Memutus Budaya Kekerasan Lewat Pendidikan Perdamaian

JAKARTA,PGI.OR.ID-Kaprodi Magister PAK UKI Pdt. Dr. Djoys A. Rantung, MTh mengatakan pendidikan perdamaian menjadi sangat penting di era sekarang ini karena kekerasan telah menjadi ethos, atau bisa dikatakan kekerasan sudah membudaya. Di mana masih ada sistim denominasi, maka di sana akan ada kekerasan yang dipraktikkan oleh kekuatan dominan dalam masyarakat.

“Tetapi sebaliknya, akan muncul resistensi di pihak yang didominasi dan kadang resistensinya juga mengambil bentuk dengan kekerasan,” tandas Pdt. Djoys dalam webinar bertajuk PAK Dalam Masyarakat Majemuk Hubungan Intereligius Menghadirkan Perdamaian, yang dilaksanakan oleh Program Studi Magister PAK UKI, Jakarta, pada Sabtu (30/1).

Menurutnya, suatu ethos yang telah membudaya hanya dapat diatasi dengan counter culture (budaya tanding). Ethos/budaya kekerasan tak bisa diselesaikan dengan kekerasan juga. Hal ini hanya kan menciptakan lingkaran kekerasan juga. Maka cara yang efektif untuk menghentikannya adalah melalui pendidikan perdamaian.

“Menjadi pertanyaan mengapakah kekerasan yang merupakan sisi yang bertentangan dengan damai selalu ada di sisi kita? Kemungkinan persoalannya, dalam mendapatkan damai bagi dirinya, sering orang mengorbankan damai orang lain. Padahal damai yang sejati ada dalam kebersamaan,” tandasnya.

Pendidikan perdamaian, lanjut Pdt. Djoys, adalah tugas semua pihak, seperti pemerintah, masyarakat, komunitas agama, dan juga gereja. Tugas pendidikan perdamaian adalah bagian integral dari tugas Pendidikan Agama Kristen (PAK), dan pendamaian menjadi isu tetap PAK kapanpun dan dimanapun.

Sementara itu, Kordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Anshori dalam paparannya mengungkapkan, pendidikan perdamaian tidak bisa hanya melalui mimbar, namun harus dikonkritkan, karena hasil survei menunjukkan bahwa pemikiran radikal dan anti toleran semakin tinggi.

Aan mengutip survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation pada 2016, yang diantaranya menunjukkan bahwa 59,9% Muslim memiliki kelompok yang dibenci (nonmuslim, kelompok Tionghoa, komunis, LGBT, dan lainnya). Dari 59,9% itu, sebanyak 92,2% tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Bahkan, sebanyak 82,4%nya bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

“Sebab itu, yang kita perlukan adalah kerja-kerja perdamaian dan toleransi. Kita tidak bisa mengutuk kegelapan, tetapi lebih baik menyalakan lilin untuk menerangi kegelapan. Yang penting juga harus ada keteladanan,” tandasnya.

Pembicara lain, Juan Nalle, STh, pada kesempatan itu melihat, bahwa perdamaian harus diusahakan terlebih di Indonesia yang majemuk. Dan, orang yang memiliki sikap religiusitas tinggi akan melihat kemajemukan dan pluralitas sebagai variasi warna yang indah. Sebab itu, religiusitas adalah sesuatu yang penting untuk diupayakan. Kebalikan dari religiusitas adalah sikap pembangkangan, tidak berlaku adil, melakukan pembakaran rumah ibadah, tidak mementingkan persatuan, dan mengambil hak-hak masyarakat untuk kepentingan diri sendiri.

Menyikapi situasi ini, menurut Juan, masyarakat Indonesia dengan pemikiran yang jernih harus mampu memberikan solusi. Demikian juga lembaga-lembaga keagamaan harus bersatu menyatakan sikap yang sama, yang mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa untuk menghindari perpecahan, dan sebaliknya mewujudkan perdamaian.

 

Pewarta: Markus Saragih