh dalam menyikapi dampak kerusakan lingkungan, PGI melalui Bidang Marturia sejak beberapa tahun terakhir ini mengembangkan berbagai bentuk kegiatan dalam rangkaian program yang diberi nama Gereja Sahabat Alam (GSA). Dengan GSA ini, PGI hendak mengajak seluruh warga gereja dan masyarakat umumnya untuk tiba pada perubahan perilaku, tidak lagi sebatas wacana dan diskursus, dalam memperlakukan alam semesta ini secara bertanggung jawab.
Dalam mengimplementasi program ini, Bidang Marturia PGI bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), dan STT Jakarta menyusun sebuah buku panduan yang memaparkan lebih detail tentang apa itu GSA, refleksi teologis yang mendasarinya, serba serbi aktivitas yang bisa dilakukan, dan lainnya.
Buku Panduan GSA telah dilounching oleh Bidang Marturia PGI di beberapa gereja, seperti GPIB Kharisma, Bekasi, Minggu (2/11), dan GKI Kemang Pratama, Bekasi, Senin (3/11). Dalam kesempatan itu juga, dilakukan diskusi bersama jemaat terkait peran warga gereja terhadap lingkungan. (ms)
Be the first to comment