JAKARTA,PGI.OR.ID-Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) melaksanakan kegiatan Refleksi Awal Tahun 2019 yang mengulas sejumlah isu seperti kebhinekaan, Pancasila, HAM di Papua, bonus demografi, dan pembangunan infrastruktur, di Grha Oikoumene, Jakarta, Kamis (24/1).
Sejumlah tokoh menjadi nara sumber dalam kegiatan ini, yaitu Diaz Hendropriyono, Prof. Komaruddin Hidayat, Ali Maskyur Musa, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, Prof.Ir. Armein ZR Langi, M.Sc., Ph.D, dan Dr. Ir. William Sabandar.
Pada kesempatan itu, Prof. Dr. Komarudin Hidayat menegaskan, bahwa Pancasila bukan sekedar ideologi pemersatu bangsa, tetapi juga merupakan blueprint. atau cetak biru dan panduan nilai bagi perjalanan bangsa ini yang mestinya menjadi patokan dan tolok ukur (benchmark) bagi siapapun yang menduduki jabatan publik sejak dari Presiden sampai Camat.
Apakah seorang pejabat publik berhasil atau gagal mengemban tugasnya, nilai-nilai Pancasila itu mestinya bisa dijadikan instrumen penilaiannya. Lalu, sebagai negara yang menerapkan sistim demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip hukum, setiap pribadi adalah sama kedudukannya di depan hukum, jelas cendekiawan Muslim yang juga mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, ini.
Sementara itu, Ali Maskyur Musa menyampaikan pemikirannya, Indonesia sebagai negara-bangsa yang lahir atas dasar kesepakatan dasar (daarul mitsaq), Indonesia harus terus menerus di perkokoh nasionalisme. Nasionalisme yang kuat akan bisa melahirkan Negara Indonesia yang stabil dan kokoh dalam menghadapi rongrongan dalam negeri dan serangan dari luar, sehingga umat beragama bisa beribadah menurut aqidah-keyakinannya secara khusuk.
Sebaliknya, lanjut Ali, nilai-nilai dan semangat keagamaan yang kuat dan taat, akan mampu memberi sumbangan yang besar bagi kokohnya Nasionalisme Indonesia. Benturan antra nasionalisme dan agama bisa di lakukan dengan, pertama, menuntaskan Indonesia sebagai Negara Pancasila, bukan negara agama.
Kedua, Pancasila harus bisa menjadi ideologi kerja dengan parameter yang terukur dalam melahirkan keadilan sosial. Ketiga, pemimpin di semua tingkatan harus bisa bekerja sama dan hubungan yang harmonis dengan tokoh agama. Keempat, aparat keamanan negara harus mengutamakan pendekatan dialogis dan preventif dari pada kekerasan. Kelima, tokoh agama harus melakukan pembinaan kepada sebagian masyarakat yang salah paham dalam beragama, bahkan bagi masyarakat yang memiliki paham yang salah dalam beragama sehingga bisa kembali memeluk dan menjalankan agama secara benar.
Menyoroti isu Papua, dalam diskusi tersebut Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menegaskan, persoalan HAM di Tanah Papua tidak akan pernah selesai, HAM di Tanah Papua, Itu merupakan never ending story, tegas mantan Menteri LHK ini.
Menurut Balthasar, seharusnya biarkan dan berikanlah anggaran sebesar-besarnya bagi masyarakat Papua untuk pendidikan. Agar terjadi perubahan yang baik, masyarakat terdidik dan mampu mengubah persoalan-persoalan yang ada menjadi peluang yang baik.Tanah Papua yang sudah 50 tahun berada di Indonesia, ternyata tidak mampu menjadi manusia cerdas. Sejak 1961, Papua menjadi bagian dari Indonesia, Papua tidak mengalami perubahan berarti, ujarnya.
Menurutnya, ada tiga pihak yang paling bertanggung jawab untuk pembenahan SDM dan masyarakat Papua, yaitu Pemerintah Pusat, Masyarakat Papua di Pemerintah Daerah dan Masyarakat Papua dan Gereja.
Sementara itu Prof Armein Langi, menyoroti soal Sumber Daya Manusia Indonesia, khususnya terkait dengan bonus demograsi pada 2030. Dikatakan Prof Armein, jumlah penduduk yang besar seharusnya menjadi potensi yang besar untuk mempercepat kemajuan menuju kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Oleh karenanya, manusia Indonesia harus terdidik dan terlatih menghadapi berbagai problema kehidupan. Tidak cukup hanya terdidik dan terlatih, Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia mesti juga memiliki sense atau pakai hati dalam melakukan pembangunan itu.
Pewarta: Markus Saragih
COPYRIGHT PGI 2019
Be the first to comment