JAKARTA,PGI.OR.ID – Hilangnya tanah-tanah adat di wilayah Papua dan Papua Barat akibat ekspansi industri perkebunan, khususnya untuk industri sawit, telah mengakibatkan rusaknya alam, hilangnya sumber hidup masyarakat lokal Papua, gesekan sosial dan berbagai persoalan kesehatan yang dihadapi masyarkat Papua. Hal ini mendorong perwakilan dari 6 suku yang berasal dari Sorong, Boven Digul, Merauke dan Manokwari datang ke PGI dalam rangka dialog dan kampanye pemulihan hak orang asli Papua serta perlindungan hutan adat Papua. Perwakilan suku-suku ini datang ke Grha Oikoumene, Jakarta, didampingi sejumlah organisasi seperti Yayasan Pusaka, DPD Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI ) Papua Barat, organisasi kepemudaan gereja dan perwakilan dari beberapa lembaga keagamaan, pada pada Senin (12/11), untuk meminta dukungan PGI terhadap perjuangan masyarakat adat Papua.
Franky Samperante dari Yayasan Pusaka menjelaskan kepada PGI bahwa tokoh-tokoh agama memiliki posisi strategis untuk menyuarakan pergumulan di Papua. Karena itu, mereka mengharapkan dukungan dari lembaga-lembaga keagamaan terhadap perjuangan masyarakat adat Papua. Menurut Franky, selama ini ada imajinasi yang disampaikan kepada masyarakat Papua mengenai prubahan sosial melalui pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan dari pinggiran Papua atau dari pedalaman Papua; daerah pedalaman Papua adalah daerah yang memiliki kekayaan alam menurut Franky. Ini kemudian dijadikan argumen untuk pengelolaan hutan-hutan di Papua dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan. Tujuannya, mendorong ekonomi masyarakat lokal, terjadi penyerapan tenaga kerja dan efek ekonomi lainnya. Namun, bagi Franky, apa yang terjadi saat ini adalah ribuan hutan adat di Papua berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, jagung, tebu, kedelai, kakao dan karet.
Kenyataan Ini berlangsung bersamaan dengan berkembangnya korupsi dalam perizinan, masalah persyaratan legal seperti AMDAL, dan memanfaatkan oknum-oknum tertentu di dalam masyarakat untuk kepentingan pemodal. Akibatnya, terjadinya kerusakan lingkungan, menurunnya pendapatan dan kebutuhan dasar masyarakat, rusaknya budaya lokal, ekonomi masyarakat lokal tidak berkembang, hilangnya kemandirian masyarakat dan berkembangnya kekerasan.
“Kami ingin surat izin dicabut karena hutan adalah ibu kami. Kalau hutan kami digusur habis, kami mau hidup di mana”, kata Veronika yang adalah salah satu pemilik tanah adat di distrik Kebar, Kabupaten Tambrau, Papua Barat.
Apa yang diutarakan Veronika merupakan potret yang dihadapi oleh masyarakat adat di Papua dan Papua Barat yang datang menyampaikan aspirasinya ke PGI. Karena itu, pertama, utusan dari sejumlah masyarakat adat meminta agar pemerintah mencabut izin penguasaan lahan yang telah mengubah hutan-hutan adat menjadi area perkebunan. Kedua, mengembalikan hak masyarakat atas hutan-hutan yang diyakini sebagai wilayah adat mereka.
Pada kesempatan ini, PGI melalui Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian, Pdt. Hendrek Lokra, menyampaikan bahwa PGI telah menerima banyak masukan – termasuk dari KPKC GKI di Tanah Papua – mengenai pegumulan di Papua, khususnya pembukaan perkebunan kelapa sawit dan hilangnya tanah-tanah adat. Hal ini juga yang membuat PGI, dalam persidangan MPH PGI yang berlangsung di Papua Barat pada 17-18 Oktober 2018, memutuskan membentuk Biro Papua yang akan bekerja secara khusus merespons sejumlah isu di Papua. Selain itu, PGI akan bekerja bersama berbagai elemen masyarakat untuk secara bertahap merespons persoalan hutan-hutan adat di Papua.
Pewarta: Beril Huliselan
Editor: Beril Huliselan
COPYRIGHT © PGI 2018
Be the first to comment