Mempertanggungjawabkan Kemerdekaan

Proklamasi
“Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno—Hatta”

Demikianlah naskah proklamasi yang dibacakan Bung Karno di depan rumahnya, Jl. Pegangsaan Timur, no. 56. Naskahnya sendiri cukup pendek. Hanya terdiri atas dua kalimat. Namun, itulah hakikat kemerdekaan, yakni ketika orang menyatakan bahwa dia adalah manusia merdeka. Kemerdekaan terjadi tatkala manusia mampu menyatakan kemerdekaannya.

Hanya persoalannya, omongan sering berbeda dengan realitas. Tak sedikit orang menyatakan dirinya merdeka, tetapi sesungguhnya dia belum merdeka. Merdeka adalah sikap hidup. Mari kita belajar sikap hidup merdeka dari dua tokoh, laki-laki dan perempuan, yang terekam dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Yusuf
Pada hemat saya, Yusuf sosok manusia merdeka. Dia telah bebas dari beban masa lampaunya. Apa yang dialaminya pastilah sangat menyakitkan hati. Mungkin kita maklum, jika Yusuf merasa perlu memberikan sedikit pelajaran kepada saudara-saudaranya.
Mari kita bayangkan kondisi Yusuf! Dalam usia 17 tahun dia dijual oleh saudara-saudaranya sebagai budak. Dan motivasi di balik tindakan itu ialah rasa iri. Mereka tidak mungkin protes kepada Yakub yang telah pilih kasih. Dan Yusuflah yang menjadi tumbal. Yusuf tidak diculik oleh orang asing untuk dijadikan budak. Tetapi, saudara-saudaranyalah yang menjadikannya budak belian.
Menjadi budak berarti hidup orang tersebut berada di tangan majikannya. Sang majikan tidak akan dituntut atas apa yang dilakukan terhadap budaknya. Dia boleh memperlakukan budak tersebut sekehendak hatinya.

Itu jugalah yang dialami Yusuf. Potifar begitu mudahnya menjebloskannya ke dalam penjara. Tak perlu proses hukum karena majikan selalu benar dan budak selalu salah.

Lalu bagaimana Yusuf bersikap terhadap Saudara-saudaranya? Yusuf melihat masa lampau dari perspektif masa kini. Dia percaya apa yang terjadi pada dirinya merupakan cara Tuhan untuk menjadikan dirinya berkat bagi orang lain.

Yusuf tidak merasa perlu memberi pelajaran kepada Saudara-saudaranya karena dia menyadari bahwa Allah mengizinkan semua itu terjadi untuk kebaikan dirinya. Tidak saja dirinya, tetapi negara di mana dia tinggal, dalam hal ini Mesir, juga negara-negara tetangga. Bahkan keluarga Yakub pun bisa membeli gandum di Mesir.

Perhatikan: ”Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.” (Kej. 45:4-5)

Yusuf merupakan sosok manusia merdeka. Dia telah merdeka dari beban masa lampaunya. Bahkan dia mengatakan kepada saudara-saudaranya untuk tidak bersusah hati dan menyesali diri.

