HELSINKI,PGI.OR.ID-World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja-gereja se-Dunia(DGD) dalam Sidang Rayanya yang ke-8 di Harare pada 1998 membentuk satu Komisi Khusus yang saat itu dikenal dengan nama Special Commission on Orthodox Participation in WCC atau Komisi Khusus untuk Partisipasi Gereja Orthodox dalam DGD.
Komisi ini dibentuk sebagai respons atas keprihatinan yang disampaikan oleh gereja-gereja Orthodox yang menjadi anggota sejak awal berdirinya DGD. Dalam perjalanan DGD, Gereja Orthodox merasa bahwa ruang partisipasi mereka semakin sempit, antara lain berhubungan dengan proses pengambilan keputusan yang diterapkan oleh WCC, yakni melalui pemungutan suara (sistim parlementer). Jumlah gereja berlatarbelakang Orthodox tidak sebanyak jumlah gereja berlatarbelakang Reformed misalnya, walaupun jumlah anggota mereka lebih banyak. “Kalah suara” dalam pengambilan keputusan tidak jarang menyisakan luka di hati mereka. Pimpinan DGD peka terhadap suara ketidakpuasan tersebut demi memelihara keutuhan persekutuan.
Komisi tersebut di atas mendapat tugas untuk mempelajari dan menganalisa berbagai masalah menyangkut partisipasi Gereja Orthodox dalam kehidupan DGD dan menyampaikan usul kepada Komisi Sentral WCC mengenai perubahan yang dibutuhkan meresponi keprihatinan Gereja Orthodox, baik menyangkut struktur maupun gaya kerja DGD. Salah satu respons tersebut adalah penerapan Metode Konsensus dalam proses pengambilan keputusan di WCC. Menjelang Sidang Raya ke-9 WCC 2006 di Porto Allegre, Brasilia, Komisi ini menyampaikan laporannya yang membuat Komisi Sentral DGD 2005 mengambil keputusan untuk menerapkan metode Konsensus dalam proses pengambilan keputusan, sebagai alternatif terhadap sistim parlementer. Dengan demikian, sejak Sidang Raya DGD di Porto Allegro 2006, Metode Konsensus mulai diterapkan.
Perubahan dalam proses pengambilan keputusan ini memperlihatkan betapa pentingnya membangun bahkan merawat “persekutuan” sebagai bagian dari identitas gerakan oikoumenis yang anggota-anggotanya berasal dari pelbagai denominasi dengan keanekaragaman tradisi gereja dan pandangan teologis. Semua anggota mengaku sebagai bagian dari tubuh Kristus yang satu dan merasa terpanggil untuk mewujudnyatakan doa Tuhan Yesus, “…agar semuanya menjadi satu…” (Yoh. 17:23) melalui kesatuan dan kesaksiannya di tengah dunia yang merupakan rumah tempat kediaman seluruh ciptaan Allah, oikoumene. Namun, tidak semuanya berjalan mulus, kadang ada kerikil muncul di perjalanan.
Pergumulan tersebut yang awalnya diungkapkan oleh Gereja Orthodox membawa gereja-gereja anggota DGD untuk merenungkan bersama makna identitasnya sebagai sebuah “persekutuan,”dan bagaimana mencerminkan semangat persekutuan tersebut dalam gaya hidup, termasuk proses pengambilan keputusan dalam setiap pertemuan DGD. Dalam dokumen DGD, “Guidelines for the Conduct of Meetings” (tahun 2014) yang menjelaskan petunjuk menyelenggarakan pertemuan-pertemuan DGD dikemukakan keyakinan bersama bahwa: “Dewan Gereja Sedunia dipanggil untuk menyaksikan kesatuannya di tengah dunia yang ditandai oleh ketegangan-ketegangan, berbagai permusuhan, konflik, perang dan rumor tentang perang (band. Mat. 24:6).
Dalam situasi seperti ini DGD dapat bersaksi bukan hanya lewat program-program dan resolusi-resolusinya, tetapi juga dalam cara melakukan kegiatannya. Ia dapat membuat aturan-aturan dan prosedur-prosedurnya sedemikian rupa sehingga mencerminkan “iman yang bekerja oleh kasih.” (Gal.5:6) Ini berarti bahwa gereja-gereja anggota DGD dan para wakil dari gereja-gereja tersebut akan saling menghargai dan saling membangun dalam kasih. (band. I Kor. 13:1-6; 14:12) ”Dengan demikian, metode Konsensus ini dibangun di atas landasan teologis tentang makna “persekutuan.” Metode parlementer, masih tetap diterapkan terutama dalam hal-hal menyangkut, misalnya pemilihan kepemimpinan DGD atau ketika membahas masalah keuangan. Namun ketika pemungutan suara terpaksa harus dilakukan, mereka yang menyatakan tidak setuju dengan sebuah keputusan mendapat kesempatan untuk didengar, untuk menyampaikan pandangannya.
Sejak Sidang Raya WCC di Porto Allegre 2006, nama Komisi Khusus ini berubah menjadi “Permanent Committee on Consensus and Collaboration” (PCCC). Hal ini menunjukkan bahwa tugas merawat persekutuan menjadi tugas yang tidak ada hentinya, perlu perhatian yang permanen atau terus-menerus. Sidang Sentral Komite yang pertama setelah Sidang Raya DGD ke-10 di Busan, Korea Selatan memilih anggota baru dari Komisi ini yang terdiri dari 14 orang dari antara anggota Komite Sentral, 7 orang mewakili keluarga Gereja Orthodox dan 7 orang mewakili denominasi lainnya seperti Methodist, Anglikan, Reformed atau Presbyterian. Pdt. Dr. Henriette Hutabarat Lebang terpilih menjadi anggota dari Komisi ini, yang baru saja mengadakan pertemuan pertama pada 2-7 Oktober 2015 di Conference Center Sofia di Helsinki, Finlandia. Selain memantau pelaksanaan metode “Konsensus”, Komisi ini juga membicarakan pokok-pokok menyangkut antara lain: common prayer atau doa bersama lintas denominasi dan penerimaaan keanggotaan dalam DGD.
PGI sebagai “Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia” dapat belajar dari pengalaman ini. Betapa pentingnya terus menerus membangun dan merawat “persekutuan” dengan mengembangkan gaya hidup yang mencerminkan semangat “persekutuan”sebagai tubuh Kristus, di mana setiap anggota saling menghargai, saling berbagi dan saling membangun serta bersedia untuk belajar satu dari yang lain, sehingga semakin berakar di dalam Kristus dan bertumbuh serta berbuah bagi kemuliaan namaNya.
Semangat persekutuan inilah yang menjadi kekuatan dan daya dorong bagi kita untuk bersama-sama dengan semua mengupayakan terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera. (Henriette HutabaratLebang)