JENEWA,PGI.OR.ID-Berbagai organisasi yang berbasis nilai-nilai keagamaan (faith organisation) memiliki peran strategis untuk berkontribusi bagi kesetaraan gender dan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Apalagi, 80 persen penduduk dunia mengidentifikasikan diri sebagai orang beragama. Poin disampaikan oleh Christine Löw dari UN Women, badan PBB yang memperjuangkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, dalam pelatihan hak asasi perempuan yang berlangsung di Ecumenical Centre, Jenewa, Swiss.
Dalam konteks ini, Christine Löw melihat pentingnya peran orang-orang yang berperspektif feminist mengingat mereka dapat menjelaskan bagaimana agama dapat menjadi instrumen pembebasan.
Lebih lanjut Löw mengatakan bahwa: “mengidentifikasi hambatan keagamaan terhadap hak-hak prempuan dan menjembatani masyarakat sipil dengan tujuan pembangunan adalah krusial dalam realisasi agenda 2030 (SGDs) dan selanjutnya. Menghadirkan organisasi-organisasi berbasis iman akan membantu realisasi SDGs, di mana keadilan gender adalah tujuan dan prinsip dasar”.
Di sini karya para pemimpin dan organisasi yang bersprespektif feminis perlu diperkuat, demikian juga dengan penguatan kerjasama antara kelompok-kelompok feminis yang digerakan oleh nilai-nilai keagamaan dan yang sekular (faith-based and secular feminist groups).
Hal serupa juga ditekankan oleh Pdt. Elaine, sekretaris the Lutheran World Federation untuk urusan perempaun dan masayrakat. Bagi beliau, organisasi-organisasi berbasis iman perlu ditingkatkan kemampuannya untuk menghadirkan advokasi lokal ke arena global, khususnya melalui badan PBB yang menangani diskriminasi terhadap perempuan (UN’s Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW)) dan melalui kajian periodik yang dilakukan PBB terkait hak asasi manusia di negara-negara anggota. Langkah seperti ini, bagi Elaine, dapat membantu berbagai aktor yang berberak berbasis agama untuk melawan praktik-praktik yang berbahaya dan diskriminatif terhadap perempuan.
Bagi Amélie Barras, professor di York University, Kanada, berbagai kelompok di lapangan perlu dibantu untuk memahami pentingnya bergerak di level internasional. Karena itu, pekerjaan PBB perlu dibuat aplikatif bagi mereka yang di lapangan.
Pelatihan hak asasi perempuan diselenggarakan oleh lima lembaga, yakni the Lutheran World Federation, the World Council of Churches, Church of Sweden, FinnChurchAid dan Mission 21. Tujuannya, mempelajari kerja-kerja advokasi PBB dan bagaimana memanfaatkan badan-badan PBB untuk meningkatkan hak-hak perempuan. (www.lutheranworld.org)
Be the first to comment