Membela Kebebasan Beragama

JAKARTA.PGI.OR.ID. Indonesia, bagaimanapun juga, harus mengambil langkah-langkah sekularisasi. Artinya, kembalikanlah persoalan-persoalan agama ke dalam wilayah privat, individu. Di wilayah publik, jika pun mau, kita hanya mengambil esensinya. Demikian pandangan Lies Macoes-Natsir, seorang  aktivis perempuan.

Lutfhi Assyaukanie Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) melihat, agama seharusnya hanya mengurusi hal-hal yang bersifat personal, seperti salat, puasa, dan sebagainya. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan negara, pendidikan, dan aturan-aturan di masyarakat, sebaiknya tidak dicampuri oleh agama. Begitu agama ikut campur, di situlah konflik bermula, ketegangan di antara masyarakat muncul.

Sementara itu, M. Amin Abdullah, Rektor UIN Kalijaga berkomentar, ketika agama dimanipulasi untuk kepentingan publik demi memperoleh atau merebut kekuasaan, muncullah dogmatisme dan menimbulkan clash atau religious adherent yang dapat berujung violence. Karenanya, untuk menjaga stabilitas warga, organisasi-organisasi keagamaan atau kefatwaan tetap diberi tempat, dengan disertai pembekalan bagi tokoh-tokohnya lewat agenda peningkatan kualitas pendidikan.

Martin Lukito Sinaga, pendeta yang aktif dalam gerakan dialog antariman berpendapat, di alam sekular, sebenarnya agama tidak kalah, cuma lebih menemukan identitasnya sebagai pemberi makna. Agama mendifinisikan dirinya sebagai civil society, bukan political society. Dalam negara sekular, liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama, tanpa harus memutlakkan pikiran-pikiran rasional kita. Komitmen moral dan sosial harus dimiliki oleh orang yang bersikap liberal dalam beragama. Dan Pancasila sebagai prinsip yang inklusif dan non-diskriminatif menjadi obsesinya. Di situlah alamat jika toleransi di Indonesia mau lebih afirmatif dan protektif terhadap minoritas.

Keseluruhan komentar tersebut terdapat dalam buku Membela Kebebasan Beragama karya Budhy Munawar –Rachman yang dilounching pada Jumat (8/5), bersamaan dengan kegiatan Sekolah Agama di Sekretariat Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jl. Cempaka Putih Barat XXI No. 34, Jakarta Pusat. Sekaligus diadakan bedah buku dengan nara sumber Budhy Munawar –Rachman, dan Pendeta Albertus Patty.

Buku Membela Kebebasan Beragama berisi wawancara mendalam dengan 70 cendekiawan Muslim maupun antaragama, termasuk ahli sosial, filsafat dan teologi yang mewacanakan pentingnya mendiskursuskan kembali ide demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, sekuralisme, liberalisme dan pluralisme sebagai ide yang akan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Ada juga komentar Masdar Farid Mas’udi, Ketua Tanfidziyah PBNU dan Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Menurutnya, negara harus netral terhadap semua agama dan keyakinan yang dianut oleh warganya. Inilah yang disebut dengan sekularisme, suatu paham yang memisahkan negara dari keterikatan subyektif dengan salah satu agama atau keyakinan tertentu. Hanya dengan paham inilah maka negara bisa mengayomi dan melayani kepentingan segenap warga negaranya secara adil, tanpa pilih kasih atau diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan yang dianut oleh warganya.

Buku ini tampaknya layak dijadikan sebagai referensi bagi para aktivis dan pejuang kebebasan beragama dan HAM di Idonesia.