Menelisik Tantangan dan Peluang Kehidupan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Para narasumber dan moderator di sesi pertama di hari kedua SAA ke 37 PGI

CIGUGUR,PGI.OR.ID-Di hari kedua (17/11/2022), kegiatan SAA ke 37 PGI yang berlangsung di Balai Paseban Tripanca, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, diisi sesi pertama diskusi terkait tema Beragama dan Berkeyakinan di Tanah Air: Konteks Aktual, Tantangan, dan Peluang.

Mengulik tema tersebut, menghadirkan 4 narasumber yaitu Pdt. Gomar Gultom (Ketum PGI), Nia Sjarifudin (ANBTI), Engkus Ruswana (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa Indonesia), dan Wawan Gunawan (Jakatarub),

Dalam sesi ini, Pdt. Gomar Gultom menegaskan, begitu banyak perjumpaan tokoh-tokoh agama, dari yang formal hingga yang non formal. Di antaranya juga ada doa bersama. Dari antara yang banyak itu, hampir bisa dipastikan, yang diagendakan hadir hanya perwakilan dari agama-agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Tidak ada ruang tersedia untuk penganut agama-agama dan kepercayaan lain.

“Padahal ada begitu banyak penganut agama dan kepercayaan di luar yang enam itu, seperti Jahudi, Bahai, Shinto, Taoisme, Zoroaster, Sunda Wiwitan, Kejawen, Parmalim, Merapu, Kaharingan, Tonaas Walian, Tolottang, dan lainnya,” jelasnya.

Sepertinya, lanjut Pdt. Gomar Gultom, ruang publik kita hanya diagendakan untuk diisi oleh keenam agama itu. Dan para pemimpin atau tokoh dari ke enam agama itu tidak pernah merasa terganggu dan merasa nyaman saja, dengan tiadanya ruang buat agama-agama lain itu.  Ironisnya, keenam agama itu adalah agama pendatang di nusantara ini, dan mereka menguasai ruang publik. Agama-agama lokal atau asli Indonesia, yang adalah agama pribumi malah dipinggirkan. Berbagai regulasi dan kebijakan dikeluarkan oleh negara untuk memfasilitasi kepentingan agama-agama yang enam itu, yang secara langsung semakin memarjinalkan agama-agama lokal itu.

“Inilah ironi agama pendatang itu, membiarkan hak-hak sipil penganut agama lokal terabaikan, sementara dalam kotbah-kotbahnya mengatakan damai, adil, kasih dan sebagainya. Dalam kenyataannya, entah berapa banyak perkawinan warga yang tidak tercatatkan oleh negara dan sebagi akibatnya, anak-anaknya tidak bisa mendapatkan akte lahir. Tidak ada jaminan hukum kepada mereka, dan para pemimpin agama cuek bebek,” katanya.

Ironi seperti ini sesungguhnya bukanlah tabiat Indonesia. Ironi ini berakar berakar pada UU no 1/PNPS/1965, khususnya di bagian penjelasan, yang diplesetkan oleh para pengambil keputusan negara, dan  diaminkan oleh para pemimpin keenam agama itu. Saya katakan bukan tabiat Indonesia, karena ternyata, di dalam tubuh BPUPKI, terdapat dua tokoh dari penganut kejawen: Wongsonegoro dan RM Soenardi.

Lebih jauh dijelaskan, sesungguhnya yang terjadi agama-agama yang enam itu ingin mengkapling Indonesia ini hanya untuk dibagi-bagi oleh keenam agama yang ada. Kesimpulan seperti ini sangat valid bila melihat berbagai regulasi terkait penyebaran agama yang ada selama ini. Dalam berbagai surat edaran Menteri Agama selama Orba, terkesan oke saja menjalankan dakwah atau misi kepada mereka yang belum memeluk “agama”, yakni belum memeluk salah satu dari keenam agama itu. Dengan kata lain para penganut agama lokal itu  dijadikan target atau objek dari dakwah atau misi.

Belakangan kondisi makin runyam dengan makin merebaknya budaya kerakusan. Kini hampir tidak ada keseharian kita yang tanpa hura-hura. Semua seakan sudah menjadi tempat mengumbar nafsu dan amarah. Dan ini tidak hanya dalam ranah ekonomi atau politik, melainkan juga dalam kehidupan beragama. Maka ganti mengisi dan berbagi ruang publik, yang ada adalah rebutan ruang publik.

