Media Sosial Menjadi Ruang Intoleransi Agama di Masa Pandemi

Secara sosiologi media sosial merupakan ruang komunikasi publik antar kelompok sosial. menurut Mandibergh media sosial adalah media yang mewadahi kerja sama di antara pengguna yang menghasilkan konten (user generated content) (Mandibergh, 2012). Menurut Fuchs menggunakan istilah Durkheim dan Weber social fact (fakta sosial) & interkasi/tindakan, pada kenyataanya media dan perangkat lunak (software), platform merupakan sosial dalam makna keduanya produk dari proses sosial. Interaksi yang terjadi memungkinkan terciptanya ruang sosial yang baru dalam dunia virtual. Contohnya facebook, whatsapp, path, instagram, youtube dll. Perangkat media sosial yang tampil dengan fitur video visual membuat seluruh masyarakat di dunia dapat saling berinteraksi satu sama lain tanpa dibatasi ruang dan waktu. memang pada masa pandemi media sosial semakin popular dalam mulai dari lembaga agama, pendidikan, pemerintah.  Dalam konteks Indonesia, media sosial telah menjadi budaya pop, sebab dengan mudah diakses seluruh elemen masyarakat sebagai ruang interaksi.

Misalkan, dialog yang diselenggarakan oleh PGI dengan agama lain, menggambarkan komunikasi yang harmonis dalam bingkaian kebhinekaan di Indonesia. Begitupun ruang-ruang sekolah dan perkuliahan dilaksanakan secara daring lewat zoom meeting, salah satu aplikasi yang lahir disaat pandemi. Hal ini terlihat baik sejak masa pandemi lewat aplikasi zoom ditunjang dengan regulasi kampus merdeka pada siswa dan mahasiswa memiliki kemerdekaan atas ruang sosial yang terbatas. Dapat dilihat berdasarkan regulasi mentri pendidikan nadiem makarim terkait kampus merdeka para mahasiswa diberi kebebasan memilih kampus-kampus di Indonesia untuk menawarkan mata kuliah sesuai kurikulum di kampus lain, yang sesuai dengan kampus tempat mereka mengabdi. Dengan begini dapat dilihat bahwa para mahasiswa di daerah lain memiliki kesempatan untuk belajar  dan berinteraksi dari teman mereka di kampus lain misalnya wilayah pulau Jawa, Sumatera, dll.

Media Sosial Menjadi Ruang Intoleransi

Media sosial berdasarkan pernyataan diatas memiliki nilai positif, namun demikian, dapat pula menjadi ruang intoleransi, hoax dan ujaran kebencian. Melalui situs kominfo.go.id saat ini terdapat 800.000 situs penyebar hoax, ujaran kebencian yang meresahkan dan meruntuhkan kepercayaan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat (Yuliani, 2017). Persoalan yang dihadapi masyarakat dapat berdampak negatif dalam kehidupan nyata. Banyak persoalan-persoalan dalam ruang digital berdampak pada perseteruan sampai kepada jalur hukum. Fenomena yang nyata saat ini yang melibatkan kaum Kristiani dan Islam yang terjadi dalam media youtube, beredar video diskusi yang notaben saling menjatuhkan satu sama lain.

Penulis melihat bahwa media platform youtube sejak pandemic covid-19 semakin krusial, karena berakibat pada Intoleransi akibat debat kedua pemeluk Islam-Kristen. Youtube yang sejak 2005 Media sharing ini iluncurkan pada Juni 2005, sebagai salah satu layanan online yang  didesain bagi pengguna yang tidak memiliki pengetahuan teknis untuk mengunggah dan berbagi  video clips dengan pengguna lain. Youtube dapat bertahan karena rekomendasi video melalui
daftar link email untuk berbagi link ke konten Youtube, komentar dari  pengguna lain, dan video player yang telah tertanam (embedded) ke dalam website-nya (Gannes,  (Pala, 2014).  Hal ini perlu menjadi perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia agar keharmonisan antar agama terjalin sesuai dengan ideology Negara yaitu pancasila.

Menteri agama Yaqut Cholil Qoumas dalam argumennya mengatakan “jadi siapapun pelakunya dan dari agama manapun, semua penghina simbol agama harus diproses hukum”. Penulis melihat tanggapan dari menteri agama menunjukan bahwa hukum selalu bertindak adil, demi menjaga keberlangsungan seluruh umat beragama. Aksi ujaran kebencian dalam  media sosial yang sering terjadi sangat berbahaya, sebab telah berdampak pada kehidupan nyata. Keresahan masyarakat berujung pada pelaporan pada pihak kepolisian, menunjukan lemahnya media sosial.

Menurut Cahyono media sosial sangat rentan terhadap pengaruh buruk orang lain seperti di kehidupan sehari-hari, jika kita tidak menyeleksi orang- orang yang berada dalam lingkaran sosial kita, maka kita akan lebih rentan terhadap pengaruh buruk. Masalah privasi Dengan media sosial, apapun yang kita unggah bisa dengan mudah dilihat oleh orang lain. Hal ini tentu saja dapat membocorkan masalah-masalah pribadi kita. Oleh karena itu, sebaiknya tidak mengunggah hal-hal yang bersifat privasi ke dalam media sosial.  Menimbulkan konflik Dengan media sosial siapapun bebas mengeluarkan pendapat, opini , ide gagasan dan yang lainnya, akan tetapi kebebasan yang berlebihan tanpa ada kontrol sering menimbulkan potensi konflik yang akhirnya berujung pada sebuah perpecahan (Cahyono, 2016). Berikut data digital civility Microsoft, terkait ujaran kebencian di media sosial terhadap agama sebesar 41%.

Media sosial sendiri saat ini sangat mudah dikonsumsi oleh seluruh elemen masyarakat, kepelbagaian masyarakat Indonesia menunjukan bahwa masyarakat digital (digital human), perlu berhati-hati dan bijaksana menggunakan media sosial sebagai platform yang membangun, integrasi suku, ras dan agama, bukan sebaliknya menjadi ruang untuk mencari kebenaran sepihak, serta kepentingan politik. Indonesia sendiri  menjadi Negara yang dalam catatan sejarah mengalami perpecahan antar agama misalnya di Maluku. Namun beruntungnya perpecahan itu dapat terintegrasi kembali dalam ruang ikatan persaudaraan Pela. Dengan demikian keagamaan di Indonesia jangan terjerumus dalam romantisme budaya dunia luar, dan perlu meningkatkan kepekaan terhadap masalah krusial dalam sosial, budaya, politik, ekonomi di Negara tercinta Indonesia.

Penutup

Penulisan ini mengharapkan  kedewasaan dalam bermedia sosial, media sosial yang merupakan bagian dari perubahan sosial, masyarakat tradisional menuju modernisasi sebaiknya bukan untuk menghancurkan tatanan sosial di Negara kesatuan republik Indonesia. Kepelbagaian ras, suku, budaya dan agama menjadi kekuatan masyarakat untuk menjadi kuat dalam menciptakan manusia sosial yang cerdas dalam berinteraksi satu sama lain.

 

Penulis: Revaldo Pravasta Julian MB Salakory