Bisa jadi dalam benak saudara-saudaranya terlintas adanya kemungkinan balas dendam. Bukankah sekarang dia telah menjadi orang kedua dalam pemerintahan Mesir?
Yusuf adalah manusia merdeka dan dia mengajak saudara-saudaranya untuk melihat masa lampau dari perspektif masa kini. Yusuf telah merdeka dari beban masa lampaunya. Dan karena itulah dia mampu membebaskan saudara-saudaranya pula.
Hanya orang merdekalah yang mampu membebaskan orang lain. Bagaimana mungkin orang membebaskan orang lain, jika dia sendiri belum merasa merdeka.
Seandainya Yusuf belum merasa merdeka, pastilah balas dendam menjadi agenda pribadinya. Dan apa yang dilakukannya pasti akan didukung, atau setidaknya orang lain bisa memahami apa yang dilakukannya.
Namun, itu tidak dilakukan Yusuf. Yusuf belajar dari masa lampau. Waktulah yang mendewasakan dirinya. Dia merasa merdeka. Dan karena itulah dia mampu membebaskan saudara-saudaranya dari beban masa lampaunya.
Saudara-saudaranya pastilah juga merasakan kemerdekaan itu. Kemerdekaan sejati bukanlah kemerdekaan dari rasa lapar saja, tetapi juga kemerdekaan dari kesalahan yang pernah diperbuat. Mereka masih membawa beban masa lampau. Dan beban masa lampau yang terberat ialah beban kesalahan masa lampau. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan selama 13 tahun.
Dalam Doa Bapa Kami, Yesus tidak hanya berbicara soal kebutuhan makanan, tetapi juga kebutuhan pengampunan. Yesus tidak hanya bicara soal kebutuhan jasmani, namun juga kebutuhan rohani.
Dalam pemahaman Yahudi, kesalahan merupakan suatu bentuk utang kepada Allah. Tak heran dalam Alkitab NIV dinyatakan Forgive us our debts. Dan sebelum dihapuskan kesalahan atau utang masa lampaunya setiap orang pastilah masih merasakan beban tadi.
Sekali lagi, sebagai manusia merdeka, Yusuf telah memerdekakan orang lain. Kenyataan memang demikian: hanya orang merdekalah yang sanggup memerdekakan orang lain.

Perempuan Kanaan
Perempuan Kanaan juga sosok manusia merdeka. Kisah dimulai dengan permohonannya kepada Yesus, ” Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita” (Mat. 15:22)
Perempuan itu merupakan sosok manusia merdeka karena dia memperjuangkan kemerdekaan anak perempuannya. Dia pasti punya beban. Tetapi, dia juga meyakini bahwa beban yang dikandung anaknya lebih besar lagi. Karena itulah, dia berusaha memperjuangkan kemerdekaan anak perempuannya itu
Perempuan itu memang gambaran seorang pejuang. Dia gigih berseru, bahkan makin nyaring berteriak ketika Yesus tidak menggubrisnya. Tak hanya itu, dia malah melakukan perdebatan intelektual. Ketika Yesus berkata, ”Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”; perempuan itu dengan tangkas berargumen: ”Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya” (Lih. Mat. 15:26-27).
Demi kemerdekaan anaknya, perempuan itu berpikir keras soal jawab yang harus diberikannya. Dia tidak mutung ketika Yesus menghinanya. Bahkan dia merasa penghinaan itu merupakan jalan masuk baginya untuk mendapatkan belas kasihan Sang Anak Daud.
Yang penting anaknya sembuh. Lagi pula, baik roti besar maupun remah-remah roti tidak berbeda kualitas. Sama-sama roti bukan? Itulah yang diyakini perempuan Kanaan itu.
Mengapa perempuan itu begitu gigih berjuang? Jawabnya satu: dia mengasihi anaknya. Dia ingin anaknya merdeka dari penyakitnya. Dia sedang memperjuangkan kemerdekaan orang lain. Dan untuk itu dia tidak pernah mundur.

Kita? 
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memperjuangkan kemerdekaan orang lain? Atau, jangan-jangan kita belum merdeka?
Berkaitan dengan hubungan antarmanusia, mungkin saja kita masih merasa sakit hati terhadap orang lain. Kita bisa meneladani Yusuf yang merdeka dari beban masa lampaunya sehingga mampu memerdekakan orang lain.
Lagi pula, setiap Kristen merupakan sosok manusia merdeka karena Allah telah membebaskannya dari belenggu dosa. Setiap Kristen merupakan sosok manusia merdeka.
Oleh karena itu, menjadi bagian kitalah untuk mempertanggungjawabkan kemerdekaan itu dengan memerdekakan orang lain, seperti halnya perempuan Kanaan tadi. Inilah perjuangan kita sekarang!
Jika kita perhatikan kalimat kedua teks proklamasi—Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya—tampaklah bahwa hal ini pun masih jadi soal, meski sudah 69 tahun merdeka. Penjajahan hanya berubah rupa, dan masih banyak orang yang masih belum merdeka. Dan manusia merdeka dipanggil untuk memerdekakan manusia lainnya.
Merdeka!

Penulis: Pdt. Ir. Yoel M. Indrasmoro, S.Th 
Sumber: alkitab.or.id

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*