“Salah satu efektif mengatasinya, menurut hemat saya, adalah mencabut UU 1/PNPS/1965 itu. Itu sebabnya Judicial Review yang dilakukan Gus Dur dkk, didukung sepenuhnya oleh PGI. Sayangnya JR ini kandas di tangan Mahfudz MD, sebagai Ketua MK ketika itu. Tetapi sesungguhnya, dalam salah satu petitumnya MK juga mengatakan perlunya  executive review dan legislative review atas UU ini. Sayangnya, baik parlemen maupun pemerintah “ora mudheng” hingga kini. Bahkan dalam draft RKUHP, kembali dimasukkan muatan UU 1/PNPS/1965, yakni penodaan agama,” jelasnya.

Dia menambahkan, sesungguhnya terdapat peluang buat kita kini mengadvokasi rekognisi, pemenuhan dan perlindungan bagi hak-hak beragama dan berkeyakinan ini kini tersedia. Lukman Hakim saat menjadi Menteri Agama, adalah pejabat Kemenag pertama yang mengundang penganut kepercayaan ikut bergabung dalam perjumpaan interfaith. Selain itu, kementerian agama kini sedang giat-giatnya mensosialisasikan Moderasi Beragama. “Pada saat sama, di beberapa lembaga agama, makin muncul pemimpin dan tokoh yang terbuka dan tercerahkan dalam hidup beragamanya. Ini semua peluang yang harus dimanfaatkan dalam mengadvokasi kasus ini,” pungkasnya.

Sementara itu, Nia Sjarifudin melihat, trend aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama saat ini semakin meningkat, yang sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Situasi semacam ini harus dihadapi dengan akal dan hikmat dalam memaknai setiap ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama.  

Menurut Nia, komitmen bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 45 harus terus digaungkan, dalam rangka menciptakan kehidupan, termasuk kehidupan beragama, dan berkeyaninan. “Menurut Gusdur Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika adalah jatidiri bangsa yang tidak boleh dilemahkan apalagi dihilangkan dari bangsa ini. Ini pulalah yang akhirnya kami mendeklarasikan ANBTI,” katanya.

Pancasila, ujarnya, begitu kuat dalam habitus bangsa, tinggal bagaimana kita patuh mengaktualisasikannya dalam kehidupan, sehingga Pancasila tidak hanya dilihat sebagai tekstual atau hapalan semata.

Peminggiran dan marginalisasi terhadap agama leluhur, sehingga pemerintah terkesan gamang untuk mengakui keberadaannya, diungkapkan Engkus Ruswana. Padahal, menurutnya, sejak zaman purba sudah terjadi perjumpaan-perjumpaa dari yang berbeda, dan hal itu sudah biasa. “Sejarah masa awal peradaban sudah terjadi perkawainan dari berbagi kerajaan. Tidak ada masalah. Jadi zaman dulu bukan saja toleransi tapi sudah terjadi pembaruan. Dan itu tidak menimbulkan konflik karena di masyrakat kita sudah punya nilai-nilai luhur, nilai-nilai kearifan lokal. Maka sekarang disebutkan ada mdoerasi beragama dari dulu sudah dipraktekkan,” katanya.

Munculnya marginalisasi, jelas Engkus, tidak terlepas dari adanya tigma yang diciptakan di masa kolonial Hindia Belanda. Agama leluhur dianggap penganut ajaran animisme, dan  bahkan penganutnya dianggap masih kanibal. “Makanya terjadi kegamangan dari para pejabat untuk mengakui penganut agama-agama leluhur, karena bayangannya primitif, menyembah batu dan sebagainya. Maka kami selalu dipojokkan, dipinggirkan, menjadi sasaran dakwah, sasaran misionaris karena dianggap belum beragama, padahal tidak seperti itu.”

Menurut Engkus, tindakan yang dibutuhkan sekarang ini diantaranya adalah upaya terus-menerus untuk memperluas dan meningkatkan konsolidasi bangsa (semua komponen bangsa), menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif, revitalisasi dan penerapan nilai-nilai kearifan lokal bangsa, serta pelurusan sejarah bangsa.

 

Pewarta: Markus Saragih