JAKARTA,PGI.OR.ID-Sesungguhnya Islam dan kebangsaan di Indonesia sudah selesai. Islam dan Pancasila saling menguatkan dan tidak berbenturan. Kalau ada benturan, pasti ada yang salah, entah tafsir dalam Islamnya atau tafsir Kebangsaannya.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin menegaskan hal tersebut dalam dialog kebangsaan yang diselenggarakan oleh Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika (FNBTI) DPC Kota Bekasi, di GOR Yayasan Fisabilillah, Bekasi, Sabtu (7/10).
Menurut Ma’ruf Amin, mispersepsi ini yang harus diselesaikan. “Bagi umat Islam sudah final. Indonesia bukan negara Islam, tapi juga bukan negara kafir; bukan negara perang tapi negara kesepakatan. Itu sebabnya Islam di Indonesia telah menyepakati untuk membangun paradigma persaudaraan dengan tiga ukuwah, yakni ukuwah islamiah, ukuwah watoniah dan ukuwah insaniah,” katanya.
Sebelumnya Ma’ruf Amin mengatakan bahwa kita patut bersyukur Bung Karno yang telah mempersatukan Indonesia dengan ideologi Pancasila. “Saya mensyukuri tokoh agama yang toleran dan para pemimpin yang mampu merawat NKRI dengan dasar Pancasila, walau potensi perpecahan besar. Memang ada hambatan karena masih ada yang belum memiliki komitmen kebangsaan, seperti kelompok Islam radikal dan intoleran. Tapi jumlah mereka kecil,” katanya.
Lebih jauh Ketua Umum MUI menjelaskan, hubungan kewarganegaraan adalah hubungan saling berjanji, untuk hidup berdampingan secara damai. Saling menolong dan saling membantu karena kita saling membutuhkan. Di sini perlunya kita membangun Teologi Kerukunan, agar kita dimampukan hidup berdampingan secara damai dan tolong menolong.
Menanggapi makin tingginya aksi-aksi intoleran dan radikalisme, Ma’ruf Amin berkata, “Kelompok yang ingin mengubah dasar negara muncul karena cara berpikir yang intoleran. Menurut mereka negara RI harus seperti yang mereka maui. Jangankan pada agama lain, yang seagama saja mereka kafirkan. Intoleransi ini melahirkan radikalisme dan selanjutnya terorisme. Akar dari semua itu adalah cara berpikir tekstual dalam membaca dan memahami Kitab Suci.”
Lanjut Ma’ruf Amin, cara berpikir tekstual selamanya adalah kesesatan dalam beragama. “Ini yang melahirkan intoleransi dan pada gilirannya akan melahirkan radikalisme, bahkan terorisme, yang memperoleh momentum ketika ada ketidak-adilan,” demikian Ma’ruf Amin. Lanjutnya, “Yang bisa toleran itu adalah yang berpikir kontekstual. Dalam tradisi Islam, jika ada hal yang tak bisa diselesaikan secara konvensional, maka yang ditempuh adalah solusi fiqih. Ini banyak ditempuh dalam solusi kebangsaan……”
Menghadapi fenomena ini, Ma’ruf Amin menyarankan perlunya dikembangkan hubungan yang saling mencintai dan bukan yang saling membenci. “Deradikslisasi dan Kontra Radikalisme itu harus merupakan gerakan bersama dan masif dengan prinsip tri ukuwah tadi. Deradikalisasi tidak hanya oleh BNPT, tapi oleh kita semua. Dan sumbernya harus dikikis. Salah satu sumbernya kini adakan perguruan tinggi seperti STAN, IPB dan ITB. Lembaga pebndidikan negeri yang melahirkan calon-calon pemimpin kini melahirkan orang-orang radikal dan melakukan penyebaran. Ini perlu dicuci dan ditahirkan. Umat Islam punya tanggung-jawab besar untuk menjaga kerukunan.”
Sementara itu, Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom yang juga menjadi nara sumber dalam dialog ini menyampaikan rasa keprihatinan atas marjinalisasi nilai-nilai Pancasila paska Reformasi 1998. “Sejak 1998, kita bukan hanya meminggirkan Orde Baru, tapi juga Pancasila. Tidak ada lagi pengajaran tentang Pancasila dan kebangsaan di sekolah-sekolah. Termasuk lagu-lagu daerah dan lagu-lagu perjuangan pun tak lagi diperkenalkan,” ujarnya.
Menurut Gomar, mereka yang berusia 3 tahun pada 1998 dan yang lahir sesudahnya, kini menjadi Tuna Pancasila. Jumlah mereka kini 40 persen penduduk Indonesia atau setara 120 juta. Dan, dalam kesehariannya mereka yang Tuna Panasila atau nir-ideologi ini, berhadapan dengan realitas kemiskinan dan ketidakadilan, sehingga mudah sekali teriming-iming dengan ideologi lain di luar Pancasila. “Apalagi dengan iming-iming sorga. Ini menjadi lahan subuh bagi radikalisme, bahkan aksi terorisme,” tandasnya.
Lebih jauh Gomar menjelaskan posisi dan sumbangan Islam Indonesia kepada peradaban dunia di masa depan. Dia memprediksi peradaban dunia akan sangat dipengaruhi oleh peradaban Islam. Hal ini tak terelakkan melihat demografi dunia yang memperlihatkan kecenderungan pertambahan umat Islam di dunia yang begitu signifikan dibanding dengan umat beragama lain. Jumlah besar ini, ditambah dengan penyebaran yang meluas akibat arus pengungsi yang terus menerus demi menghindari konflik Timur Tengah yang berkepanjangan, akan menempatkan Islam pada posisi yang strategis dalam mempengaruhi peradaban dunia di masa depan.
“Yang menjadi pertanyaan adalah Islam yang bagaimana yang akan mempengaruhi peradaban dunia tersebut? Saya melihat, Indonesia, bisa menyumbang besar bagi peradaban dunia dengan memperkenalkan diri sebagai agama yang mampu mengakomodasi budaya lokal sebagai bagian dari identitas Islam Indonesia yang toleran dan moderat. Islam Nusantara atau Islam berkemajuan sangat kompatibel dengan penegakkan HAM dan sejalan dengan demokrasi, berbeda dengan model Islam di Afganistan, Pakistan, bahkan dengan Islam di Timur Tengah sendiri,” jelasnya.
Posisi Islam Indonesia sebagai penduduk Islam terbesar di dunia sangat strategis dalam mempengaruhi peradaban dunia di masa depan. Sebab itu, lanjut Gomar, adalah tugas kita semua untuk merawat dan mempertahankan Islam Indonesia yang toleran dan akomodatif dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Sedangkan Romo Frans Magnis Suseno melihat sesungguhnya intoleransi adalah gejala universal, ini sifat yang berwujud dari manusia, ini ada di mana-mana. Tetaopi belum tentu semua mewujud menjadi radikalisme. Menurutnya, radikalisme adalah sikap ekstrim karena ajaran agamanya. “Maka yang kita butuhkan adalah agama yang menjadi rahmat, bukan agama yang menakutkan. Dan saya berbahagia hari ini, karena lewat dialog kebangsaan hari ini saya menyaksikan agama yang ramah dan rahmat,” kata Romo.
Deklarasi FNBTKI DPC Kota Bekasi
Kegiatan dialog kebangsaan diadakan dalam rangka Deklarasi FNBTKI DPC Kota Bekasi yang berlangsung pada hari yang sama. Selain dialog juga dicanangkan pendirian Tugu Pancasila. Tugu ini akan dibangun nanti dan berlokasi di Bundaran Kecapi, kawasan Pondok Melati tepatnya di atas tol JORR.
Menurut Ketua Umum FNBTKI DPC Kota Bekasi, Ust. Sholahudin Malik, pembentukan forum tersebut didorong oleh semangat kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah keberagaman yang berlandaskan ideologi Pancasila.
Dia berharap forum ini dapat menelurkan lebih banyak lagi agen pemersatu bangsa sesuai kemampuan dan kapasitasnya masing masing.
Acara deklarasi juga dihadiri oIeh pengurus dan komunitas keagamaan yang ada di Bekasi, yang diwakili oleh komunitas Hindu, Buddha,Kristen Protestan, dan Kristen Katolik yang ada di sekitar Kampung Sawah.
Kampung Sawah dipilih menjadi tempat penyelenggara deklarasi mengingat wilayah Kampung sawah merupakan daerah percontohan kerukunan umat beragama. Di daerah ini, rumah ibadah Islam dan Kristen berdiri berdampingan sejak Iama.Tak hanya rumah ibadah, bahkan warga yang beragama Kristen maupun Islam hidup berdampingan dan bergotong royong dalam kesehariannya.
Be the first to comment